2 Tentang Dia

Jakarta, INA.

SMA Academy Internasional

Seorang gadis bersenandung ria seraya mematut dirinya di depan cermin. Dari mulai menata rambut, seragam yang ia kenakan, hingga convers yang membungkus kedua kakinya.

"Perfect!"

Ya, satu kata yang pantas disematkan pada gadis itu adalah sempurna. Bagaimana tidak, ia berkulit putih, bulu lentik yang menghias mata bulatnya, hidung mancung, bibir pink merekah dan walau bertubuh mungil tapi ia juga tidak pendek.

Sebutlah ia, Anastasya Putri Davidson atau yang biasa dipanggil Anna. Gadis yang terlahir di Jakarta, keturunan Bangkok-Indonesia serta Paris ini adalah anak dari pengusaha ternama Bryan Davidson dan Aleena Sunshar Phongtanikor. Bryan memiliki perusahaan besar bidang properti, dan Aleena artis Thailand papan atas yang namanya juga sudah terdengar hingga mancanegara. Well, memang sungguh sempurna hidup Anastasya. Apapun yang dia inginkan akan langsung terpenuhi.

"Sekarang apa rencana lo, An?"

Saat ini pada jam sekolah, Anna tengah berada di toilet bersama kedua sahabatnya -Amanda Riana Laticia dan Karina Larasari, yang kebetulan freeclass karna guru yang bersangkutan berhalangan hadir.

"Seperti biasa, gue bakal samperin dia ke kelas. Bawa bekal seperti biasa."

Senyum Anna mengembang tatkala menjawab pertanyaan Karin, dia merasa tak sabar bertemu seseorang itu. Sementara Karin membalas dengan manggut-manggut.

"Tapi lo yakin, kali ini dia bakal terima bekal dari lo?"

Seketika Anna menghentikan aktifitasnya, ia menghela nafas.

"Gue gak peduli dia bakal terima atau enggak. Yang jelas gue gak akan nyerah walaupun dia nolak gue..yah, untuk ke seribu kalinya."

Ya! sudah satu setengah tahun lamanya Anna mengejar laki-laki di sekolahnya. Berbagai cara sudah ia lakukan, dari mulai melakukan hal kecil hingga sesuatu yang berujung masalah hanya untuk mencari perhatian lelaki itu. Katakanlah ia pengemis cinta. Tapi apa?! Sekalipun lelaki itu tidak pernah melirik dirinya, rasanya bertemu dirinya pun tidak pernah ada didaftar hidupnya. Kau tau? Ini sangat menyakitkan.

Terlihat Manda keluar dari bilik toilet, Akhirnya ketiga gadis itu keluar dari tempat itu. Melangkahkan kakinya menuju kelas.

Sadari Anna menghentikan langkahnya begitu saja. Menoleh kepalanya ke samping, tak lupa melirik kedua sahabatnya sekilas. Manda dan Karin yang tengah asyik mengobrol pun tidak menyadari bahwa Anna sudah tertinggal di belakang. Karna yang Anna lakukan adalah melangkahkan kakinya ke lain arah, ia sangat yakin bahwasannya ruangan di samping itu adalah kelas dari laki-laki yang beberapa tahun ini sudah mencuri hatinya.

Dari balik kaca, Anna melihat lelaki itu tengah memperhatikan guru yang membahas ilmu fisika di papan tulis, sesekali Anna melihat laki-laki itu menulis dibuku tulisnya. Lihatlah betapa seriusnya laki-laki itu, yang tanpa sadar membuat Anna tersenyum manis.

"Van, andai kamu tahu. Cinta sejati tidak datang dari bibir, lidah ataupun pikiran. Melaikan dari hati... mungkin kamu akan melihat begitu nyata cinta di hatiku."

**Anastasya POV

Tuhan, aku ingin selalu melihatnya. Melihat lelaki yang ku cinta itu bareng sedetik saja. Walau aku harus melihatnya secara sembunyi-sembunyi.

Ya, dia Revano El Barack.

Vano adalah laki-laki yang satu setengah tahun ini menarik perhatianku. Tidak! Sebenarnya  bukan satu setengah tahun, melainkan tujuh tahun lamanya. Berawal dari penasaran hingga aku benar jatuh cinta padanya. Entah dia ingat atau tidak, tapi saat itu...-

*Flashback On

Gunaksa Klungkung, Bali.

Bukit Belong

Dibawah anak pohon itu, tepat di usiaku yang kesepuluh tahun. Aku menangis, menangisi kepergian bang Rio, satu-satunya kakak yang kupunya. Kakak yang selalu menyayangi dan menjagaku. Yang memeluku dikala masa-masa kelamku. Yang selalu berkata "Abang bersamamu, semua akan baik-baik saja". Tapi percayalah semua itu hanya kebohongan belaka, pada akhirnya dia tetap meninggalkanku.

"Hay, kamu kenapa?"

Saat itu aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku pelan. Mau tidak mau membuatku menegakan badan juga kepalaku untuk melihat siapa orang itu. Aku tahu dia sedikit terkejut melihat keadaanku, hay siapa juga yang merasa tidak aneh melihat anak perempuan menangis di jam menjelang tengah malam. Di atas bukit pula..

"Ba.. bang Io, Na.. na kangen bang Io."

" Io?"

Dia seorang anak lelaki, aku tidak tahu siapa dia, dia tidak seperti orang Indonesia umumnya. Dia terlihat seumuran denganku. Seorang wisatawan yang fasih berbahasa Indonesia. Karna melihat orang asing berlalu-lalang bukankah hal lumrah di Bali?

"Ka.. kata mama ba.. bang Io udah gak ada. Di.. dia udah pergi ke.. ke rumah Tuhan. Dia ga.. gak akan pulang lagi. Ke.. kenapa bang Io ninggalin An.. naa"

Aku tidak tahu bagaimana reaksi anak itu setelahnya. Karna saat itu aku hanya menangis meraung, memejam erat mataku. Hanya saja  yang aku tahu keadaan menjadi sunyi beberapa saat. Pada akhirnya aku membuka mata sadari kulihat bayangan pergerakan anak itu. Dia melangkahkan kakinya dan duduk tepat di sampingku.

Matanya menerawang jauh ke depan, entah apa yang dia pikirkan. Aku hanya terisak seraya terus memperhatikannya.

"Bukankah semua orang yang berjanji akan terus berada di sekitar kita pasti akan pergi akhirnya. Saat itu mau tidak mau kita harus siap dengan yang namanya kehilangan"

Mendengar itu membuat isakanku terhenti, walau air mata masih berjatuhan. Hingga dimana anak itu mengalihkan pandangannya kepadaku,

Deg

Dia tersenyum manis padaku.

"Kita akan merasakan betapa berartinya orang itu setelah kita sudah kehilangannya, dan itu rasanya sangat menyakitkan.... Saat itulah kita hanya perlu mengikhlaskan, dan tersenyum untuk sekedar menghilangkan rasa sakit"

Dia menyingkirkan anak rambut yang sejak tadi menghalangi wajahku, jujur hatiku tersentuh. Mengingatkanku akan bang Rio yang juga selalu melakukan itu padaku kala aku menangis. Aku selalu menenggelamkan kepalaku hingga rambutku jatuh tak beraturan. Yang pada akhirnya selalu di rapihkan oleh bang Rio.

"Bundaku juga pernah berkata, kalau kita terus menangisi orang yang pergi jauh meninggalkan kita. Seseorang itupun juga akan menangis. Kamu... ingin lihat abangmu bahagia kan?

Aku mengangguk semangat... Tentu saja.

"Kalau kamu ingin lihat abangmu bahagia kamu harus tersenyum, walaupun saat itu rasanya kamu ingin menangis. Jangan lupa sempatkan do'a, supaya abangmu merasa tenang dan damai.... Jadi, ayo senyum"

Aku berpikir ragu saat itu, apa benar bang Rio akan merasa bahagia kala melihatku tersenyum. Sedangkan aku merasa tidak pernah bahagia saat aku tidak bersama dangannya. Karna bang Rio lah aku masih bisa merasakan sedikit kebahagiaan di dunia ini.

Kembali kulihat anak lelaki itu, raut wajahnya memberikan aura ketenangan untukku. Senyum tulusnya menular kepadaku tanpa sadar, Aku tersenyum...

"Terima kasih"

Hah

"Akhirnya, setelah kemarin-kemarin aku memperhatikanmu selalu murung. Hari ini aku bisa melihat senyummu"

Deg

Aku merasakan getaran di hatiku setiap melihatnya tersenyum. Apalah itu, aku sungguh tidak tahu. Aku pun tersenyum malu. Entahlah, aku baru merasa jika dia sedikit berfikir lebih dewasa. Bagiku dia seperti bang Rio.

"Oh ya, kenalkan aku Vano"

"A.. aku Anna"

*Flashback Off

***

Dari sanalah awal perkenalanku dengan Vano, atau yang sekarang harus ku panggil Revan alias Revano. Selama aku di Bali, tempat di mana oma ku tinggal. Hampir setiap harinya aku bertemu dengan Revan di bukit itu. Hingga di mana dia pun menghilang begitu saja tanpa jejak.

"Kamu sebenarnya di mana saat itu, Van? Kenapa kamu menghilang begitu saja. Padahal kita sudah membuat banyak perjanjian sebelumnya"

Aku menghela nafas lelah.

"Andai kamu tahu, setiap malam sebelum tidur aku selalu berdo'a pada Tuhan, agar Dia mempertemukan ku kembali denganmu. Sampai akhirnya lima tahun berlalu, Tuhan mengabulkan permohonanku. Walau kamu tidak ingat siapa aku, aku tetap bahagia"

Sejak saat itu dia telah berhasil mencuri perhatianku. Aku bangkit dari keterpurukanku karnanya. Dia yang mengajarkan aku untuk mengikhlaskan apa yang sudah terjadi dalam hidupku, terutama tentang bang Rio.

Satu hal, perasaan cinta tumbuh begitu saja tanpa kusadari. Entah sejak kapan tepatnya, mungkin sejak awal bertemu dengannya. Oh ayolah, saat itu aku masih belum mengerti apa itu cinta. Selain rasa sayang yang ku berikan pada kakakku.

Well, aku masih mengingat apa yang dia katakan dulu. Jika kita akan merasa seseorang itu berarti setelah kita kehilangannya, dan aku merasakan itu. Karna itulah aku tidak ingin kehilangan untuk ketiga kalinya. Tidak, tidak seperti bang Rio yang tentu mustahil untuk ku gapai.

Aku bertemu lagi dengan Revan saat menginjakan kakiku di sekolah ini. Dari mana aku tahu dia Vano yang aku cari? Karna aku tidak pernah melupakannya, rupanya masih menetap di hati dan pikiranku. Hanya saja dia bertambah tampang sekarang.

Saat melihat hanzel kedua matanya, hatiku langsung berdetak dengan kencang. Revan lelaki tampan bak dewa yunani. Dia memiliki iris mata kehijauan yang sejak dulu kuperhatikan. Karna itulah aku sangat-sangat yakin Revan adalah Vanoku. Selain tampan dia juga anak yang berprestasi, aku dengar sudah banyak tawaran perguruan tinggi untuknya. Padahal kami masih kelas dua belas. Tidak heran dia juga most wanted di sekolahku.

"Ekhem"

Aku menelan saliva. Sial! kenapa bulu kudukku berdiri, Jangan bilang...-

"ANASTASYA, APA YANG KAMU LAKUKAN?"

mampus

"Eh, pak Rahmat. Anna gak ngapa-ngapain kok pak.... Sumpah pak"

Aku memberikan senyum terbaikku, berharap pak killer ini luluh. Tapi percuma saja, dia tetap memasang wajah seramnya. Senyumanku mulai masam.

"Misi pak..."

Ku putuskan untuk pergi saja, tidak peduli bagaimana rekasi pak tua itu, aku tidak ingin berakhir seperti yang sudah-sudah, berlari di lapangan sekolah, Fine! itu terlalu melelahkan.

Sepanjang jalan aku terus mengumpat hingga akhirnya aku tiba di kelas dan duduk di bangkuku.

"Lo kenapa deh, tadi tiba-tiba ngilang. Sekarang datang-datang ngedumel gak jelas"

Manda bertanya padaku dengan herannya. Sementara aku hanya memasang wajah cemberut.

"Tau ah, kesel gue sama si killer. Masa pake acara ngomong toa di depan kelas Revan. Bikin malu tahu gak sih..."

Kulihat Manda dan Karin berdenyit.

"Emang lo abis ngapain di depan kelas dia? Pantes lo tiba-tiba ngilang"

Karin bertanya seraya melepaskan aerphone di telinganya. Saat ini kelas memang sedikit berisik.

"Gue.."

"Biasa abis ngintilan kelasnya Revan, secara ni anak gak bisa banget gak liat si doi"

Manda memotong ucapanku begitu saja, ku balas pelototan padanya. Sementara dia hanya menyengir-ngengir tabok.

"Bener banget sih kalo ngomong"

"Lagian ya An, semua orang juga tahu kali. Lo tuh cinta mati sama dia, bahkan fans-fansnya Revan takut sama lo. Secara lo kan keturunan Davidson"

Aku tersenyum miris mendengar ucapan Karin. Ya! Aku akan bersikap menyebalkan jika itu ada sangkut pautnya dengan Revan, dan untuk membuat mereka jera, aku akan membawa nama keluargaku. Karna bagaimana pun, akulah..pemenangnya.

avataravatar
Next chapter