31 Kesalah Pahaman : 2

"Oma boleh nonton, gak?"

Anna mengerjap, menarik diri dari lamunan dan buru-buru menolehkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan tersebut. Seketika matanya menangkap Mayang yang terduduk di balik meja makan, di hadapannya.

"Apa, Oma?"

Mayang berdecak,

"Ngelamun, kamu?"

Terkekeh kecil, Anna menunduk sekilas seraya membasahi bibirnya sebelum menatap lagi ke arah Oma-nya itu. Ia lalu menggeleng.

"Enggak, oma."

"Terus apa? bengong?"

Gadis itu menyengir, lantas menggeleng lagi.

"Anna bilang enggak, oma. Tadi oma nanya pensi, kan? kayaknya gak bisa. Itu kan acara khusus anak sekolahan."

"Loh, kok gitu? padahal kan oma pengen lihat cucu oma pentas."

Anna mengedikan bahunya. Ia lantas kembali mengaduk-ngaduk makanan pada piringnya itu, memakan sarapannya dengan tidak semangat. Hal itu tentu tidak luput dari pandangan Mayang. Wanita tua itu menatap dengan kerutan di dahinya.

"Kamu kenapa? Masih mikirin soal Revan?"

Anna mendesah pelan. Mendengar nama itu di sebut-sebut membuat ia kembali teringat akan kejadian kemarin. Anna mencoba tersenyum seakan ditempel permanen di wajahnya, mengenyahkan rasa sakitnya. Tapi sayangnya, senyuman itu hanya bertahan sebentar saat Mayang mengatakan sesuatu...-

"Lagian kamunya juga sih. Dia udah nunggu hampir sejam loh, tapi kamu malah pulang bareng cowok lain. Jadi oma rasa wajar kalau Revan marah sama kamu."

Anna tertegun lama sekali.

Revan nunggu gue sampai 1 jam? Ya Tuhan..

Dalam pikirannya, ia ingin segera meminta maaf kepada Revan karena sudah membuatnya menunggu selama itu, dan berakhir dengan dirinya yang malah pulang dengan laki-laki lain.

Tapi walaupun begitu, Anna juga ingin membela diri. Bukankah cerita itu dimulai karena Revan yang lebih mementingkan organisasinya ketimbang mengantar ia pulang.

Tiba-tiba suara bel berbunyi. Kontan Mayang bangkit dari duduknya, meninggalkan Anna yang masih sibuk bergelut dengan pikirannya itu.

"An, ini Revan udah datang jemput kamu. Cepat selesaikan sarapannya."

Mendengar itu seketika membuat kedua mata Anna membulat, tidak tanggung-tanggung gadis itu memutar cepat kepalanya. Dan, dilihatnya Revan yang tengah menatap datar dirinya, berdiri tepat di samping oma-nya itu.

Anna tak tahu harus berlaku seperti apa, karena benak dalam dirinya seakan meminta ia untuk berlari memeluk kekasihnya saat itu juga. Tapi, ia masih tahu diri.

Dengan segera gadis itu bangkit dari duduknya, meraih tasnya di meja dan melangkah mendekati keduanya.

"Kamu gak habiskan sarapan kamu?"

Anna menggeleng menatap Mayang.

"Anna udah kenyang, oma."

Jawabnya, lalu menatap ragu Revan yang saat ini lebih memilih melihat ke lain arah.

"Ya sudah, lebih baik kalian cepat berangkat. Biar gak kesiangan sampainya."

Revan mengalihkan pandangannya lagi pada Mayang, secara impulsip meraih tangan wanita tua itu, dan menyalaminya.

"Kami berangkat dulu, oma."

"Hati-hati ya, Revan."

Laki-laki itu hanya menjawab dengan anggukan. Pun dengan Anna, gadis itu juga memberinya salam.

"Sekolah dulu, oma."

"Iya, belajar yang rajin kalian."

Hingga akhirnya Revan pun melangkah keluar dengan Anna yang mengekor di belakangnya.

Anna merasa terlalu canggung, ia masih tidak habis pikir. Jika Revan memang marah, kenapa laki-laki itu masih datang menjemputnya?

Dengan rasa penasaran yang tinggi. Anna pun menggapai satu tangan Revan yang bebas, membuat laki-laki itu seketika menghentikan langkahnya untuk kemudian membalikan badannya menghadap Anna.

"Kamu masih marah ya, sampai gak balas pesan aku dari kemarin."

Nada suara Anna terdengar pelan, ia berusaha memberanikan diri menatap manik kedua mata laki-laki itu.

Revan tidak menjawab. Sejak tadi - tepatnya, sejak peristiwa kemarin -Revan selalu berwajah masam dan tidak peduli dengan perlakuan gadis itu yang terus menerus menghubunginya.

"Kalau marah kenapa jemput?"

Anna masih kukuh bertanya. Tanpa keduanya sadari, mereka masih saling menggenggam.

"Kamu gak mau aku jemput? maunya di jemput cowok itu, iya?"

Anna tersentak. Nada bicara Revan begitu dingin. Ia menggelengkan kepalanya cepat.

"Bukan itu maksudku. Aku..., aku minta maaf."

Revan menghembuskan napasnya gusar, berusaha mengontrol emosinya itu.

"Aku sudah berjanji padamu di depan oma, jadi jangan tanyakan lagi apa alasannya. Satu lagi, lepaskan tanganku, atau kita akan terlambat."

Pernyataan Revan seketika membuat Anna mengernyit, perkataannya itu terlalu ambigu. Dan seolah tersadar, Anna mengalihkan pandangannya pada satu tangan yang menggenggam erat Revan, ia lalu melepaskannya.

Revan membalikan badannya, menaiki motornya itu.

Sebuah senyum terbaik terulas di bibir Anna tanpa perlu ia usahakan.

Sekarang Anna tahu maksudnya. Revan hanya tengah berperan menjadi pacar yang baik baginya, tidak peduli ada atau tidak rasa cinta di dalamnya.

Ya, tidak apa-apa. Mereka bahkan baru memulai kisah cinta ini kemarin. Anna harus memberi waktu bagi Revan untuk mewujud seperti yang ia inginkan.

... Dan Anna terus menanti dan berharap.

***

"Ah, gue udah gak kuat. Mana kamera? gue mau lambaikan tangan!"

Teriak Anna ketika ia mulai pasrah dengan soal matematika di hadapannya. Tangannya diangkat dan dilambai-lambaikan pada cctv yang terpasang di kelasnya itu. Untung saja guru di kelasnya juga tengah pergi ke ruang guru.

Manda yang duduk di sebelahnya itu menghembuskan napas tak habis pikir.

"Gimana mau bisa sih, An. Berkali-kali lo bilang nggak kuat, bahkan soal satu yang ini saja belum kelar lo kerjain."

"Gimana mau kelar kalau susah, ih. Lo tahu kan kelemahan gue di pelajaran matematika. Ini lagi, lihat dong, gimana bisa dicari rata-ratanya kalau angkanya gede banget begitu."

Keluh Anna seraya berdecak.

"Makanya gue bilang yang teliti, lo saja yang gak sabaran dari tadi. Lihat rumusnya kek."

Tanpa keduanya tahu, Leo yang sudah kembali masuk sekolah itu memperhatikannya. Laki-laki itu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu.

Hingga bel istirahat berbunyi, Anna bernapas lega. Akhirnya ia bisa menyelesaikan tugasnya itu. Dengan segera gadis itu pun bangkit dari duduknya.

"Woii, Anna, lo mau ke mana?"

Panggil Karin ketika mendapati Anna hendak keluar dari kelasnya seorang diri. Anna yang merasa terpanggil menghentikan langkahnya dan menolehkan kepala. Dilihatnya Karin, Manda, termasuk Leo yang menatap kearahnya.

"Gue mau.. ke toilet sebentar. Kalian duluan saja ke kantin."

Anna menjawab dengan tersenyum, lantas gadis itu kembali melanjutkan langkahnya menuju toilet, seperti yang dikatakannya barusan.

Dan, setelah buang air kecil. Gadis itu keluar dari bilik dan mendapati dirinya mendekat pada westafel untuk mencuci tangannya, Tak lama keran itu pun dimatikannya.

"Anna, bagaimanapun caranya lo harus buat Revan gak marah lagi sama lo!"

Katanya pada dirinya sendiri, seraya menunjuk dirinya pada cermin itu.

Tiba-tiba ia mendengar derap langkah beberapa orang memasuki toilet. Dilihatnya Jessica dan Marsya tengah mengobrol dan saat itu juga mereka menangkap Anna yang juga menatap ke arahnya melalui cermin.

"Ah, sial banget sih gue! Ketemu terus ni cewek."

Kata Jessica mengalihkan pandangannya gerah setelah melihat Anna. Sementara Anna tersenyum kecut mendengernya. Ia pun lalu membalikan badannya menghadap kedua gadis itu.

"Hallo kak Jessi, apa kabar? gimana udah mundur saingan sama gue-nya?"

Anna terkekeh pelan, dan Jessica mendengus mendengarnya.

"Gue akui gue mundur, tapi inget ya, bukan berarti gue kalah dari elo. Camkan itu!"

Pernyataan Jessica seketika membuat Anna tersenyum penuh arti, gadis itu mengangguk.

"Kakak kelas yang baik."

Anna melenggang pergi kemudian, meninggalkan Jessica yang berteriak uring-uringan dengan Marsya yang sibuk menenangkannya.

Sesaat Anna berjalan hendak menuju kantin, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Leo.

"Dari mana lo, An?"

Seketika Anna menghentikan langkahnya, memandang tanya laki-laki itu.

"Gue, dari toilet kan?"

Leo tampak menepuk keningnya mendengar itu. Sebelum akhirnya..-

"Oh ya, kita di suruh ke ruang teater kata Danist barusan."

Anna mengerutkan dahi,

"Ada apa?"

Leo menggeleng, tidak tahu. Sementara Anna merasa was-was saat ini, entah mengapa ia merasa takut lagi berhadapan dengan Leo sejak kejadian kemarin. Padahal laki-laki itu baik. Mereka hanya berteman dan tidak lebih.

"Ayo, ke sana bareng."

Kali ini, Anna terhimpit oleh ajakan Leo. Apa ia punya pilihan lain? maksud Anna, bisakah ia menolak dengan logis, padahal jelas-jelas ia juga berniat pergi ke ruangan itu? Pada akhirnya, ia mengangguk, menuruti ajakan Leo, dan berharap semuanya akan baik-baiknya.

Tetapi, sepertinya, keinginannya tak akan terkabul karna seseorang menyaksikan itu dari belakang.

***

Anna keluar dari kelas teater begitu urusannya selesai, Alhasil yang ia dapati di ruangan itu hanyalah mencoba kostum yang akan dipakainya saat pensi nanti. Mengukur kembali apakah kostum sewaan itu pas dan tidak di tubuhnya.

Anna memasang kembali sepatu conversnya dan mengikat talinya itu.

"Kostum lo gimana, An. pas?"

Pertanyaan barusan membuat Anna mendongkak dan berjengit sedikit ketika melihat Leo sudah berdiri di depannya. Ia tidak menyangka Leo masih ada di sini, mengingat laki-laki itu sudah selesai duluan sejak tadi.

Anna terkekeh pelan menanggapi itu, ia berdiri kemudian.

"Selalu pas sih di tubuh gue."

Leo tersenyum kecil.

"Mau ke kantin kan? yuk..."

Sekali lagi, Anna terperagah. Ia berpikir sejak untuk mencari-cari alasan. Kali ini ia harus bisa menolak ajakan Leo. Jujur saja, ia sendiri masih bingung kenapa ia harus melakukan itu. Padahal Leo tidak ada maksud lain, hanya mengajaknya pergi bersama ke kantin. Tapi mengingat sikap Revan kemarin, kental sekali bahwa ia cemburu dengan laki-laki di hadapannya ini.

"Gue ada urusan lain lagi, Yo. Lo duluan saja, ya?"

"Urusan apa?"

Anna terdiam di tempatnya, ia meringis, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ada.. pokoknya."

Leo menatap Anna intens, ia terdiam melihat gadis itu yang tampak salah tingkah. Walau akhirnya, Leo memilih mengangguk.

"Oke, gue duluan ya."

Anna bernapas lega setelah Leo melangkah meninggalkannya. Gadis itu lantas tergesa-gesa melangkah ke lain arah untuk mencari seseorang. Siapa lagi jika bukan Revan.

Tepat saat itu lah, Anna mendapati Revan tengah berjalan bersama Hanif, anggota osis lainnya. berlawanan arah dengan dirinya.

Anna tersenyum senang begitu melihat kekasihnya itu. Jarak mereka semakin dekat, dan sesaat Anna membuka mulutnya untuk menyapa Revan. Laki-laki itu malah mengacuhkannya, hingga melewati dirinya begitu saja.

Anna menurunkan pelan tangannya, ia memandang sendu punggung laki-laki itu yang semakin menjauh.

Kenapa Revan samakin mengacuhkannya seperti itu? jelas-jelas ia juga tadi melihat dirinya.

... Sekali lagi, Anna menghembuskan napasnya lelah, ia harus terus berjuang.

avataravatar
Next chapter