2 Pertemuan

Setengah berlari aku memasuki area sekolah. Kalau aku pikir, sekali dalam seumur hidup baru kali ini aku membajak angkot. Kalau bukan karena si abang angkot yang ngeselin enggak bakalan aku senekat itu. Jadi kalau kata pepatah mah 'jangan salahkan bunda mengandung tapi salahkan si supir angkot yang bertingkah'. Uupsss... Hihihi.... Pepatah ngasal.

Aku melenggang dikoridor melewati kelas demi kelas. Samar dibelakangku terdengar suara cekikikan yang berubah jadi tawa. Aku menoleh ke belakang. Tampak dua makhluk aneh yang tertawa terbahak. Makhluk yang satu terlihat tinggi, gagah kulit putih dan untuk ukuran makhluk sebangsa dia termasuk cakep tapi sayang otaknya agak konslet kurang se-ons mungkin.

Makhluk itu bernama Nuno- sahabat karibku.

Sedangkan makhluk yang satunya lagi- aku enggak tahu. Dia manis, tinggi dan tampak karismatik. Baru kali ini melihat dia. Teman sekelas Nuno kah?

"Ngapain lu berdua ketawa?" tanyaku heran.

Bukannya menjawab pertanyaanku, tawa mereka malah makin keras. Parahnya si Nuno malah ngakak sambil nunjuk-nunjuk muka. Eh? Ada yang salah sama muka aku?

"Lu berdua ngetawain gue, ya?"

Nuno agak meredakan tawanya lalu menghampiriku seraya menepuk-nepuk pundak.

"Hebat! Gue salut sama lu. Demi datang tepat waktu ke sekolah lu sampe nekat ngebajak angkot hahaha...."

Aku mendengus mendengar ucapan Nuno.

"Terus diomelin sama tuh si supir angkot lu malah cengengesan. Benar-benar konslet ya otak lu..." timpalnya lagi.

"Lu berdua tahu darimana?" tanyaku tanpa ekspresi.

"Gue sama Dhani lihat semuanya di depan gerbang tadi " jawabnya dengan mengangkat-ngangkat kedua alisnya, sok genit kemudian tertawa ngakak lagi.

"Seneng lu ye lihat teman susah...!"

Mereka berdua tetap saja tertawa. Aku melirik pada cowok yang berada disamping Nuno.

"Lu siapa? Ikut-ikutan tertawa lagi. Enggak lucu tahu!" ucapku sewot.

Dia meredakan tawanya lalu menghampiriku seraya mengulurkan tangan.

"Gue Gio Ramadhani. Panggil saja Dhani. Gue teman sekelas Nuno "

Aku melengos tanpa menghiraukan uluran tangan dia.

"Jangan hiraukan sikap dia. Kalau lagi bete

bawaannya suka sensi " kata Nuno yang di iyakan oleh Dhani.

"Karena pengaruh pembajakan angkot yang dia lakukan atau karena omelannya si supir angkot ya?"

Aku menutup telinga dan enggak menghiraukan semua ocehan dua makhluk yang berada dibelakangku.

******

Aku menyantap makanan yang ada dihadapanku dengan lahapnya seperti orang yang berbulan-bulan enggak pernah makan. Beberapa pasang mata melihat tingkahku seraya senyum-senyum enggak jelas. Tapi aku enggak peduli. Aku tipe orang yang kadar cueknya diatas rata-rata orang normal, bukan berarti aku enggak tahu malu. Hanya sifat bawaan orok saja meskipun aku tahu antara cuek dan enggak tahu malu perbedaannya tipis hehehe...

"Tumben lu tadi pagi bisa hampir telat datang ke sekolah? Enggak ada angin enggak ada hujan juga. Biasanya sebelum adzan subuh lu udah nongkrong di kelas" cerocos Nuno.

"Nyindir lu ye..."

Nuno mengekeh.

"Tumben is the best, No. Soal hujan dan angin kan kita bisa bikin sendiri melalui mekanisme tubuh kita, misalnya bersin dan buang angin alias kentut..."

Nuno kembali terkekeh.

"Lu benar-benar cuek abis. Tomboy kagak feminin juga kagak, makhluk nanggung lu mah"

"Enggak apa-apa gue dibilang makhluk nanggung juga asal jangan dibilang makhluk ciptaan Tuhan yang gagal saja. I'm not perfect but i'm limited edition"

"Makanya lu punya pacar biar lu enggak jadi orang yang nanggung"

Aku mengkerutkan kening, enggak mengerti.

"Apa hubungannya sama pacar?"

"Kata orang nih, cinta bisa merubah watak dan sifat seseorang. Kali aja lu ngerasain jatuh cinta, lu bisa seratus persen jadi cewek feminin enggak tomboy asal-asalan kayak begini..." cerocos Nuno.

"Feminin itu pilihan, tomboy itu keputusan. Cinta bukan hal yang bisa dipaksakan tapi harus murni datang dari hati. Biar dapat chemistry-nya. Kalaupun gue belum ngerasain jatuh cinta itu karena hati gue belum tergerak tiap kali melihat kaum Adam disekitar gue. Bagi gue, jomblo itu nasib, single itu prinsip . Semua ada waktunya dan gue harap kisah cinta gue bisa indah pada waktunya" cerocosku tak kalah panjang.

Nuno terdiam seketika.

Haaaah. Nuno menarik nafas panjang.

"Bisa putih semua rambut dikepala gue kalau harus berdebat sama lu mah, si calon penulis."

Giliran aku yang terkekeh.

"Nah, lu sendiri gimana? Gue belum pernah dengar lu cerita soal cewek sama gue"

Nuno tersenyum tipis.

Ya, kalau aku pikir enggak pernah sekalipun Nuno bercerita soal cewek, ngincer cewek mana atau lagi dekat sama siapa juga aku sama sekali enggak tahu. Padahal cewek yang ngantri sama dia banyak dan yang kutahu dia selalu berada disampingku, mendengar ocehanku bercurhat ria dan mendukung obsesiku yang ingin menjadi penulis ternama.

Memang seperti itu kan harusnya yang jadi sahabat? Tapi sebaliknya, aku enggak pernah tahu apa-apa tentang Nuno. Egoiskah aku?

Atau aku terlalu cuek sampai-sampai kehadirannya cukup sebagai teman bercanda saja?

"Ada cewek yang gue suka. Dia orangnya asyik, cuek dan terkadang terkesan autis kalau sudah berada di alam khayalannya bersama pena dan buku harian kecilnya. Tapi sayang, dia enggak pernah peka dengan perasaan gue. Hatinya belum tergerak dengan kehadiran gue "

Aku terdiam.

"Lu enggak ngomongin gue, kan?"

Nuno tersenyum.

"Terkadang dia lemot. Atau mungkin udah permanen kali ya lemotnya!" ujar Nuno seraya beranjak pergi. Aku kembali terdiam.

Haahh? Maksudnya?

avataravatar
Next chapter