5 Inikah Cinta?

Langkahku terhenti, ku urungkan niatku menuju kantin. Pandanganku terpaku pada sosok yang tengah berakting di pentas. Begitu expresif dan menjiwai. Entah kenapa mataku enggak ingin lepas menatapnya. Perlahan, setiap kali melihatnya, akhir-akhir ini tepatnya jantungku berdegub kencang.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku?

"Serius banget lihat orang akting, sampe bengong gitu. Awas entar laler masuk lagi..."

Aku kaget dengan kehadiran Nuno yang tiba-tiba sudah berada disampingku.

"Penampilan Dhani keren, ya? Ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku.

"Tumben lu muji cowok?"

"Sebelumnya dia pernah ngasih saran sama gue untuk menjadikan seseorang sebagai inspirasi gue dalam menulis. Gue udah nemuin seseorang itu..."

Nuno menoleh ke arahku.

"Memangnya siapa seseorang yang jadi inspirasi lu?"

Aku tersenyum menatap Nuno.

"Dhani."

Nuno diam tercekat tanpa suara.

"Tumben lu ngomong serius kayak gini? Lu enggak sakit, kan?"

"Memangnya gue kelihatan kayak orang pesakitan, ya? Gue cuma ngerasa, udah saatnya mendengarkan hati seusai logika"

Nuno menempelkan punggung tangannya ke jidatku.

"Lu enggak lagi demam, kan? Lu ngomong kayak orang yang lagi jatuh cinta saja.."

Aku tersenyum menanggapi omongan Nuno.

"Kayaknya gue nemuin seseorang yang bisa menggerakkan hati gue. Aahh... Ini ya yang namanya jatuh cinta?" aku senyum-senyum.

"Lu enggak becanda, kan?"

Aku mengangguk perlahan, tatapanku terus tertuju pada Dhani. Ya, Dhani.

"Kenapa harus dia?" guman Nuno lirih, tapi masih terdengar Olehku.

Hmm????

Aku manatap lesu naskah yang ada dihadapanku. Batas deadline sayembara yang aku ikuti enggak lama lagi, tapi naskahku masih banyak yang kurang. Aku jadi pesimis bisa menyelesaikan naskah tepat pada waktunya.

"Kok bengong? Naskah cuma dipelototin doang"

Aku terperanjat, kaget. Ah, Selalu saja aku enggak pernah menyadari kehadiran seseorang yang menghampiri. Dhani sudah ada dihadapanku.

"Belum ada ide, ya buat bahan tulisan?"

Aku hanya mengangguk males, tanpa menyahut. Dhani tersenyum melihat sikapku.

"Gue pesimis bisa ikutan sayembara mengarang novel itu. Naskahnya banyak yang kurang sedangkan gue sendiri susah nyari ide"

Dhani terdiam. Lalu ditariknya tanganku untuk mengikuti dia.

"Ikut gue. Kita ke suatu tempat dimana lu bisa nuangin ide-ide lu. Gue yakin lu bakalan suka tempatnya" Dhani terus menarik tanganku.

"Tapi gue lagi nunggu Nuno. Gue mau ke toko buku nyari ide bareng sama Nuno" tolakku, ragu.

"Apa bedanya sama gue? toh, gue juga ngajakin lu cari ide. Memancing imajinasi lu buat berinspirasi"

Aku berpikir sejenak. Dhani lebih tahu tentang dunia menulis dibandingkan Nuno, tapi aku sudah janji duluan mau pergi bareng Nuno.

Hemm... Sudahlah, pergi sama Nuno bisa kapan-kapan lagi, kalau sama Dhani kapan lagi toh sekalian belajar teknik menulis juga.

"Gimana?"

Aku mengangguk mengiyakan ajakan Dhani.

Aku enggak tahu dimana tepatnya daerah ini. Tanpa memperhatikan jalan atau apapun tubuhku nurut saja dibawa kemana pun Dhani pergi. Dengan motor besarnya tentu. Aku takjub melihat pemandangan sekitar. 2 jam perjalanan tak sia-sia setelah melihat hamparan alam yang begitu indah dan sejuk. Perkebunan teh dan pohon-pohon rindang yang begitu hijau ditambah kontrasnya warna biru langit serta sinar mentari yang bersinar hangat membuatku semakin kagum dengan ciptaan-Nya. Pelukis Agung yang tak akan ada yang menyamai.

Aku menghirup udara dalam-dalam. Seketika sejuk memasuki rongga tenggorakan kemudian menyebar ke paru-paru. Terpaan udara sejuk pun seolah mendinginkan otakku.

Dhani melirik ke arahku seraya tersenyum.

"Gimana?" tanyanya, bibirnya enggak lepas dari senyuman.

"Hebat! Benar-benar pemandangan yang indah" jawabku kagum.

"Kadang tanpa kita sadari alam pun bisa dijadikan inspirasi menulis. Bukan hanya dari pengalaman pribadi ataupun orang lain. Segala aspek kehidupan itu merupakan bagian dari cerita"

Aku menatap Dhani yang tengah menikmati pemandangan alam. Rasa kagum dihatiku berubah menjadi rasa yang bagiku masih asing. Rasa suka-kah? Atau rasa cinta?

"Ya. Alam pun mempunyai cerita tersendiri sama halnya dengan kita yang makhluk sempurna. Hanya saja alam mengekspresikan cerita mereka dengan cara mereka sendiri."

Kini Dhani mengalihkan pandangannya ke arahku. Sesaat lamanya pandangan kami beradu.

Dhani tersenyum dengan senyum khasnya.

"Gaya bahasa lu sudah kayak penulis profesional saja. Tapi gue suka, berarti enggak sia-sia lu gue bawa kesini"

Aku tertawa malu.

"Apaan, sih lu" agak malu aku mendengar ucapan Dhani.

Dhani tertawa renyah melihat ekspresi maluku.

"Lu bisa malu juga, ya. Kirain cewek yang suka ngebajak angkot tuh ga punya malu" Dhani tertawa.

"Haloooo..!! Gue masih punya rasa malu, tau! Urat malu gue kan belum putus-putus amat. Sedikit-sedikit mah masih nyambung."

Dhani terkekeh, tawanya makin lebar.

"Gue cuma heran, kok ada cewek yang senekat itu. Tanpa pikir panjang langsung maen bajak saja"

"Memangnya lu tau riwayat gue sampe ngbajak angkot? Enggak kan?" ujarku agak sewot.

"Gue tau kok. Nuno yang cerita. Selalu dan selalu lu yang Nuno ceritain. Gue jadi penasaran juga dan gue jadi tau banyak soal lu"

"Ngapain juga si Nuno ngomongin gue. Enggak ada kerjaan banget" gumanku lirih.

"Ternyata mengenal orangnya secara langsung lebih mengasyikan daripada mendengar ceritanya doang." Dhani tersenyum dan pandangannya belum lepas dariku.

"Dan sepertinya gue harus minta maaf sama Nuno" timpal Dhani lagi. Aku mengkerutkan kening.

"Karena lu udah nyulik gue dan membawa gue kesini?" Aku tertawa.

"Enggak apa-apa, mungkin dia bakalan marah tapi dia juga pemaaf, kok! jadi enggak usah dipikirin"

Dhani tetap menatapku, dengan tatapan terlihat lembut.

"Bukan itu, gue harus minta maaf sama Nuno untuk hal lain"

Hmm? Hal lain? Apa mereka ada masalah? pikirku tapi enggak terucap.

"Ahh, gue bener-bener harus banyak minta maaf. Karena gue sepertinya...." Dhani terdiam, enggak melanjutkan ucapannya. Tatapan matanya tetap menatapku lembut.

Aku salah tingkah dan mengalihkan pandanganku ke sudut lain. Huft... Ini orang bikin ge-er saja.

"Penyakit cowok, ya. Pintar banget ngomong yang manis-manis. Adeuuuhh..." aku menepak-nepak jidatku. Dhani tetap dengan senyum khasnya.

Aku terdiam, begitupun Dhani. Aku sibuk dengan khayalanku sendiri seraya memandang hamparan alam di depanku. Ku lirik Dhani yang juga sama denganku, termenung dalam khayalannya seraya memandang hamparan alam.

avataravatar
Next chapter