"When we're faded, maybe we'd better be done with it."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
PADA hari Rabu yang dijanjikan, Apo pun kembali ke kantor sebagaimana dia dahulu. Omega itu siap-siap di depan cermin dengan tatapan yang datar, sama persis sebelum pulang dari Australia. Dia mengancingkan jas sebagai Nattawin Wattanagitiphat. Yang merupakan sosok penuh superioritas dan tak kenal ampun.
Mile juga tidak berkomentar, meski Apo tak tidur di ranjang mereka. Sang Alpha membiarkan Apo pindah ke kamar tamu. Tepat setelah hari kremasi. Namun, kegiatan seperti sarapan. Menjenguk baby, mengobrolkan gambaran proyek besar mereka bersama-sama ... semua tetap dilakukan. Hanya saja Apo benar-benar memposisikan Mile sebagai orang lain.
"Apo."
"Ya?"
Minus tanda pernikahan mereka di jari.
"Terima kasih karena masih mengenakan cincinmu," kata Mile. Sebelum mereka beranjak dari meja makan.
"Oh, ini ...." kata Apo. "Ya, orang luar kan tidak perlu tahu kita bertengkar."
"...."
"Toh kehormatanku ada di sini. Maka takkan kulepaskan kecuali memang harus."
Srath!
"Tunggu, tunggu sebentar."
Apo pun terkesiap karena tangannya mendadak diraih. "Apa lagi?" tanyanya. Lalu melirik ke beberapa babysitter yang lewat kesana kemari. Ah, mereka pasti mulai peka suasana keluarga ini berubah.
"Selamat anniversary," kata Mile. Sampai-sampai Apo lupa sudah setahun mereka bersama.
"Oh, sudah setahun, ya," kata Apo. Lalu menarik tangannya dari Mile. "Kupikir baru kemarin aku bertemu denganmu di Sydney."
"Ya. Setahun ...." kata Mile. "Aku beruntung menandainya di kalender ponsel."
Apo melirik jari Mile yang ternyata masih mengenakan cincin juga. Dia jadi penasaran, apakah selama main di luar, Mile pun mengenakannya? Jika iya, maka sang suami mengaku sebagai Alpha yang telah berkeluarga.
Namun, bukannya bangga keberadaannya diakui. Apo justru mengambil tindakan tegas. "Mile, terserah kau ikut saranku atau tidak. Tapi sebaiknya lepas saja cincinmu sekarang," katanya. Lalu memasukkan tangan ke dalam saku. Dia merasa aman di sana. "Karena aku tak mau mereka berpikir, seolah-olah aku mengekang dirimu padahal bukan."
"...."
"Atau lebih parah lagi, jika mereka tahu aku Omega-mu, maka wajahku lah yang tercoreng saat itu."
Setelah meninggalkan Mile, Apo pun menyetir McLaren 720S-nya keluar gerbang. Wajah setenang airnya fokus menghadap ke jalan raya, dan isi otaknya berkecamuk pada setahun lalu. Kenapa aku berpikir seseorang bisa berubah semudah itu? Batinnya karena sempat memajang foto curian Mile. Berubah penampilan, belum tentu berubah semua. Aku harusnya tidak kaget.
Lagipula, kehidupan Mile di Australia lebih lama daripada pulangnya dia. Pria itu pindah sebelum masuk junior,
yang artinya berusia 13 tahun. Berarti selama 17 tahun ... dia dibalut pola pikir liberal. Dan seluruh proses kedewasaannya ada di sana. Mulai dari pubertas, remaja, hingga jadi pria perkasa--mungkin teman-teman seks yang diceritakan pun hanya yang agak diingat. Selebihnya, tak tahulah.
"Ha ha ha ha ha, tolol memang kalau aku percaya," tawa Apo di lampu merah. Lagipula pertemuan mereka mendadak. Mile tidak dalam kondisi sungguhan mencintainya. Dan setelah itu diharuskan berpuasa lama. Siapa yang akan tahan? Alpha biasa saja kesusahan. Apalagi yang sudah terbiasa berkelana.
"Tuan Natta!"
"Tuan Natta!"
"Tuan Natta!"
Para karyawan yang menyayangi Apo pun langsung menyerbu dekat. Mereka ikutan baris dengan senyum yang teramat lebar. Lalu memberikan penghormatan. Sumpah demi Tuhan Apo lupa dengan sensasi tersebut.
Terlalu lama berada di ranjang, entah untuk hamil, melahirkan, melayani suami, sakit, atau ditinggalkan kerja kemana-mana--Apo agak gamang ketika membalas sapaan mereka.
"Selamat pagi," katanya. Tapi tetap senyum juga.
Mereka pantas karena merindukan dia. Tampak jelas binar-binar pada mata itu, Apo diharapkan datang kembali sedari lama.
"Selamat pagi juga, Tuan Presdir!"
"Selamat pagi, Pak!"
"Halo, Tuan Natta!"
Betapa kehangatan sederhana ini, sanggup meringankan beban hatinya sedikit.
"Wah, ternyata benar-benar Tuan Natta," kata Sekretaris Wen yang kembali bertugas di kantornya. Manajer Yuze pun ikut memberi salam, walau masih sulit percaya dipindahkan lagi dari perusahaan Romsaithong.
"Halo, kalian berdua," kata Apo, sembari duduk di meja kerjanya. "Apa kabar."
"Baik, Tuan."
"Baik juga, Tuan."
"Bagus," kata Apo. "Oh, iya. Jam makan siang nanti kita makan bertiga. Kutraktir."
"Woaaah, yang benar, Tuan Natta?" kata Manajer Yuze sangat senang.
"Tentu, hitung-hitung perayaan aku kembali. Terus, Wen ...."
"Iya, Tuan?"
"Pernikahanmu dengan Nona Yuzu sudah dekat. Nanti bisik-bisik saja kepadaku. Mau apa? Aku makin senang kalau hadiahnya memang diinginkan karyawan terbaikku."
Wen pun langsung sumeringah juga. "Oh, tentu ...." katanya. Tanpa sungkan, karena seorang Alpha bukan tipe in-denial jika ada kesempatan besar. "Biar saya pikir-pikir dulu. Terima kasih, Tuan. Sudah mengingat hari penting saya."
"Tentu. Mana mungkin aku abai dengan orang-orang berharga perusahaan."
Selama makan siang, Apo, Yuze, dan Wen pun bercengkrama banyak hal. Kedua bawahan itu memberitahu berita yang ketinggalan, sehingga Apo tidak terlalu asing dengan kantor lagi. Mereka bilang ada karyawan yang cinlok, OB yang ternyata pandai sekali, atau Kabag baru yang hampir korupsi. Semua didengarkan Apo dengan sangat seru, apalagi Yuze bersemangat saat bicara.
Maklum, dia Beta dengan jiwa bebas. Seseorang tangguh dan paling normal diantara manusia ABO. Lebih-lebih pemikirannya terbuka. Yuze pun memerah saat ditanya gebetan, tapi akhirnya mellow juga. "Aa, Tuan Natta kenapa begitu? Jadi malu ...."
Apo pun langsung tertawa. "Tidak apa-apa. Itu normal. Tapi jangan dipaksakan juga. Pasanganmu kalau tidak siap jangan diburu-buru. Nanti susah," katanya.
"Eh, iyakah? Padahal dia sendiri yang buru-buru. Kan belum selesai S2."
"Ya, sudah suruh selesaikan dulu. Jangan gegabah," kata Apo. Mendadak ahli dalam menasehati. "Pernikahan itu lebih dari sekedar ikatan."
"Aih ... baik, Tuan," kata Yuze. "Lagipula yang bilang itu Anda. Saya pasti pikirkan baik-baik."
Apo senang karena Wen dan Yuze akan jadi keluarga. Lewat pernikahan dengan Yuzu, ketiganya nanti gabung dalam keluarga Takhon. Yah, walau satunya hanya kerabat. Tapi, karyawan biasa yang didapuk dengan orang-orang hebat? Mana mungkin mereka tak bangga.
"Aku sebenarnya masih sulit percaya percaya," kata Wen sambil memanggang daging-dagingnya. "Yuzu itu adik kesayangan Tuan Takhon. Ya, walau angkat. Tapi direstui setelah melamar? Katanya beliau akan mengawasiku kalau bermacam-macam."
"Ha ha ha ha ha, bro-com" tawa Yuze sambil menutup mulutnya. "Memang begitulah beliau. Tapi sepupuku juga tak kalah protektif. Wkwkwk ... padahal dia Omega, tapi bisa mencakar kalau sudah menyangkut kakaknya. Benar-benar Yuzu supremacy."
"Yang pasti dia cantik dan mungil," kata Wen, mendadak bucin dengan penuh percaya diri.
Yuzu sampai tersedak, lalu menepuki dadanya. "Iya, iya. Ya Tuhan ... jangan tebar-tebar bunga di sini, bisa tidak?" katanya. "Kasihan aku yang masih belum dilamar. Huhuhu ... iri sekali dengan kalian. Tuan Natta sudah menikah, dan kau akan menyusul. Hiksrot!" katanya dibuat-buat dramatis.
Apo justru mengulum senyum hambarnya. Dia mempersilakan mereka cepat-cepat makan, karena jam istirahat kantor terus berkurang. Akhirnya, keduanya pun setuju dengan anggukan.
"Ayo-ayo! Susah matang!" kata Yuze.
Ketiganya lantas berdoa walau beda yang beda. Apo Budha, Yuze Islam, dan Wen Kristen. Namun, ketiganya membagi rasa di tempat itu. Mereka melempar senyum selama menikmati wagyu panggang. Dan itu awal yang tidak buruk bagi Apo Nattawin.