3 Cita-cita

Aku mulai gelisah, tak bisa berpikir apa-apa. Otakku mendadak beku dan buntu, enggak ada inspirasi sedikitpun untuk bahan tulisanku. Siang tadi sepulang sekolah aku sengaja mampir ke toko buku mencari materi untuk tugas di sekolah. Mataku melihat sekeliling buku-buku tapi dasar penyakit lama bukan buku- buku yang aku lihat melainkan majalah remaja yang sedang 'in'. Iseng aku buka dan baca-baca, seketika mataku terbelalak- antusias ketika ku lihat ada sayembara mengarang novel remaja yang diadakan oleh majalah tersebut dan salah satu penerbit itu terpampang di halaman utama. Aku tersenyum sendiri, penuh antusias.

Aku suka menulis bukan sekedar hobi atau untuk mengisi waktu luang saja tapi aku punya target yang menjadikan 'menulis' sebagai profesi, suatu hari nanti. Maka, ada kesempatan besar seperti ini enggak akan aku sia-siakan.

Setiap manusia pasti punya harapan dan mimpi yang berbeda-beda. Boleh dibilang itu yang namanya cita-cita. Dan menulis adalah cita-citaku, meskipun banyak yang bilang menjadi penulis bukan profesi yang menjanjikan tapi bagiku enggak. Bukan karena aku mendefinisikan menulis itu mengasyikkan, menjadi penulis juga bisa sukses dari segi materi. Banyak contoh penulis yang sukses dari hasil menulisnya.

"Lu serius mau ikutan sayembara mengarang novel remaja itu?" tanya Lulu, teman sekelasku.

"Seriuslah! Jadi penulis itu udah jadi obsesi gue".

"Tapi gue ragu lu bakalan serius ngikutin itu sayembara, secara lu dari sikap dan tampang enggak ada tuh tampang-tampang suka nulis. Tiap pelajaran sejarah saja lu molor mulu" ucap Lulu lagi, sedikit mencibir.

"Ah sekate-kate lu. Lihat saja, ya gue pasti bisa jadi pemenang di sayembara itu" Ucapku penuh antusias.

"Siapa yang bikin sambel? Minta dong mumpung aye lagi makan, nih " timpal seseorang ikut nimbrung di antara obrolan kami. Aku dan Lulu kontan menoleh ke arah suara. Aku langsung menarik nafas panjang waktu tahu pemilik suara itu. Itu Nita, teman sekelas yang terkenal kupingnya yang tulalit. Ngomong sama anak ini bikin orang jadi tua sebelum waktunya.

"Bukan sambel, Nit tapi sayembara bikin cerita" Lulu menjelaskan dengan suara agak tinggi, berhubung Lulu tahu kalau kuping Nita rada tulalit.

"Ah, ngapain juga ngomongin cinta?! Cinta itu bau, kayak ditarik urat leher saking baunya. Soalnya kata orang ye, cinta itu diibaratkan kentut, ditahan bikin sakit perut tapi kalau dikeluarin bikin ribut"

Aku dan Lulu saling pandang.

"Bukan ngomongin cinta tapi bikin cerita!!! Ngomong sama lu tuh yang kayak ditarik urat leher, setres. Mending lu periksain tuh kuping ke dokter!" Lulu masih menanggapi omongan Nita, kali ini dengan emosi.

"Ah, Aye setuju. Cinta emang terkadang angker, saking angkernya kadang suka ada istilah cinta ditolak dukun bertindak. Idiiiihh, angker kan?!"

Lulu kontan berdiri seraya berkacak pinggang. Mukanya memerah, marah. Sedangkan aku mati-matian menahan tawa.

"Nit, siapa yang ngomongin cinta yang angker? Ngaco banget, sih...!!".

Nita nyengir. Tampangnya terlihat rada malu.

"Oh... Maap, maap, dah"

"Bagus lu minta maaf, Nit. Kalau enggak lu yang gue santet ke dukun."

Lulu kembali duduk. Tapi gerakan tangannya untuk membenarkan posisi kursinya, terhenti ketika Nitnot mulai bicara lagi.

"Maap ye, Lulu. Aye juga ngerti perasaan Lulu, kalau soal pikun sih, babeh aye juga begitu. Emang nyebelin banget ngomong sama orang pikun. Ye kan?"

Tawaku langsung pecah.

***********

Biar saja orang lain ragu dengan kemampuan menulisku. Yang terpenting aku akan berusaha semampuku, meskipun aku sadari kosa kata dan penempatan bahasaku enggaklah seindah seorang penulis profesional. Enggak ada istilah menyerah sebelum mencoba. Itu motoku.

"Enggak usah didengerin ocehan orang lain. Buktikan kalau lu bisa mewujudkan impian lu" Nuno menghiburku ketika ku ceritakan kebimbanganku. Dan memang selalu saja Nuno yang selalu menampung curhatan dan yang selalu berada disampingku.

"Gue selalu ngedukung lu. Pasti. Kalau perlu bantuan apapun hubungi gue. Tapi satu yang gue enggak bisa bantu, jangan nyuruh gue ngebantuin mikirin kata-kata buat bahan tulisan lu. Maklum nilai bahasa gue ancur, merah mulu"

Aku tertawa pendek lalu mengangguk perlahan.

avataravatar
Next chapter