1 Prolog

Putri Raquela Walmond baru saja hendak membuka pintu ruang singgasana ketika menyadari dua daun pintu mahoni itu tidak menutup rapat. Sayup-sayup terdengar pembicaraan serius dari dalam. Tidak berniat menguping, tapi percakapan mengenai lenyapnya kebun Anemone tak sengaja ia dengar. Penasaran, Raquela mengerahkan tenaga dan mendorong salah satu pintu besar nan berat tersebut hingga menciptakan celah yang lebih lebar.

Di ruangan luas berbentu persegi panjang itu ada sang ayah, Raja Frederick Walmond yang duduk di kursi kebesarannya dengan badan yang tampak tegang. Di sampingnya ada Aberoux, penasehat kepercayaan Kerajaan Axelle, yang juga terlihat sama. Di salah satu sisi ruang singgasana ada seorang pekerja kebun dan di bagian tengah ruangan berdirilah Komandan Ian serta Komandan Urie. Lalu di depan raja ada seorang pria tua yang tengah berbicara.

"Ada satu hal lagi, Yang Mulia." ucap pria tua. "Walau bunga pengganti Anemone telah ditemukan, kita tidak bisa menanamnya begitu saja--hanya seorang dewa yang mampu menghidupkannya kembali."

"Apa yang sedang kau lakukan?"

Raquela terkejut bukan main karena mendengar suara itu--suara yang membuatnya bergidik bagai udara di musim dingin. Perlahan ia membalik badan dan mendapati kakak keduanya tengah berdiri menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih menusuk dibanding udara musim dingin.

Putri Leandra Walmond memasang wajah datar nan ketus. Rambutnya pirang bergelombang, tergerai hanya mencapai pundak. Kedua matanya menyorot tajam seolah bisa membunuh siapa saja yang memandangnya, dan Raquela tidak akan mampu melakukan itu, karena pasti ia sudah mati sejak pertama kali menatap Leandra. Wanita tersebut melipat lengan di depan dada dengan aura keangkuhan yang luar biasa bagi Raquela. Satu tangannya memegang buku sejarah Anemone. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna nila yang senada dengan manik matanya. Dengan sikap yang begitu menonjol serta perawakan bak bidadari, menjadikan Leandra layaknya sosok wanita yang menyebalkan sekaligus menarik untuk dipandang dalam waktu bersamaan.

"Apa kau tidak mendengarku?" Leandra menelengkan kepala. Suaranya terdengar datar tanpa emosi. "Aku bertanya sedang apa kau di sini?"

Mata Raquela mengerjap cepat. "I-itu... aku--"

"Ah, benar. Kau kan tidak pernah mendengar."

Raquela bagai terkena kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh. Apa setiap Leandra bicara selalu memberi dampak seperti itu atau ini hanya perasaannya saja, tetapi Raquela membenci kondisi semacam ini. Wajahnya mulai memerah dengan mata yang terasa perih. Raquela menatap sang kakak yang tengah tersenyum miring tanpa minat. Dari ekspresinya, wanita itu seakan berkata: kena kau, Penguntit kecil!

"Lalu, apa kau sedang menguping pembicaraan ayah?"

"Tidak," Raquela membela diri. "aku tidak menguping."

"Kalau begitu aku tanya sekali lagi," Leandra maju satu langkah dengan gerakan yang anggun dan makin menatap Raquela penuh tekanan. Kedua lengannya masih berada di depan dada seperti telah diberi lem secara khusus apabila sedang bertegur sapa dengan adiknya. Meski bertegur sapa dalam cara yang tidak terbilang baik. "Sedang apa kau di sini?" Apa yang dilakukan olehnya sanggup membuat sang adik diam tak berkutik. Raquela bertanya-tanya bagaimana Leandra bisa bersikap seperti ini dalam waktu yang lama. Lagipula mau dijawab sejujur apa pun, Leandra pasti tidak akan memercayainya.

Setelah terjadi keheningan yang menegangkan dalam beberapa menit, Leandra menghela napas seraya memalingkan wajah ke lantai keramik--bagai tidak sudi menatap sang adik lebih lama. Wanita itu berjalan santai, tetapi mantap untuk menghampiri dua pintu kembar ruang singgasana. Raquela memutar badan, mengikuti pergerakan kakaknya yang menarik pintu hingga menutup. "Karena kau telah menguping pembicaraan ayah," ucap Leandra, menghadapkan tubuh kepada Raquela. "sebagai gantinya kau harus melakukan apa yang dikatakan ahli tanaman itu."

Alis Raquela serta-merta bertautan. Tunggu dulu, itu berarti Leandra juga mendengar pembicaraan di ruang raja? Tapi dia malah menuduhku menguping? batin Raquela merasa hal ini tidak adil dan sungguh memuakkan. Perlahan Raquela menyadari sesuatu yang berubah dalam dirinya. Perasaan marah yang berkecamuk hebat, emosi yang mendadak menggema seperti suara pintu yang didobrak penagih utang meminta penuntasan--tak terbendung, dan ingin dimuntahkan ke hadapan wanita itu. Sekarang juga.

"Leandra, kau--"

"Aku tidak menguping," Leandra menyela, seakan mengetahui apa yang dipikirkan sang adik. "Aku sudah tahu hal itu jauh sebelum mereka membicarakannya. Sekarang tunggu apa lagi? Pergilah ke Bumi dan cari pengganti bunga Anemone." titah Leandra kemudian bergegas pergi seperti tidak ingin dikejar adiknya bila dia hendak protes. Sebelum langkahnya makin jauh, Raquela dengan keberanian yang didapatnya memanggil nama sang kakak. Di sana Leandra berhenti, lalu menoleh sedikit tanpa perlu repot-repot membalik badan. Raquela mencoba mengatur napas senormal mungkin.

"Aku akan menuruti perintahmu, tapi dengan syarat." Raquela menelan salivanya dengan kasar. "Ada banyak hal yang terus mengusik pikiranku sejak kali pertama aku mengenalmu sebagai salah satu kakakku; apa selama ini kau sungguh membenciku? Mengapa kau membenciku? Dan bagaimana cara agar kau berhenti membenciku?"

Dalam satu gerakan lambat yang anggun, Leandra memutar tubuh dan menatap lurus kepada manik hijau pirus di hadapannya. Walau jarak mereka terbilang jauh, Raquela dapat melihat dengan jelas ekspresi datar kakaknya yang terasa makin dingin dan mencekam. Atmosfer menegangkan itu masih menyelimuti. Raquela berharap ia tidak perlu berada dalam kondisi semacam ini lagi untuk seterusnya. "Jadi, Leandra," panggilnya. "aku ingin kau menjawab semua itu. Beri aku alasan." Raquela selesai bicara. Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menduga semua emosi dan kekesalan itu sudah tersalurkan seutuhnya.

Leandra bergeming--tampak tidak tertarik. Lalu ia kembali menghampiri Raquela dengan cara berjalannya yang sungguh indah. Kedua lengannya masih terlipat di depan dada hingga membuat Raquela bertanya-tanya apakah mereka tidak merasa pegal? "Baiklah." Leandra bergumam. Ia menempatkan diri di depan sang adik lantas melirik sekilas ke arah pintu ruang singgasana. "Jika kau berhasil menemukan pengganti bunga Anemone, maka kembalilah kemari dan akan kukatakan atas apa yang selama ini mengusik pikiranmu."

* * *

avataravatar
Next chapter