6 Just Friend

Setengah berlari kesana kemari dengan pandangan mengedar ke seluruh pelosok sekolah, berharap menemukan sosok yang aku cari. Mampir ke kelasnya, enggak ada. Mencari ke kantin juga enggak ada. Kemana dia? Aku menghela nafas. Perasaan bersalah hinggap di hatiku sepulang main dengan Dhani.

'Ah...aku tahu dia dimana' pikir ku. Aku langsung berlari menuju taman belakang sekolah, tempat dimana aku selalu menyendiri. Dan benar saja, dia berada di taman ini berbaring di atas rerumputan hijau dengan mata terpejam.

Aku melangkah mendekat dan duduk di dekatnya.

"Nuno.... " panggilku lirih.

Nuno diam tak menyahut. Matanya tetap terpejam. Tidurkah atau berpura-pura tidur?

"Maafin gue. Ninggalin lu di sekolah tanpa ngasih tahu" ucapku lagi. Tetap tak ada sahutan.

Aku tahu Nuno marah. Dan wajar kalau dia marah karena aku udah membatalkan janji untuk pergi ke toko buku bareng dia, ditambah lebih memilih pergi bareng Dhani dan ninggalin dia tanpa kabar.

"Nuno..... " panggilku lagi, agak merengek.

Nuno membuka matanya lalu menoleh ke arahku. Aku manyun lihat sikap Nuno.

"Maafin gue....." Aku kembali memelas.

Nuno bangun dari posisi tidurnya lalu duduk.

"Lu beneran suka sama Dhani?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam, nggak menyahut.

"Gue tahu karakter lu kayak gimana. Lu orangnya cuek sama cowok, susah banget hati lu tergerak sama cowok. Tapi sikap lu sama Dhani beda...." Nuno terdiam.

"Lu beneran suka sama Dhani?" tanyanya lagi, mendesak.

Aku menggangguk.

"Gue suka sama Dhani. Gue juga nggak tahu rasa suka gue ini karena rasa kagum atau memang beneran cinta. Tapi, baru kali ini hati gue ngerasain hal ini"

Kulihat Nuno memalingkan muka.

"Lu satu-satunya sahabat yang ngertiin gue. Cuma sama lu gue terbuka" aku terdiam

"Lu marah gue suka Dhani?"

Nuno terdiam. Lama. Entah apa yang ada dipikirannya dan entah apa yang membuat dia marah aku menaruh hati sama Dhani. Lama sahabatan baru kali ini aku lihat sikap Nuno yang seperti ini.

"Kenapa mesti Dhani?"

Eh? Aku kontan menatap Nuno.

"Kenapa lu nggak peka dengan keberadaan seseorang disekitar lu"

"Maksud lu apaan?"

Nuno menarik nafas panjang lalu menatap lekat ke arahku.

"Lu benar-benar lemot, ya. Ya sudahlah. Apa yang lu suka pasti gue dukung. Lu kan sahabat gue"

Aku tersenyum lega mendengar ucapan Nuno. Sudah aku bilang, Nuno orang yang pemaaf.

***

Nita menghampiri aku dan Lulu yang tengah asyik membaca majalah di kelas. Mukanya ditekuk cemberut.

"Kok lu kagak ngasih tahu aye pada ikutan les"

"Ya lu tinggal ikutan saja, gampang kok. Sejak tahu Pak Gultom si guru matematika jauh lebih killer, anak-anak memang jadi ikut les tapi les lari. Biar dari jauh papasan sama Gultom yang menuju ke kelas, anak-anak bisa sampai duluan" cerocos Lulu.

"Lu, pelan-pelan ngejelasinnya. Kan lu tahu kuping si Nita tulalit" ujarku.

"Yang ketangkep sampe mana tadi, Nit?"

Nita terdiam. Lama sangat. Sampai aku dan Lulu beres baca majalah, Nita masih terdiam. Bahkan sampe bel berbunyi pertanda pulang, Nita masih saja terdiam .

"Tadi lu pade ngomong apa, ya? Aye kagak denger..."

Haaashh...

Tiga hari ini aku tidak melihat Dhani. Biasanya jadwal latihan kabaret klubnya seminggu dua kali dan sekarang adalah jadwalnya latihan. Tapi aku tidak menemukan sosok Dhani di aula. Kemana dia? Ada pentaskah di AAP house-nya?

"Ehm? Dhani? Dia izin enggak masuk sekolah hari ini, ada pentas di hotel preanger nanti sore, makanya dua hari kemarin beres kelas dia langsung pulang buat latihan" kata Nuno ketika ku tanya tentang keberadaan Dhani yang sudah tiga hari tidak kelihatan.

Aku terdiam. Ada sedikit kecewa menyelimuti hatiku. Ada rasa ingin bertemu mendera hatiku. Rindukah aku?

"Pengen lihat aksi panggung dia" ujarku tiba-tiba.

Nuno menatapku. Lalu membuang pandangannya ke arah lain.

"Gue enggak bisa nganter, ada perlu. Hari ini ada latihan band" ujarnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.

Aku terdiam. Ada yang beda dengan sikap Nuno. Lebih pendiam dan terkesan menghindariku. Ada apa dengannya?

"Gue belum pernah lihat pementasan di hotel sebelumnya. Jadi gue nggak tahu gimana cara pembelian tiketnya. Lu kan sering lihat dia pentas" 

"Lain kali saja. Kan gue udah bilang ada latihan band"

"Ya udah. Gue pergi sendiri saja"

Aku langsung pergi meninggalkan Nuno. Entah kenapa sikapnya berubah.

Aku berdiri termenung di halte, menunggu bus datang. Terik mentari begitu menyengat, membuatku ingin segera tiba di rumah. Tiap hari, biasanya aku tak perlu repot-repot berpanas-panasan ria di halte menunggu bus karena tiap harinya Nuno lah yang selalu mengantarku pulang. Semenjak tregedi pembajakan angkot tempo hari.

Aku mengibas-ngibaskan buku yang aku pegang ke wajah berharap udara yang dihasilkan bisa sedikit menghilangkan panas yang kurasa. Cuaca siang hari ini benar-benar nggak bersahabat. Dari kejauhan aku melihat sebuah motor Ninja merah melaju mendekat dan berhenti tepat di depanku, motor yang tak asing lagi bagiku. Motor Nuno.

"Ayo, gue anter pulang" ucapnya mengajak.

"Nggak usah. Gue naek bus saja. Lagian gue mau langsung ke hotel preanger lihat aksinya Dhani di panggung" Tolakku ketus.

Nuno menghela nafas panjang. Disodorkannya helm padaku.

"Cepat naik, gue anter lu ke hotel preanger lihat pementasannya Dhani. Mulainya satu jam lagi. Kalau pulang dulu nggak bakalan sempat"

"Tadi lu bilang nggak bisa nganter, kenapa sekarang bisa? Bukannya lu ada latihan band?" Tanyaku ragu.

"Gue batalin. Lagian gue nggak bisa ngebiarin lu pergi sendirian kesana. Yang ada lu malah kayak orang bego yang nggak tahu apa-apa" Jawabnya.

Aku mengambil helm yang disodorkan Nuno dan memakainya. Di bonceng Nuno di belakang motorpun melaju cepat. Aku nggak tahu hal yang membuat Nuno, yang menurutku sikapnya berubah semenjak aku dekat dengan Dhani dan semenjak kejujuranku kalau aku menaruh hati sama Dhani. Tapi apa yang salah? Toh, kita cuma sahabat.

Tiba di hotel aku dan Nuno langsung memasuki aula dimana Dhani pentas. Ada rasa senang dalam hati ketika tahu aku akan melihat Dhani meskipun cuma di atas pentas.

Pementasanpun dimulai. Dan benar saja Dhani menjadi tokoh utama dalam pementasan itu. Aktingnya keren, menjiwai dan terkadang konyol juga. Ekpresinya alami, tampak dia begitu menjiwai perannya. Sejak kapan aku begitu mengagumi dia? begitu memuji dia? Padahal aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Kesan pertama yang dia buat mungkin membuatku enggak melirik sedikitpun terhadapnya, membuatku beranggapan dia cowok pecicilan yang enggak jauh berbeda dengan kebanyakan cowok lainnya. Tapi, perbincangan yang enggak disengaja membuatku mengubah pemikiran itu. Mungkin dia pecicilan tapi dibalik itu dia mempunyai kecerdasan linguistik, itu setidaknya menurutku.

Pagelaran kabaret usai. Dhani sengaja menghampiri aku dan Nuno yang sedari awal menonton aksi panggungnya.

"Wah, thank's banget udah mau nonton pentas gue" Ucapnya riang.

"Ada yang kangen sama lu" Ucap Nuno seraya melirik ke arah ku.

Aku gelagapan, salah tingkah dan kaget mendengar ucapan Nuno yang tiba-tiba. Dhani melirik ke arahku seraya tersenyum manis.

"Kangen sama gue? Kalau gitu gue bisa dong ngajak jalan berdua?" Dhani kembali tersenyum dan memamerkan deretan giginya yang rapi. Matanya melirik nakal padaku.

Aku tersenyum, malu.

Setibanya dirumah, aku langsung membantingkan tubuhku ke kasur. Senyam-senyum sendiri seperti orang gila. Tapi satu yang selalu enggak aku pahami. Sikap Nuno yang terus-terusan ketus padaku. Seperti tadi sewaktu mengantarku sampai depan rumah. Tanpa berkata apa-apa dia berlalu begitu saja. Enggak seperti biasanya yang mampir dulu sebentar ke rumah cuma sekedar berpamitan pada mama.

Kenapa dia??? Masih marahkah dengan kejadian kemarin? Tapi aku kan udah minta maaf. Atau ada hal yang aku enggak tahu? Tapi apa? Dan aku hanya bisa menarik nafas panjang.

avataravatar
Next chapter