1 Prolog

•1 Siji 675 Danindra

Malam-malam penuh gemerlap cahaya langit di Desa Angin yang terletak di pedalaman gunung terlihat berbeda dari biasanya. Amarah api yang mencoba untuk kembali ke inangnya melahap semua yang dipijaknya. Kayu-kayu kokoh vertikal maupun horizontal menebus dosa besar yang bahkan tak pernah ia buat semasa ia berdiri hingga malam itu. Tangisan bara api memercik ke udara dingin menghangatkan sekeliling diri. Siluet hitam samar-samar menampakkan dirinya ketika sumber utama penghasil mereka muncul. Empat siluet nampak pendek seperti mereka sedang menunduk memberi penghormatan pada pujangga mereka, sedang siluet lain berdiri sendiri di tepian menganga ke malam tak berujung, dan sisanya saling berdempet berhadapan berdua, satunya bersandar pada dada di depannya dan lawannya bersandar pada mahkota yang mulai retak kala itu.

            Malang nian mereka bertujuh. Anakan bunga yang masih kuncup sedang melawan waktu dan alam secara bersamaan. Takut, khawatir, bingung akan apa yang terpotret di kornea matanya adalah warna jeruk yang mendekati apel segar. Sekali pun ia belum bisa memahami hal-hal yang sulit seperti untuk apa sebuah desa berdiri, tapi yang jelas ia tahu betul bahwa Dewa Api dengan amarahnya sedang membakar tempat ia kembali pasca penculikan yang dialami sebelumnya. Di kegelapan ruang hampa berdebu selama tujuh hari, membuat matanya terbelalak hampir lepas dari cangkangnya, hasil dari apa yang ia saksikan penuh khayat malam itu.

"Kembang api?"

"Sudah beberapa hari aku diculik, sekarang pasti sudah tahun baru, kan?"

Kata penuh tipu ia lontarkan untuk menenangkan hati yang terus bergetar tak terhenti. Siapa pun itu pasti akan mengatakannya, meski hanya sedikit menahan, meski hanya sedikit menahan....

            Dia mendekat perlahan menerjang semak belukar setinggi perut laparnya. Tetapi, tak sampai lima langkah ia berhenti. Melihat roh jahat sedang berkumpul di sana. Entah apa yang mereka lakukan ia tak tahu. Kekacauan hati dan otak melanda hebat padanya. Tanpa berpikir ulang, ia memutarbalikkan tubuhnya seperti kepala burung hantu yang melihat ke belakang. Berlari sekencang angin. Selembut angin. Semarah angin, jauh-jauh dari tempat terakhir berpijaknya. Mutiara Malam keluar dari pangkalannya membasahi jalurnya. Lari dan terus berlari adalah satu-satunya yang ia bisa lakukan kala itu. Tak ada yang bisa gadis sepuluh tahun itu lakukan saat melihatnya sendirian tak berpasang.

            Desa yang terpencil jauh dari kerumunan rumah membuatnya tak ada yang menyadari bahwa dirinya tengah diambang pintu neraka malam itu. Langit sebagai atap dengan bintang kecil sebagai kunang-kunang, pepohonan menjadi tirai pengganti yang menutup akhir dari panggung penebusan dosa. Hanya tujuh siluet, gadis kecil, dan alam yang menjadi saksi bisu atas peristiwa yang dinamakan "Obong Wengi" oleh otoritas kerajaan.

avataravatar
Next chapter