67 67. Lima Piring

Lily tertunduk lemas. Saat ini Sean membawa Lily kedalam rumahnya. Sesekali air mata Lily lolos membasahi pipinya.

"Ini Ly, minum dulu." Ucap Nyonya Ida sembari meletakkan air mineral dihadapan Lily.

"Makasih tan."

"Ada masalah apa sih Ly?" Nyonya Ida langsung mecubit lengan anaknya, yang bertanya hal tersebut. Setidaknya Nyonya Ida ingin memberikan Lily sedikit waktu untuk menenangkan hatinya. Tapi anaknya ini nampaknya sangat penasaran hingga tidak memikirkan yang namanya privasi. Lily tesenyum melihat Sean yang terlihat protes kepada Nyonya Ida tanpa suara.

Akhirnya Sean memilih pergi keluar rumahnya. Membiarkan para wanita itu berbicara dari hati ke hati.

"Kamu bisa tidur sini dulu, besok pas mama kamu udah tenag baru deh kamu pulang jelasin semua ke mama kamu."

"Iya tante. Makasih banget. Lily malah ngerepotin kalian terus." Nyonya Ida tersenyum lembut kearah Lily.

"Kita gak repot kok Ly. Tante seneng bisa bantu kamu. Kamu itu.. kalau ada masalah bisa bilang ke Tante gak apa-apa kok, jangan dipendem sendiri. Mungkin mama kamu juga begitu, pengen kamu terbuka Ly."

Memang benar, selama ini Lily selalu menyimpan semua hal sendiri dengan dalih takut akan membebani seseorang. Lily takut orang itu akan kesulitan karena dirinya.

Lily tersenyum, pasti percakapannya dengan mamanya terdengar sangat jelas. Tapi Lily bersyukur, Nyonya Ida tetap mendukungnya bahkan ketika Lily berada di posisi yang salah dan memberi Lily nasehat-nasehat dengan perkataan yang baik.

"Iya tan. Besok Lily bakal jelasin semua."

"Bagus, sekarang kamu bisa tidur di kamar lama Angkasa. Masih ada beberapa barang dia disana. Gak apa-apa kan?"

"Gak apa-apa tan, sekali lagi makasih."

"Sama-sama sayang. Langsung tidur ya? Jangan terlalu difikirin nanti stress."

Nyonya Ida menatap langkah kecil Lily dngan sendu, merasa tidak tega dengan banyaknya ujian yang ditimpakan pada anak sekecil dan sekurus itu.

"Tante, kakak mana?" Teriak Aster begitu memasuki rumah Nyonya Ida.

"Sssst, uda. Biarin kakakmu istirahat disini dulu. Kamu pulang temenin mama kamu, jangan sampai mama kamu marah juga ke kamu."

"Kan udah gue bilang. Gak percaya dia. Malah panik sekarepe dewe." Ujar Sean masuk dengan tangan yang membawa totebag besar berisi pakaian milik Lily. Mengamankannya untuk sementara.

"Kan aku khawatir tante. Pulang-pulang baju kakak kesebar sana-sini. Kak Sean juga mungutin satu-satu tanpa jelasin yang terjadi."

"Mama kamu marah, tahu kakak kamu pergi ke dokter lagi tanpa sepengetahuan dia. Apalagi papa kamu pake berkas kesehatan Lily itu buat ambil hak asuh kalian berdua."

"Duh kakak, padahal Aster udah suruh bilang ke mama dari kemaren." Aster mengusap wajahnya dengan kasar. Yang ditakutkannya terjadi.

"Gak apa-apa. Tante jaga kakak kamu disini, kamu pulang aja, lihat gimana kondisi mama kamu."

"Iya tante, Aster titip kakak dulu ya." Nyonya Ida tersenyum kearah Aster, anak-anak Desi pasti sangat suit berdiri dengan tegak saat ini. Terlebih dengan orang tua yang berantakan dan tidak waras seperti Desi dan Arya.

Anak yang seharusnya masih memerlukan kasih sayang penuh, malah dipaksa dewasa dan dihadapkan dengan pilihan yang berat. Setidaknya, Desi dan Arya harusnya bisa berpisah secara baik-baik. Kenapa melibatkan anak dalam permasalahan mereka?

Nyonya Ida berharap, bantuan kecilnya akan membuat mereka sedikit membaik.

"Kak Sean jangan macem-macem ke Kak Lily ya? aku awasin loh." Ucap Aster sebelum benar-benar pergi kembali kerumahnya dengan gestur dua jari yang mengarah kematanya dan kearah Sean bergantian.

Nyonya Ida hanya menggeleng maklum, melihat rumitnya permasalahan anak muda.

"Baju Lily taruh di depan kamar Angkasa aja. Jangan diganggu." Sean mengangguk paham, dengan semangat empat lima Sean berlari kearah kamar yang dulunya adalah kamar Angkasa ini.

Sean meletakkan totebag berisi pakaian Lily tepat didepan kamar seperti perintah mamanya.

Sean menatap pintu kamar yang tertutup rapat ini, tanganya gatal untuk tidak mengetuk dan membuka pintu dihadapannya. Tangannya ingin meraih tubuh Lily kedalam pelukannya. Ini semua pasti sangat berat untuk Lily.

Tapi Sean tetap mendengarkan perintah mamanya yang meminta Sean untuk tidak menggangu Lily. Sean rasa ini bukan waktunya, Lily pasti membutuhkan waktu sendiri sekarang.

Dengan langkah berat, Sean melangkah pergi meninggalkan kamar sunyi.

Tidak seperti suasana luar kamar yang sunyi. Di dalam kamar itu, dipenuhi suara tangisan Lily.

*

Angkasa membuka pintu kamar yang sudah lebih dari satu bulan ditinggalkannya ini. Hatinya tidak tenang dan harinya sangat kacau mengetahui apa yang baru saja Lily alami sore tadi, saat Angkasa sibuk dengan pemotretan majalah.

Kakinya tidak sabar melangkah mendekat ketubuh yang kini tertidur lelap ini.

Angkasa terduduk disamping Lily. Tangannya menyingkirkan rambut yang menutupi wajah pucat Lily. Rona warna wajah Lily benar-benar menghilang. Pasti Lily sangat kesakitan saat ini.

Usapan lembut pada wajah Lily, membangunkan Lily dari tidurnya.

Lily memaksakan senyumannya saat melihat Angkasa sepersekian detik setelah membuka matanya. Lily menyipit, berusaha menahan tangisnya yang hampir meluncur untuk yang kesekian kalinya hari ini.

"Angkasa." Panggil Lily dengan suara seraknya. Angkasa segera menggenggam tangan Lily dengan kuat.

"Iya Ly, maaf aku telat. Harusnya aku dateng lebih awal." Lily menggeleng, Lily senang Angkasa ada disini saat ini. Satu air mata lolos begitu saja dari mata Lily, dengan lembut Angkasa mengusapnya.

"Makasih Sa. Udah cepet-cepet dateng kesini."

"Gak usah bangun Ly, tidur aja. Aku temenin sampe kamu tidur." Hati Angkasa berdenyut nyeri melihat Lily yang seperti ini.

"Gak mau Sa. Nanti kalau aku tidur kamu pergi. Aku gak mau sendirian. Jangan pergi ya."

Angkasa tersenyum. "Ya udah, aku temenin tidur yuk."

Angkasa mengambil tempat disamping Lily. Angkasa membalikkan badan Lily menghadapnya. Angkasa menjadikan lengannya sebagai bantal untuk Lily.

Lily masuk kedalam pelukan Angkasa, Lily merasakan sebelah tangan Angkasa yang bebas menariknya mendekat kemudian memeluk pinggangnya dengan erat.

"Sekarang tidur, aku gak akan pergi." Lily mengangguk mulai memejamkan matanya. Tak lama kemudian, Lily mendengar nafas teratur Angkasa, rupanya Angkasa sangat kelelahan hari ini.

Lily senang, ditengah rasa lelah Angkasa, Lily masih menjadi prioritasnya. Lily terkikik geli saat kaki Angkasa naik melingkarinya bagai sebuah guling.

Lily segera menarik selimut keatas, barulah Lily menyusul Angkasa tidur dalam kenyamanan yang berbeda.

*

Sean menghitung piring yang mamanya siapkan diatas meja berulang kali. Tetap saja, hasil akhir dari hitungannya adalah lima.

"Jangan dihitung mulu piringnya, kamu jadi kayak hantu jepang yang suka ngitung piring tahu gak?"

"Ih, mama. Anak sendiri disama-samain sama setan."

"Makan aja. Papa lagi diare di kamar mandi jadi lama." Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tetap saja merasa janggal dengan tatanan piring ini.

"Ma."

"Apa lagi?"

"Mama siapin piring lima buat siapa aja? Kan kita bertiga aja dirumah nambah Lily satu, kok lima?"

"Oooh, Angkasa semalem jam berapa ya? Udah jam dua belas lebih kayaknya, kirim pesan sama mama. Katanya mau tidur sini, karena dia punya kunci rumah ini ya mama suruh dateng aja. Katanya kejauhan kalau pulang ke rumah mamanya soalnya besok dia sekolah. Kenapa tanya?"

"Berarti Angkasa sekarang disini?"

"Iya."

"Tidur dimana?"

"Loh gak sama kamu?" Tanya Nyonya Ida balik pada anaknya.

"Enggak ma. Berarti..."

"Astaga!" Nyonya Ida dan Sean buru-buru meninggalkan aktivitas mereka dan berlari kearah kamar lama Angkasa.

Hati Sean tidak tenang, rasanya ada sesuatu yang membuatnya bergejolak dengan hebat.

"Mama kok teledor sih."

Nyonya Ida membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah sepasang anak adam dan hawa masih tertidur dengan lelap bahkan saat sinar matahari sudah meninggi.

Sean yang emosi melangkah mendekat untuk membangunkan mereka. Tapi kalah cepat dengan Ida yang menahan tangan anaknya.

"Sean, biarin aja mereka."

"Tapi ma..."

"Mereka pasti cuma tidur aja. Percaya sama mama, tadi juga pintunya gak ketutup rapet kan? Pasti sengaja dibuka sedikit. Liat tuh, gak kasihan apa? Ini dua adik kamu kelihatan kecapean gitu." Ucap Ida sembari menarik tangan anaknya pergi keluar sembari mengembalikan posisi pintu keposisi semula.

"Tapi ma.."

"Udah Sean, jangan kayak anak kecil. Mama tahu kam suka sama Lily, tapi kamu harus ngalah sebagai yang dewasa."

"Kok malah mama minta Sean ngalah?"

"Udah, kamu kalau berisik terus papa kamu tahu. Pasti Angkasa sama Lily langsung diseret ke KUA.." Sean merengek tak suka.

"Udah  ayo makan, keburu papamu dateng."

avataravatar
Next chapter