6 Malam Panjang

follow and comment yes..

***

Pukul sepuluh malam.

Sejak kulihat dia memasuki kamar tadi, otakku terus menerus mendikte raut wajah Anindya. Gerakan bibirnya, tubuh kecilnya, dan pikiran kotorku selalu berakhir dengan membayangkan yang bukan-bukan.

Kuakui sejak malam itu, setelah sekian lama tidak berhubungan intim dengan gadis manapun, aku merasa kembali mengecap surga. Dia bisa menjadi obat untuk kepenatan pikiranku. Seorang Anindya pasti bisa menyenyakkan tidurku. Ah entah karena lama tak bercinta atau memang Anindya begitu indah hingga aku masih bisa mengingat gairah yang sudah-sudah setiap kali memandang wajahnya.

Aku pun bangkit dari ranjang. Menggaet tshirt yang tergantung lalu memakainya. Lanjut kuberdiri di ambang pintu kamar. Menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar yang dekat dengan tangga, kamar Anindya.

Entahlah.. Hasratku padanya kian penuh, membuncah. Haruskah secepat ini aku melampiaskan kelelakianku padanya? Pada gadis kecil itu? Sementara ketika kualihkan otakku pada gadis lain, lagi-lagi bayangan Anindya yang muncul. Kenapa Nin? Kenapa kamu mencuci otakku?

Ah logikaku tak dapat diajak bernegosiasi lagi. Kuputuskan melangkah keluar, melenggang dengan santai menuju pintu itu. Sempat muncul keraguan saat kugenggam daun pintu, haruskah sejauh ini? Haruskah aku benar-benar menjadikannya pelampiasan?

Namun sesaat kemudian aku yakin. Aku mantap. Malam ini Anindya harus takluk. Tubuhnya harus lelap di pelukanku.

Klek!

Bisa kutemukan sorot mata yang membulat saat menemukan sosokku. Ada getar ketakutan pada gerak bola matanya.

Ceklekk!

Aku mengunci pintu saat semakin yakin akan tinggal lebih lama di kamar ini. Suatu keyakinan yang muncul sesaat setelah kulihat wajah polosnya.

Anin tampak tegang, dia mulai beranjak dari meja belajarnya agar sewaktu-waktu siap mundur menjauhiku. Tangannya meremas dada melindungi. Takut dan hanya takut, itu yang jelas ketahuan dari bahasa tubuhnya. Namun bagaimanapun, sore tadi dia sudah berjanji untuk tidak takut padaku.

Mari kita lihat keaslian janjinya.

"Belum tidur Nin?" Tanyaku basa-basi. Meremukkan ketegangan di antara kami. Aku mencoba santai, sadar bahwa kejahatan semacam ini baru pertama kali hendak kulakukan. Ada nervous tersendiri yang coba kututupi.

"Be..belum.", gagapnya menjawabku.

Kulangkahkan kaki untuk semakin mendekatinya. Semakin pula Anin menjauhi meja belajarnya agar bisa menghindariku.

"Jadi belajar bersamaku?"

Dia berdiri dengan kaki tergetar sambil menggigiti kuku dan meremasi segala hal di sekitarnya. Seakan dia tahu isi otakku hanyalah segala hal tentang kepuasan bersamanya.

Sumpah aku tak tahan melihat daster tidurnya yang hanya sepaha. Ingin kusentuh di dalam sana, menyelipkan jari membagi kenikmatan.

Ahh sial! Aku sudah gila karena terus membayangkannya bersama bocah ini.

Baiklah, cukup! Aku tak tahan lagi. Kutarik lengannya begitu saja, kududukkan ke pangkuan dalam posisi miring. Dia mencoba lepas sebisa mungkin tapi selalu buru-buru kuatasi gerakannya.

"Sstt! Nin tenang..."

"Anin tidak mau dipangku Kak!" Alasannya. Dia terus bergerak sembarang agar bisa lepas dariku. Terus menerus berusaha kabur dari pangkuanku di atas kursi belajarnya.

"Sstt.. Nin tenang, mau belajar kan?" Bisikku parau menempel di cuping telinganya. "Mau nilai bagus kan?"

Dia tenang, diam dalam sekejap. Aku tahu sekarang, kata kuncinya belajar. Aku mendapatkanmu kelinci kecil.

"Apa janjimu padaku tadi sore? Aku akan mengajarimu kalau kamu tidak takut lagi padaku." Rayuku berusaha menenangkan, merilekskan wajahnya yang mengerut takut. Tangannya pun susah payah menutup paha dan dadanya.

"Jangan takut Nin.." Kubisikkan kalimat itu dekat telinganya. Kubisikkan dengan membubuhkan getar nafsu di hela nafasku. Sontak ia pun menggelinjang kegelian.

Tanggul pertahananku jebol jika lama-lama begini. Sementara hasratku kian membuncah tertindih pantat kecilnya yang terus bergerak gelisah berusaha menghindari. Sungguh tubuh Anin tampak bak boneka kelinci kecil di pangkuanku. Tak sepadan sama sekali. Anehnya, perbedaan signifikan tubuh kami semakin meletupkan nafsuku.

Kubelai pahanya perlahan. Tangannya sigap menahan setiap kali akan sampai pangkal. Berusaha mencegah agar tak sampai ke area dalam. Nafasnya tercekat sesekali, menahan diri. Tegang.

"Masih takut hmm?" Bisikku kembali melekat di telinganya. Jika saja tak ingat dia masih terlalu kecil untuk diajak bermain segesit itu, rasanya ingin segera kugigit daun telinga lalu berbuar semakin jauh. Namun dia tetap kelinci kecil yang butuh kesabaran, ketelatenan, dan kelembutanku. Dia butuh bujuk rayu dan penyesuaian.

"Jawab Nin, masih takut padaku hmm?"

Anin menggeleng, meskipun aku tahu batin dan sekujur tubuhnya ketakutan setengah mati. Tugasku menjinakkan ketakutan itu dan menggantikannya dengan kepuasan.

"Buktikan kalau kamu tidak takut Nin.."

"Buk..ti?" Dia mendongak, mencari wajahku. Aku jadi tahu wajahnya yang ternyata bersemu merah. Malu-malu atau menahan nafsu?

"Mm..." Kedua alisku terangkat mengiyakan. "Ya, bukti."

"Ca...ranya bagaimana Kak?" Tanyanya serak.

Pertanyaan bagus. Bibirku segera mendekati telinganya. Meniupkan udara panas lewat beberapa kata.

"Kita ulangi apa yang terjadi malam itu."

Seketika tubuhnya bergetar lalu memberontak tak beraturan. Mencari cela untuk segera lepas dari kuasaku. Artinya dia paham maksudku.

"Nin.. Tenang.." Bujukku seraya merangkum tubuhnya yang membelakangiku, menahannya tetap di pangkuan. Kupeluk perutnya dari belakang, kuciumi lehernya yang beraroma memabukkan. Sungguh aku sudah gila telah menginginkan gadis kecil ini. Rasanya seperti baru mengenal bercinta.

"Tenang Nin.. Jangan takut.."

"Anin tidak mau.. Hiks.. Hiks.."

Menangis lagi. Ah kelamaan! Aku tidak punya waktu untuk menenangkan. Kucari kancing daster tidurnya, kubuka paksa lalu bertindak seperti seharusnya.

Kulihat tangan Anin meremas tepi meja belajar kuat-kuat, tak lagi berusaha lepas. Dia lebih tampak menahan diri dari imbas perlakuanku pada tubuhnya dari pada ingin entas dari sentuhanku.

Aku punya kesempatan untuk menolehkan kepalanya ke belakang. Sedari tadi aku sudah menahan diri dari gerakan agresif saat melihat bibir bawahnya tergigit.

Aku mengecup bibirnya.

"Buka bibirmu Nin.."

Tiba-tiba matanya terbuka. Dia menepis kedua tanganku di dadanya. Menjauhkan tubuhnya dariku meskipun tak juga berusaha turun dari pangkuanku. Rupanya Anin tersadar dari kenikmatan.

"Kenapa Nin?"

Kulihat air matanya menetes. Aku pun iba. Kubalikkan badannya agar menghadapku. Baiklah, aku harus mengalah. Harus lebih sabar membujuk bocah ini. Tak perlu gegabah.

Kubelai rambutnya, kurapikan ke belakang kepala. "Jangan menangis Nin.. Kamu takut padaku hmm?"

"Hiks.. Hiks.."

"Takut padaku?" Aku sedikit mendesak. Sembari kujepit dagunya agar terangkat.

Anin mengangguk kecil. Mengucek kedua mata yang berair selayaknya anak kecil mengatasi tangisnya yang sesenggukan. Padahal dia sudah remaja.

"Kak Rama hiks.. Mau ngapain Anin? Anin.. Hiks.. tidak mau digituin lagi hiks.."

Sabar Rama, sabar..

Untuk mendapatkan mangsa, seorang pemburu harus membidik sasaran di saat yang paling tepat.

"Katanya kamu ingin belajar dariku, kan syaratnya jangan takut padaku lagi Nin."

"Tapi.. Hiks.. Anik takut Kak.."

"Takut apa? Aku tidak akan menyakitimu.." Terus gencar kulantunkan rayuan sambil membelai kepalanya dengan lembut. "Takut hamil ya? Percayalah, aku tidak akan membuatmu hamil."

Anin menggeleng. Membuatku agak kaget. Lantas takut apa?

"Lalu takut apa? Ketahuan orang tuaku? Mereka sudah tidur, lagipula kamar mereka di bawah. Selama kamu tidak bersuara, mereka tidak akan mendengar apapun."

Anin menggeleng lagi. Aku jadi semakin penasaran akan apa yang ditakutkannya.

"Oke katakan dengan jujur, kamu takut apa?" Aku menyerah.

"Anin takut itu.. Hiks.."

"Itu?" Alisku mengernyit. Kucari wajahnya yang semakin tersembunyi. "Itu apa Nin?"

"Anin takut sama itu Kak.. Hiks.."

"Itu apa Nin, yang jelas bicaranya. Aku tidak paham." Sekaligus aku tidak sabar.

"Itu..nya kak Rama."

Seketika aku menunduk. Mencari selangkanganku yang kini menggembung. Jadi dia takut pada benda itu??

"Takut kenapa?" Pancingku. "Sekarang beda dari yang kemarin Nin, karena ini bukan yang pertama. Kamu cuma harus diam, pasrah dan percaya padaku."

Anin menggeleng cepat. Berusaha menunjukkan bahwa benar-benar menolak untuk melakukannya.

"Anin tidak mau, itunya jangan dimasukkan, tidak muat." Ujarnya malu sambil menutup muka dengan telapak tangan. Gemas!

"Kemarin muat kan?"

"Tapi penuh, sakit Kak.." Bola matanya lari ke sembarang, menghindari tatapanku. "Sampai dua hari masih sakit.", rengeknya.

Aku ingin tertawa melihatnya bercerita selugu ini. Harus kujelaskan dengan bahasa yang seperti apa agar dia paham.

Kuangkat wajahnya meskipun matanya enggan menatapku. Kukecup bibirnya sebentar, cup! Kukecup juga punggung tangannya yang sesekali masih menutup sebagian wajah. Semua tanpa perlawanan tapi wajahnya tampak kebingungan.

"Saat pertama kali memang terasa sakit Nin, setelah itu aku berani jamin kamu pasti suka. Buktikan kalau kamu sudah tidak takut padaku lagi. Katanya ingin matematika dan IPA dapat seratus, aku bisa mengajarimu." Terus kugencarkan serangan padanya. Apapun yang terjadi, malam ini aku harus mendapatkannya. "Kamu mau Papamu marah karena nilaimu jelek?"

"Ehh.." Anin tampak meragu lalu bergegas menggeleng cepat-cepat. Dari ekspresi ketakutannya yang mengendur, aku tahu peluang itu melebar. "Ta..pi.."

"Tapi apa Nin? Kamu hanya perlu diam, aku akan membuatmu menyukainya. Bagaimana? Mau kan?"

Anin tak bergeming. Sepertinya dilema di antara dua pilihan. Sementara nafsuku sudah di ambang batas kesabaran.

"Oke begini saja, kita coba dulu, kalau kamu suka kita lanjutkan, kalau tidak kamu boleh menolak, adil kan?"

Bibir tipis Anin membuka dan mengatup berulangkali seiring dengan aktivitasnya menelan ludah. Aku semakin tak kuasa.

"Nin.." Panggilku memastikan, sambil menyelipkan helaian rambut ke balik telinganya. "Mau kan?"

Anin menunduk. Diam.

"Mau kan Nin? Demi kamu juga kok, biar nilai kamu bagus hmm.."

Lambat laun ada gerakan di dagunya. Anindya mengangguk dan itu berarti sebuah pesta kemenangan untukku malam ini.

Mari nikmati malam panjang ini kelinci kecilku..

***

Cihuuuyyy gimana part ini gaess, makin gemes ga sama bang Rama??

***

avataravatar
Next chapter