1 Malam Itu... ***

Susah payah meniti tangga, akhirnya telapak kaki ini sampai juga di lantai dua. Langkahku tertatih dan berat. Gelap. Entah karena otakku buntu atau memang tak ada penerangan yang cukup dari lampu. Hanya pencahayaan dari dalam sebuah kamar di dekat tangga yang memberiku penerang jalan. Itupun sepertinya karena pintunya sedikit terbuka. Untunglah, kalau tidak mungkin aku hanya bisa meraba dan mengira. Padahal kepalaku terasa berat, pening tak karuan.

Langkahku masih terhuyung. Pandanganku pun mengabur. Ah aku ini sebenarnya kenapa?

Bagai laron musim hujan kakiku pun tertarik melangkah menuju terang, membuka pintu sipit itu agar melebar. Alisku pun naik turun saat pupil menyesuaikan pencahayaan.

Kubuka pintu itu, melangkah masuk memeriksa isinya setelah menguncinya.

Sedang mimpi kah? Mungkin patah hati membuatku sedikit tak waras. Bagaimana mungkin kutemukan seorang gadis yang tak asing wajahnya terlelap di balik selimut. Gadis yang kucintai dengan kadar berlebih tapi melukaiku hingga terasa sedang disuntik mati.

Dia Riri.

Mungkin ini halusinasi. Yah semacam mimpi tengah malam begitulah, tapi tidak..

Kenyataannya aku sedang terjaga. Kugeleng-gelengkan kepala lalu membuka mataku lebar-lebar. Mendekatinya untuk memastikan jika pandanganku tak salah. Mengebas bayangan imajiner yang mungkin terimbas dari kesakitan hati.

Voila! Tak ada yang berubah. Dia memanglah Riri.

Di salah satu sisi ranjangnya aku berdiri, mencondongkan wajahku untuk memastikan lagi, masih takut salah. Dan ternyata dia masihlah Ririku, memang tunanganku, milikku..

Pucuk dicinta ulampun tiba.

Setelah gagal bercinta dengannya untuk balas dendam pada kakakku, hasratku pada gadis masih ini menjulang tinggi, ingin sekali. Sekian lama dia menjalin hubungan denganku tanpa mau disentuh, pedihnya dia malah memilih kakakku. Remuknya perasaanku saat berhasil menggrebek perselingkuhan mereka, saat dia bergerak-gerak di atas tubuh kakakku dengan liarnya. Damn! Fuck!

Kenapa harus dengan kakakku? Kenapa dia yang Riri pilih? Kenapa harus ada masa lalu mereka yang menjadi bom waktu, yang kini membuat tubuhku terpental jauh. Hingga tak ada seorangpun sanggup menolongku..

Baiklah! Jika Ranu kakakku bisa menjeratnya dengan hubungan badan, maka tak sepatutnya kesempatan di malam ini kusia-siakan. Aku pun akan melakukan yang demikian. Mari coba peruntungan yang sempat gagal, mari nikmati malam pertama kita Riri Sayang..

Kubuka kancing kemejaku satu per satu, kubuang ke lantai begitu saja hingga tersisa celana membungkus penggerak bawahku. Segera kusibak selimut yang menutup tubuh Riri kekasihku. Yah, dia kekasihku selamanya. Kak Ranu tak berhak atasnya. Riri milikku seorang..

Kutindih tubuhnya yang menggeliat menyadari kehadiranku. Kubuka kancing baju tidurnya sebelum dia semakin menyadari apa yang kulakukan.

"Kak..Ra..ma??"

Lirih suaranya meniup bulu halus di lubang telinga. Aku semakin bernafsu. Saat matanya menyadari kehadiranku, seketika kusumpal bibirnya dengan bibirku. Juga saat tangannya mencoba menghalangi tindakan yang kulakukan pada dadanya, aku terus mencumbu dan merasakan manis rongga mulutnya.

Dia terus mencoba berteriak. Mendorong tubuhku dengan tangan kecilnya. Kusatukan tangannya yang mengganggu ke atas, kutahan dengan kuat di sana. Kuremas dadanya yang tak terbungkus apapun, kecil tapi tetap menggugah selera.

"Hiks.. Hiks.. Kak Ra..ma mau apa? Jangaaann.. Hiks.."

"Ssuuutt.. Diam Ri! Diam! Ini akan lebih nikmat dari yang Ranu berikan."

Aroma tubuhnya ah ternyata sedap sekali, wangi bagaikan bunga jeruk bali di malam hari. Kurasa harus segera kutanggalkan pembungkus tubuhnya. Terus kukecap pundaknya, lehernya, semua kujilati dan terus kuhisapi.

"Tidak mauuu Kak.. Hiks.. Dosaa.. Tidak boleh beginiii.. Hiks.. Hiks.."

"Biar aku yang tanggung dosanya, biar aku yang masuk neraka asal bisa merasakan hangatnya dirimu malam ini Sayang. Jadi diamlah.." Bentakku parau. Untung saja Riri cukup kooperatif, dia tak berteriak keras.

"Hiks.. Takut Kakk.. Jangaaan.. Hiks.."

"Diam!!"

Bentakanku akhirnya berhasil membuatnya terdiam, meskipun isak tangisnya terdengar menderu. Rapat menggugu bak anak ingusan. Munafik! Seakan segera kehilangan keperawanan saja, padahal mungkin tak terhitung Ranu menggaulinya.

Dan malam ini aku akan membuatmu menjadi wanita rendah, serendah-rendahnya. Setimpal dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku.

Tubuh Riri pun menggeliat mencoba lepas dariku. Aku sudah tak tahan. Wajar karena memang aku sudah lama tak berhubungan seksual.

Sejak berpacaran dengan Riri, jangankan bercinta, kucium saja dia enggan. French kiss saja tak pernah.

Aku mencari pintu sempit itu. Terus mencari dan belum juga ketemu. Mungkin karena tak terlalu basah hingga sulit sekali menembusnya.

Riri terus meringis tiada henti. Menggeliat sekuat-kuatnya. Terisak-isak tapi malah membuatku muak. Sok suci.

Tak kusangka ternyata dia akan sesusah ini dimasuki. Jujur aku hampir frustasi, belum lagi mendengar rintihan kesakitannya yang justru memecah konsentrasi.

Untum ukuran seseorang yang tak perawan dia cukup mengesankan.

"Hiks.. Sakiitt Kaakkk.. Hikss.."

"Ssttt.. Ini akan nikmat, lebih nikmat dari Ranu. Diamlah! Kamu akan melayang Riri Sayang.."

"Aaakkk.. Hikss.. Sakit Kaakkk.."

"Diam!!" Bentakanku mengatasi pekiknya.

Sakit dari mana?? Ini surga dunia bukan? Hahaha..

Aku tak peduli lagi ocehannya. Baru setengah dari tubuh Jack yang masuk tapi aku sudah merasakan kenikmatan tiada tara. Milik Riri luar biasa mencengkeram, ketat dan sangat sempit. Pantas Ranu sangat menggilainya. Padahal Riri sudah pernah melahirkan anak Kakakku itu.

Yah, mereka punya anak dari hubungan asmara kotor mereka di masa lalu. Anak sialan yang baru saja diketahui kakakku saat Riri telah kulamar. Anak itu pula yang pada akhirnya menyatukan kembali hubungan cinta mereka setelah enam tahun terpisah, dan menyisihkanku sebagai korban yang harus mengalah. Mereka menindas perasaanku dengan keji.

Aku terus mencoba. Sangat sempit. Seperti ada sesuatu yang menahan. Mengganjal. Peduli setan! Aku tak pedulia.

"Aaaaakkk!! Sakiiittt.. Huahaahaa.."

Ini apa? Terasa seperti membelah sebuah cela. Rasanya kepala Jack pun ikut sakit saat menerobosnya.

Biarlah yang penting aku terus menghunusnya. Aku tak bisa berhenti. Sudah sejauh ini dan aku berhasil.

Tak lagi ada perlawanan. Sepertinya tenaga Riri habis untuk menghalau.

Efek dari lama tak bercinta, aku terpedaya. Lupa daratan dan terus menerus bergerak.

Eranganku tanpa henti menghujaninya dengan hentakan-hentakan keras yang memantul-mantulkannya ke kepala ranjang. Kulihat dia meringis dengan tangan meremasi sprei kuat-kuat.

Sesekali kudengar rintihan dan desis kesakitan, tapi kubiarkan. Ini nikmat sekali dan akan semakin sukar bagiku menghentikannya. Kulihat matanya terpejam erat, bulir air meluncur banyak dari sudut-sudut matanya.

"Kamu akan menyukai permainanku Riri Sayang.."

Ahh Riri.. Kamu akan memohon kepadaku untuk terus berada di dalammu. Aku yakin itu!

"Hiks.. Jang..ngaaan.." Rintihnya seraya mulai meremasi bantal. "Tolong su..daahh.. Sakiit.. Hiks.. Hiks.."

"Ini luar biasa Ri!"

Semakin terlunta tubuh kecilnya, semakin tak berdaya dan hampir pingsan. Hingga tak lama kemudian kusemburkan muntahan. Biarkan Riri hamil anakku, sama seperti dia pernah hamil anak kakakku. Biarkan aku egois kali ini.

***

avataravatar
Next chapter