8 Intim

"A..Anin.. ingin kak Rama."

Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.

Kukecup bibirnya dengan haus yang teredam. Agar memeroleh kenyamanan sekaligus kehangatan.

Keningku terlipat begitu saja ketika tiba-tiba bibirku terbungkam tangan kecilnya.

"Kenapa Nin?" Tanyaku seraya menyingkirkan jemari itu. Menggantikannya dengan ciuman yang syahdu dan kelak mungkin menghasilkan rindu seorang pecandu.

"Anin jijik. Anin tidak mau!", tolaknya dengan menyusupkan nada iba. Gelisah penuh keluh kesah.

Lugunya.. Gadis ini selalu dengan mudah menerbitkan senyumku. Menganjurkanku untuk membelai rambutnya agar bersembunyi dibalik telinga. Perlakuan yang menurunkan suhu panas di antara kami.

"Baiklah, apapun asal kamu menurut padaku."

Tak butuh anggukannya, segera kusergap bibirnya dengan bibirku.

Kulepas pagutan saat merasa Anin mulai kesulitan bernafas. Kususuri rahangnya dengan kecupan lembut. Lanjut terus ke lehernya.

"Katakan kalau kamu suka Nin.. Mendesahlah.."

"Geliiii... Tap..tapi.. Engghhh.. Aduh Anin bingung.."

Masih sempat aku tersenyum setelah mendengarnya bicara. Di tengah nafsu kami yang semakin terbakar. Aku terus mendorongnya pada perlakuan yang menyenangkan. Hingga semakin kerap racauan Anin, semakin aku bersemangat.

Tubuh kecil Anindya mulai menggeliat seksi. Rambutku yang tak berdosa pun tanpa komando diremasi.

Semakin ke bawah semakin tak sabar aku menghirup aromanya. Seakan memanggil-manggilku untuk segera menuju hidangan utama.

Kubagi sebuah ciuman di sana. Tanda kekuasaanku. Kepemilikanku. Baiklah, mulai saat ini semua di tubuh Anin adalah milikku. Entah sampai kapan.

"Kak Rama?" Anin mengangkat kepalanya kebingungan. Seperti bertanya-tanya akan hal yang semakin intim kulakukan.

Aku mendongak mencari wajahnya. Ingin tahu bentuk wajah yang selalu meracau lugu merongrong birahiku.

"Cukup sebut namaku dan katakan bagaimana rasanya. Paham kan?"

Anin mengangguk lugu.

Lampu hijau untukku berbuat semakin jauh dan jauh. Hingga matanya tak sanggup terbuka, terbuai reaksi dari setiap sentuhanku di tubuhnya.

"Bagaimana? Nikmat?"

Anin masih memejamkan mata, terengah dengan bibir yang terus mengatup kemudian terbuka, berulang-ulang. Sangat sensual. Perlahan matanya terbuka lalu tiba-tiba dipejamkan lagi erat-erat, sepertinya malu saat wajahku menyambangi.

"Tidak perlu malu Nin.." Godaku. "Itu tadi baru permulaan, masih ada yang lebih nikmat, asal.."

Mata Anin melebar pelan-pelan, sepertinya mulai penasaran tentang kenikmatan yang kujanjikan.

"Kamu tidak ingin tahu apa syaratnya?"

"Eh oh.." Anin tampak salah tingkah, meremasi bantal di kedua sisi dengan lugu. Menggemaskan di mataku. "A..sal apa?" Sambung Anin malu-malu.

"Asal kamu menurut. Karena ketika kamu berusaha melepaskan diri rasanya justru akan sakit."

"Sakit? Memangnya Anin mau diapakan? Emm seperti yang kemarin itu ya Kak?" Sahutnya cepat lalu merocos tanpa sadar.

"Umm.. Tidak akan sesakit itu tapi mungkin akan butuh penyesuaian juga karena kamu sangat sempit." Ada tekanan di kata sempit.

"Sempit? Anin sempit? Kok bisa?" Matanya berkelana karena tak paham juga. "Emm pokoknya Anin tidak mau kalau seperti kemarin, sakiiit.." Tuturnya manja sambil melilit ujung sarung bantal dengan telunjuknya.

Aku jadi bingung sendiri harus menjelaskan dari mana dan bagaimana. Mungkin ada baiknya segera kucumbu saja bibir mungil di depanku.

Anin tergolong gadis yang cepat belajar. Saat kukecup bibirnya, tangannya segera mengalung ke leherku. Di waktu bersamaan, bibirnya pun terbuka perlahan, mengizinkan lidahku bebas mengakses rongga mulutnya.

Engahan Anin tertahan ciuman panas kami. Tanganku pun tak henti menggerayangi.

Aku tak tahan mendengar racaunnya saat aku memulai. Dia mengangkat pinggul, meremasi rambutku tanpa perintah.

Aku terbakar gairah. Tapi bersatu dengan Anin ternyata tidak mudah. Masih susah.

"Aduh! Kak Rama! Anin diapakan?" Tanyanya tak terima sambil berusaha mendorong dadaku. Sepertinya karena mulai kesakitan.

Semua sudah kepalang tanggung. Tidak akan kubiarkan semua terhenti sebelum aku puas. Anin terus berusaha mendorong, lalu meringis saat aku berusaha keras untuk menerobos.

"Aduh! Sakit kak Rama!" Pekik Anin seraya menarik pinggul. Namun tanganku lebih sigap. Dia kalah cepat.

Dia merintih menyambut penyatuan kami, tapi aku sudah terlanjur mabuk kepayang.

Protes dan perlawanan Anin hanya bisa tertuang pada cakaran di punggungku.

Kulihat titian air mengalir dari kedua sudut matanya. Suaranya seakan habis ditelan tangis.

Tak tega, meskipun rasanya tak sabar juga ingin segera memacu . Kuhapus air yang tanpa henti mengalir di ujung matanya. Harus sabar Rama, yang kamu hadapi ini bocah, pikirku.

"Hiks.. Hiks.."

"Sakit ya?"

Anin mengangguk dua kali. Kupungut tangannya dari punggungku, kuciumi. Mungkin ini sedikit menenangkan. Anggap saja ini kewajiban.

"Nanti sakitnya akan hilang kok.."

"Bohong.. Hiks.. Tadi kak Rama bilang tidak akan sakit hiks.. Buktinya sekarang sakit hiks.. Anin mau dilepas saja hiks.. hiks.."

"Ssuuutt.." Buku jariku membelai pipinya yang mulus, yang ternodai oleh air mata terus menerus. "Kakak janji, pasti nanti kamu suka."

"Janji?" Pinta Anin memastikan dengan yakin.

"Janji. Percayalah. Aku mulai ya?"

"Mulai? Mulai apa?"

Kelamaan Nin. Aku sudah tak tahan. Aku segera bergerak. Pelan-pelan agar Anin bisa menyesuaikan.

Anin hanya meringis, menggigit bibir bawahnya menahan. Tak bisa kusalahkan memang.

Sementara itu, aku justru benar-benar termanjakan. Terasa hangat menggelayut, rapat mengurut-urut. Mengingat rasanya yang seperti ini, kupastikan tak akan berhenti dalam satu sesi. Jack akan termanjakan sampai pagi.

***

Semoga berkenan kasih love n komentar ya..

***

avataravatar
Next chapter