5 Gila

follow, vote, dan komentar ya..

biar eyke syeneng hehehe

***

"Rama, tolong ajak Anin berangkat sekolah bareng kamu ya, Papa ngantor agak siang.."

Aku mengangguk saja saat sarapan tadi Papa memintaku demikian. Sejujurnya suasana hati ini masih suntuk, marah tak tersalurkan pada orang tuaku setelah mengetahui fakta keterlibatan mereka pada takdir antara aku, Riri, dan kak Ranu. Entah mengapa tiba-tiba saja kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Anin menjadi hiburan tersendiri. Aneh memang.

Di dalam mobil, sesekali kulihat Anin berusaha menarik-narik ujung roknya untuk menutup paha. Padahal bagian itu sudah tertindih tasnya. Sebegitu khawatirnya bocah itu akan nafsuku.

"Nin, berapa usiamu?"

Dia terdiam bahkan membuang muka ke jendela. Aku tersenyum santai. Melihat tingkah Anin yang begini, rasanya lucu saja mengingat Riri sempat menuduhku menginginkan bocah lugu ini. Konyol.

"Nin, kamu harus menganggap tidak pernah terjadi apapun di antara kita. Mari jalin hubungan seperti semula."

Anin masih diam, tapi sesaat kemudian daun telingaku menangkap getar suara patah-patah.

"Mau.. enam.. belas."

"Oh.." Aku sedikit kaget. Kukira usianya sudah lewat enam belas, ternyata baru mau enam belas. Bejat benar aku merenggut bocah ini.

"Kak..Rama?" Tak kusangka gayung bersambut, dia menanyakan usiaku.

"Mau dua enam, kenapa?"

Dia menggeleng, masih menundukkan kepala. Ada yang disembunyikan.

"Jawab saja jujur, kenapa ingin tahu usiaku?" Aku memang penasaran kenapa dia mau tahu usiaku.

"Cuma.. Cuma ingin tahu." Jawabnya sambil memeluk erat tasnya, belum juga mengangkat wajah.

"Kita punya beda usia sepuluh tahun. Saat aku kelas empat SD, kamu baru lahir."

Ah aku jadi semakin sadar telah benar-benar menjadi pedofil, atau paling ringan om-om hidung belang.

"Nin kamu benar-benar belum pernah pacaran?" Berusaha kualihkan arah pembicaraan untuk menutupi rasa bersalah.

Dia mengangguk segera.

"Kenapa?" Tanyaku penasaran. Menurutku remaja di usia Anin seharusnya sedang gandrung menjalin cinta monyet.

"Emm.. Tidak boleh sama Mama, nanti nilai rapornya turun."

Wow! Jawaban Anin membuatku segera berpikir betapa protektif orang tuanya. Apa yang akan dilakukan tante Fatma ketika tahu bahwa anak gadisnya sudah kugagahi? Sudah-sudah, aku tak mau membayangkannya.

"Kamu rajin sekali Nin belajarnya, juara kelas ya?" Dia mengangguk. Itulah akhir percakapan membosankan ini.

Terus kuputar setir, sambil sesekali merenungi nasib. Betapa indah nasib kakakku Ranu, meniduri pacarnya hingga hamil, pergi mengenyam pendidikan, sukses, tiba-tiba datang kembali untuk merebut kekasihnya dariku, segera menikah, lalu kelak hidup bahagia. Bak cerita negeri dongeng ya.

Mengingat hal itu mengulik kembali kebencian pada orang tuaku. Harusnya mereka meminta maaf padaku karena perbuatan mereka-lah akhirnya aku harus menjalani kisah cinta yang tragis, rumit, dan sial. Sumpah aku ingin marah pada mereka tapi bagaimana caranya? Jika saja mereka bukan orang tuaku.

Aku menoleh pada Anin yang meringkuk memeluk tasnya. Beberapa kali kulirik hingga tiba-tiba..

...

Otakku mendesain sesuatu yang berbau busuk. Saat intens kulirik Anin di samping, saat kulihat kepolosannya, saat kuingat mulus tubuhnya, saat kukulik ingatan akan himpitan miliknya yang legit, juga setelah mengetahui usianya, aku rasa dia layak menjadi Riri di masa kini. Lalu aku?

Aku bisa menjadi Ranu untukmu Nin, sangat bisa..

***

Aku mengabsen wajah beberapa pelajar SMP yang berhamburan keluar gerbang sekolah. Belum juga kutemui wajah manis boneka kecilku.

Tak lama kemudian ah itu dia di sana, sedang berjalan keluar gerbang sekolah bersama seorang kawan lelaki. Dari sikapnya tampak sekali bocah tengil itu berusaha mendekati Anin. Namun semakin kucermati, semakin tampak Anin tak nyaman dan mulai menjauhi.

"Nin!" Aku melambaikan tangan memberinya kode agar segera mendekatiku. Setelah mengucap beberapa kata dari bibirnya -yang sepertinya alasan untuk menghindari bocah tengil itu- dia kemudian menuju ke arahku.

"Siapa?" Selidikku.

"Ehh?" Anin kebingungan. Wajah polosnya menyirat pertanyaan. Dan aku suka tatapan bola mata lugunya yang begini. Memancing nafsuku bangkit lagi.

"Itu tadi, pacar ya?" Tuduhku sengaja memojokkannya.

"Bu..bukan!" Bantahnya cepat-cepat meskipun masih gelagapan.

"Tidak perlu bohong, memang pacar kamu kan?" Aku semakin ingin memancing reaksinya. "Nanti kubilang tante Fatma kalau kamu pacaran."

Matanya mendelik menatapku. Jemari kecilnya bahkan spontan meremas lenganku yang keras. Ia terus meremas lengan kemejaku sambil merengek. Membantah semua tuduhan sekaligus memohon agar aku tidak melaporkan cerita karangan itu pada ibunya. Aku suka, wajahnya yang ketakutan justru terlihat menggemaskan di mataku.

"Bukan Kak, bukan pacar Anin! Itu teman Anin. Jangan laporkan Mama Kak, Anin tidak pacaran kok, benar! Anin berani sumpah Anin tidak pacaran. Jangan bilang Mama ya Kak, please.. Anin mohon.."

Dia terus mengiba. Rengekannya yang manja bak anak kecil semakin terdengar menggemaskan. Aku merasa di atas angin karena punya senjata pamungkas. Sepertinya akan semakin seru jika semakin menakut-nakutinya, akan banyak keuntungan bisa kuraup.

"Jangan bohong deh, aku punya fotomu bersamanya tadi." Tuturku dengan wajah congkak yang santai, sambil memain-mainkan ponsel seakan foto itu benar-benar ada. Kontras sekali dengan mimik wajah Anin yang semakin khawatir. Bahkan tanpa disadari tangan kirinya berusaha meraih ponselku, terus berusaha hingga tanpa sengaja tubuh kami bergesekan, menempel satu sama lain terpisah kain.

Shit! Jack memberontak saat dadanya terasa hangat di perutku. Anin mendongak hingga mata kami semakin beradu. Kami pun bertatapan tanpa saling paham artinya.

Bibir itu.. Aku ingin memagut sambil menggendong tubuhnya ke ranjang, lalu melumuri tubuh kami dengan kenikmatan saat kedua pusat tubuh bergesekan tanpa penghalang.

Oh Anindya, kamu memang sesempurna-sempurnanya mangsa. Polos, lugu, dan.. Nikmat. Aku akui telah gila dan menjadi lelaki bangsat karenamu. Juga karena mereka semua yang menyakitiku, keluargaku sendiri.

Sesaat setelah menyadari gesekan tubuh kami akibat gerakannya yang terus berusaha meraih ponselku, dia mendorongku dengan kasar. Seakan jijik sekali. Aku jadi berpikir, apa dia merasakan perubahan bentuk Jack?

"Eng.. Emm.. Eng.. Kak Rama jangan bilang Mama. Anin tidak pacaran, beneran Kak.." Cicitnya sambil menunduk seraya memainkan kedua tali ranselnya.

"Tergantung."

"Tergantung apa?" Anin mendongak seketika, antusias menanti jawabanku. Namun tak lama kemudian kikuk sendiri.

"Sudahlah nanti saja. Ayo masuk mobil.." Putusku melepas kecanggungannya.

Aku melangkah menuju mobil yang terpisah beberapa langkah dari kami. Namun langkahku terhenti saat tak kurasakan getaran langkah lain di belakangku. Ternyata Anin tak beranjak dari titik kedudukannya.

Aku mendengus kesal. Kenapa lagi bocah ini?

"Ayo!" Ajakku dari jauh dengan nada meninggi.

Baru beberapa langkah mendekatiku, Anin kembali berhenti. Rasanya tidak telaten menghadapi tingkahnya yang begini, hingga kuputuskan untuk segera menghampiri.

"Ayo masuk Nin, kenapa cuma berdiri di sini?"

"Eng.. Itu.. Eng.. Kak Rama kenapa tiba-tiba kesini?" Tanyanya menghindari tatapanku, berusaha memisah kedekatan di antara kami. Sedari tadi di wajahnya memang terlukis ketidaknyamanannya atas kehadiranku.

"Jemput kamu."

"Ehh? Jemput Anin??" Dia mendelik terkejut. "Anin.. Eng.. Anin naik ojol saja Kak."

Menghindariku ya Nin?

"Terus aku pulang sendiri? Kenapa kamu masih harus naik ojol kalau aku sudah di sini?"

Aku menuju mobil, membuka pintu untuknya lalu memerintahkan untuk masuk. Dia menurut meskipun awalnya tampak keberatan.

Akhirnya.. Aku berhasil mendudukkannya di sampingku lagi. Meskipun tak ada tatapan matanya yang mampir menyambangiku sama sekali, tapi setidaknya langkahku untuk menguasainya selangkah lebih dekat.

"Kamu habis bimbel ya Nin?"

Dia mengangguk ragu. Isyarat ketakutannya padaku.

"Masih takut padaku?"

Kali ini dia menggeleng cepat. Seperti aku akan marah saja jika dia mengaku masih takut padaku. Aku tidak sejahat itu Anin, percayalah.. Untuk memerangkap mangsa buruan sepertimu, yang kuperlukan hanyalah kelembutan.

"Wajar, aku jahat padamu Nin." Wajahku mendramakan sebuah penyesalan yang amat besar.

"Ti..tidak. Anin sudah tidak takut kok."

Benar kan? Mulai sekarang aku memang harus banyak drama untuk menaklukkan Anindya. Buktinya, baru saja aku pura-pura merasa bersalah tapi dia sudah semudah itu merasa iba.

"Benarkah?"

"I..iya." Angguknya seraya membuang muka lari dari sorot mataku.

"Syukurlah kalau begitu. Kita bisa lebih dekat mulai sekarang. Emm.. Kamu punya makanan favorit?"

"Ma..kanan? Eng.. Tidak tahu." Kalimatnya masih terbata.

"Kok tidak tahu? Oke biar kita sama-sama tahu, kita mampir ke cafe sebentar ya."

"Ke cafe?" Dia tercengang tapi tak punya alasan menolak. Pengakuannya yang mengatakan bahwa sudah tidak takut padaku adalah alasan terbesarnya. "Ehh.. Eng.. I..iya."

***

Kuperhatikan gadis yang menunuduk saja di seberangku. Gelagatnya kaku. Aku tak menyalahkan. Di usia sedini itu dia harus menghadapi serangan lelaki matang sepertiku.

Kuamati wajahnya. Imut. Bibirnya yang tipis tampak beberapa kali dikulum karena tak nyaman. Basah dan menggiurkan. Matanya sedang, lebar tidak, sempit juga tidak. Bulu matanya lentik. Hidungnya kecil mancung. Rambut panjangnya diikat ke belakang, beberapa helai tampai meloloskan diri dari ikatan, menghiasi lehernya yang putih mulus ingin segera kuurus. Semua yang ada di wajahnya pas dan sesuai untuk ukuran remaja.

Semakin kuamati bibir tipisnya yang mengulum basah, semakin aku merasakan desakan Jack. Shit! Tiba-tiba saja aku membayangkan betapa bibir kecil dan tipis itu akan penuh mengulum Jack. Dia akan bergerak teratur dengan gerakan otot bibir yang sensual.

Saat sedang asyik berpikir kotor tentangnya, tanpa kuduga dia menatapku. Segera kularikan mataku ke sembarang tempat persis seperti maling yang tertangkap basah. Untunglah dia juga melakukan hal yang sama. Untung dia masih lugu dan tak bisa menebak isi otakku yang kotor.

"Pesan apa Nin?"

"Terserah kak Rama." Jawabnya singkat. Masih saja menunduk.

"Es krim coklat mau?" Tawarku, mungkin anak seusianya suka dengan hal-hal berbau coklat.

Dia mengangguk. Aku sendiri memesan es kopi untuk meredam gejolak dari dalam tubuhku terhadapnya.

"Nin, kamu suka pelajaran IPA ya?" Tebakku asal. Biasanya kutu buku sepertinya suka pelajaran ini. Teman-teman sekolahku dulu pun begitu.

"Iya. Kok kak Rama tahu?"

Aku menemukan binar rasa penasaran di matanya saat menjawabku. Terlihat seperti ada semangat baru. Ketakutan yang sebelumnya itu memudar. Kesimpulanku, Anin memang sangat mencintai pelajarannya dan ini mengartikan sebuah cela.

"Aku kan juga pernah sekolah, sepertinya kita sama. Aku juga dulu suka IPA. Makanya kuliah ambil kedokteran."

Anin mengangguk-angguk paham.

"Malah nilai ujian nasionalku ada yang seratus."

"Oh ya?" Semakin jelas binar mata Anin menyambangiku. Kagum atau bagaimana itu tak penting. Satu hal yang kutahu dan harus kuperbuat adalah aku bisa mendekatinya lewat mata pelajaran kesukaannya.

"Ya begitulah, kamu boleh lihat ijasahku nanti di rumah." Hal tak penting apa itu Rama, tapi mungkin memang harus begini menghadapi anak SMP. Harus jadi bocah untuk mengadapi bocah, masuk ke dunia bocah, lalu memasuki tubuh seorang bocah.

"Anin juga mau nilai ujian Nasionalnya seratus." Antusiasnya.

"Kan kamu bimbel sana sini, pasti bisa Nin."

Tiba-tiba wajahnya lesu.

"Kenapa? Tadi semangat, kok tiba-tiba lesu begitu?"

"Teman Anin pada pintar-pintar, Anin jadi takut kalah dari mereka. Hasil try out kemarin saja nilai Anin kalah dari teman. Papa jadi marah deh sama Anin."

Bagus. Pucuk dicinta ulampun tiba. Pikiran brengsekku mulai melanglangbuana. Entah mengapa sejak melihatnya mengulum bibir tadi pikiranku terus menjorok ke arah selangkangan manis itu, dan kini pintu untuk mendapatkannya telah menganga.

"Jangan sedih.. Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu biar dapat nilai sempurna. Bagaimana?"

"Serius kak Rama mau ajari Anin?" Tanyanya seraya membelalakkan mata lebar-lebar. Seolah mendapat kesempatan emas.

Aku mengangguk santai seraya menumpu kedua tangan di atas meja, padahal hatiku sendiri sedang bertepuk tangan dengan licik. "Apa wajahku kelihatan tidak serius?"

Anin tersenyum. Manis. Imut. Lucu. Setelah kejadian malam itu baru kali ini kulihat senyumnya. Baru kusadari telah mengagumi senyummu Nin..

"Asal.. Ada syaratnya."

Anin mengangkat kedua alisnya. Ekspresinya yang datar sedang melempar tanya.

"Cukup jangan takut lagi padaku. Bagaimana?"

"Oh itu, jadi Anin tidak boleh takut sama Kak Rama lagi.." Sejenak dia berpikir lalu dalam sekejap kudengar suaranya kembali. "Iya, Anin mau. Anin tidak akan takut lagi sama kak Rama."

"Nah gitu dong.."

Aku berhasil. Aku menang. Semua berjalan sesuai rencana dan keinginanku.

Selamat datang di duniaku Anindya. Mari meneguk madu bersama seorang Rama, meskipun aku tidak mungkin menjadikanmu Sinta..

***

Follow, vote, dan komentar biar eyke seneng.. hehehe

tdk ada imbalan yg pantas bagi seorang penulis selain sebuag apresiasi

avataravatar
Next chapter