30 Kesalah Pahaman : 1

"..... - iya, pokoknya lo harus udah siapin ini di ujung belakang, nah yang ini di samping tengah. Pokoknya begitu tirai panggung dibuka, semua udah siap. Waktu kita cuma 5 detik buat geser semua properti yang udah gak kepake, jadi jangan sampe fail!"

Seno berkata seraya menunjuk batang pohon besar yang menjulang tinggi di sebelahnya.

Anna yang berdiri menyenderkan punggungnya ke tembok hanya menyunggingkan senyum kecil mendengar keantusiasan laki-laki itu memberi intruksi kepada teman-temannya.

Gadis itu lantas berjalan menghampiri tumpukan tas untuk mengambil tas-nya. Dan, mengambil botol minuman dalam tas itu untuk diminum kemudian.

"Hai, An!"

Anna menoleh kepalanya ke samping dan mendapati Jasmine yang tengah berjalan menghampiri dirinya.

"Eh, Hai...! kenapa?"

"Gue denger Leo kecelakaan, ya? Sayang banget hari ini kita jadi latihan tanpa dia. Untungnya saja, si Seno mau gantiin dia sementara."

Anna mengangguk, itu juga yang dia dengar dari wali kelasnya yang kebetulan tadi pagi mengajar.

"Tapi gak parah sih katanya, cuma lecet-lecet di lutut sama sikut."

Jasmine terlihat menghembuskan napasnya lega mendengar pernyataan Anna.

"Ya, syukur kalau gitu sih. Gue takutnya dia malah jadi gak bisa tampil pas pensi nanti."

Sekali lagi, Anna mengangguk paham.

"Nanti deh, gue coba tanya langsung ke dia. Karna gue juga masih belum memastikan seberapa banyak lukannya."

Kini giliran Jasmine yang mengangguk.

"Thanks ya, An. Oh ya, lo boleh pulang duluan kalau mau. Gue rasa kita enggak perlu latihan lagi hari ini, karna percuma saja kalau Leo enggak ada. Lagian ekting lo sama Leo sudah cukup bagus."

"Oke! tapi emang gak ada yang harus gue bantuin, apa gitu?"

"Enggak kok, masalah properti udah beres semua. Tinggal urusan si Seno yang ngatur-ngatur nanti di panggung. Lagian gue udah kasih tau yang lain juga boleh pulang."

"Oh, iya sudah kalau gitu."

"Gue balik ke sana, ya."

Spontan, Anna mengalihkan pandangannya pada beberapa orang yang terlihat duduk berlesehan seraya mengobrol untuk kemudian tertawa bersama sesaat Jasmine berkata dan menunjukan arah telunjuknya.

"Oke."

Jasmine pun melenggang pergi kemudian. Sementara Anna kembali terdiam, gadis itu berpikir sesaat. Sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya dari saku.

Dilihatnya kontak pada layar ponsel, dan tak lama gadis itu juga men-dial nomor telepon seseorang lalu meletakan ponselnya itu pada telinga.

Anna mengerutkan dahi saat didengarnya suara operator yang menjawab.

Nomer Leo gak aktif, ya?

Tanyanya membatin, lantas gadis itu kembali mamasukan ponselnya ke saku.

"Terus gimana gue bisa tahu keadaan dia kalau nomer-nya saja gak aktif?"

Anna mengedikan kedua bahunya, mungkin nanti saja ia pikirkan lagi.

Ia memutuskan keluar dari kelas teater dengan membawa kembali tas-nya lalu diletakannya pada bahu. Tak lupa juga pamit terlebih dahulu pada orang-orang yang masih berada di ruangan itu.

Tak berapa lama langkahnya terhenti saat sesuatu terlintas dari pikirannnya. Ia ingat, hari ini Revan juga tengah latihan band di ruang musik bersama kawan-kawannya itu.

Senyuman muncul tiba-tiba pada bibir mungil-nya. Saat itulah Anna memutarkan langkahnya, melangkah cepat dan segera menaiki tangga untuk menuju ruang musik.

Dengan napas yang mulai terengah-engah, gadis itu pun menghentikan langkahnya.

Kini di hadapannya sebuah pintu yang tertutup rapat. Dengan ragu Anna memegang kenop pintu itu lalu membukanya, hingga membuat orang-orang yang saat itu tengah beristirahat mengobrol mengalihkan tatapannya pada pintu dan seketika munculah Anna dari baliknya. Tak terkecuali dengan Revan, ia melihat gadis itu dengan senyum manisnya.

"Eh, Anna. Kita kira siapa."

Anna terkekeh kecil mendengar perkataan Billy, tak lama gadis itu pun juga berkata..-

"Boleh ngomong sama Revan sebentar ?"

"Masuk saja kali, An."

Dimas berkata kemudian, dan Anna mencurutkan bibirnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Di luar saja ah. kalian mah suka kepo !"

Ke empat laki-laki di ruangan itu pun kontan tertawa mendengar pernyataan Anna dengan ekspresi imut-nya.

"Tau saja ih, Anna."

Kata Billy akhirnya dengan masih mengeluarkan suara tawanya itu. Pun dengan Dimas, Marchel juga Adit. Kecuali Revan, laki-laki itu menghembuskan napas pelan lalu bangkit kemudian.

"Ada apa ?"

Tanyanya sesaat Revan menutup pintu dan berdiri di luar, tepat di hadapan Anna.

"Masih lama ?"

Revan melihat arloji di tangannya, sebelum akhirnya..-

"Masih kayaknya. Masih mau nunggu? Kamu juga, memang udah beres latihannya ?"

Anna mengangguk.

"Udah.., Leo gak masuk sekolah. Jadi kita gak bisa latihan secara efektif. Ya, jadi gitu deh."

Revan terdiam, walau tak lama ia juga berkata..-

"Oh. Hari ini, kamu pulang sendiri gak apa-apa ? lagian aku masih ada urusan lain di sekolah setelah ini."

"Apa lagi ?"

"Osis."

Mendengar itu, mendadak Anna merasa jengkel. Gadis menghembuskan napasnya kesal.

OSIS lagi! OSIS mulu! OSIS terus!

Katanya membatin. Anna mencurutkan bibirnya, hal itu tentu saja disadari oleh Revan, laki-laki itu hanya menatap tanpa ekspresi.

"Ya udah aku duluan."

Anna menundukan kepalanya sebal, lantas gadis itu membalikan badannya dan melangkah lebar meninggalkan Revan yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

***

Setelah kepergian Anna, entah mengapa Revan merasakan perasaan bersalah pada gadis itu. Mungkin seharusnya ia mengantarkan lebih dulu gadisnya itu pulang ke rumah sebelum ia mengurus urusan organisasi-nya itu.

Tunggu ! Gadis-nya ?

Revan terperagah dengan batinnya, sejak kapan dirinya mengakui Anna sebagai miliknya?

Karna justru yang dilakukannya saat ini hanya sekedar bentuk peranan untuk menjadi pacar yang baik bagi Anna, di samping dia juga ingin memastikan hatinya sendiri.

Bagaimana pun Revan tidak bisa membohongi dirinya lagi dari rasa cemburu terhadap apapun yang berhubungan dengan gadis itu. Apakah hanya dengan alasan itu, dia bisa jadi menilai bahwa sebenarnya ia mulai mencintai Anna? atau hanya karna ia tidak ingin siapapun kembali merubah hidup yang sudah ia jalani, dengan merebut secara paksa apa yang ada pada dirinya itu?

Terus terang, Revan masih belum yakin!

Tapi satu hal yang pasti. Dirinya sadar, Anna sudah menjadi candu baginya.

Sementara dilain tempat, Anna memasuki mobil dengan rasa kesal. Pada akhirnya ia kembali minta supir menjemput dirinya. Karna tadinya ia ingin sekali pulang berduaan dengan kekasihnya itu.

Tapi apa daya, Revan selalu sibuk dengan organisasi-nya itu. Padahal baru tadi pagi laki-laki itu membuat janji pada-nya untuk mengantar jemput dirinya.

Sekali lagi, Anna menghembuskan napasnya lelah.

"Mang Mamat, Anna turun di taman dekat danau ya."

Katanya kemudian.

"Loh, non. Sebentar lagi kita kan sampai rumah."

Jawabnya seraya melirik Anna dari kaca sepion.

"Iya mang, Anna pengen jalan-jalan sebentar cari udara segar. Mang Mamat pulang duluan saja, nanti Anna pulangnya jalan kaki."

"Ah enggak non, mang Mamat tunggu saja kalau gitu. Takutnya enon kenapa-napa."

"Eh.. si emang, duluan saja ya? Anna gakan kenapa-napa. Lagian deket kan dari komplek rumah."

"Ya sudah kalau gitu non, hati-hati ya."

Katanya pasrah, membuat Anna tersenyum senang akhirnya.

"Iya, mang."

Anna membuka pintu mobilnya, gadis itu pun lalu turun dan menutup kembali pintu itu.

Hingga akhirnya mobil itu kembali melaju, Anna melangkah memasuki taman, untuk kemudian pergi menuju danau.

Dan sekarang, gadis itu berjalan di atas dermaga dengan langkah yang meragu, ia menatap punggung seseorang yang tengah terduduk di ujung sana seolah menatap jauh ke depan.

"Yah, gue kira gak ada orang."

Anna berjalan pelan. Ia menikmati paduan suara antara sepatu dan kayu-kayu yang membentuk dermaga itu. Melihat kembali punggung seorang laki-laki dengan seksama, walau ia juga berusaha mengabaiknnya.

Di ujung dermaga, Anna duduk di sana, berada satu sisi dengan laki-laki itu, tetapi saling bertolak belakang jarak dan kelakuannya.

Anna di sisi kiri, sementara laki-laki itu di sini kanan.

Anna mengayun-ayunkan kakinya seakan-akan menantang air untuk menariknya. Sementara laki-laki itu hanya terdiam menyilangkan kakinya.

Tadinya gadis itu ingin menyepi sendiri menghilangkan perasaan jengkel pada kekasihnya itu, tapi sekarang keinginannya harus ia kesampingkan begitu danau itu juga didatangi orang lain.

Anna merasa gatal untuk tidak melihat siapa laki-laki di samping-nya. Ia merasa tidak asing dengan punggung itu. Dan, satu waktu tanpa terduga, laki-laki itu pun juga menolehkan kepalanya.

"Leo ?!"

"Anna ?!"

Saat itulah keduanya saling bertatapan kaget, Anna cukup terkejut saat tahu Leo, laki-laki yang duduk di sebelahnya. Begitu pun Leo, ia tidak menyangka akan bertemu gadis itu di tempat ini.

***

Saat itu Leo tengah terduduk di atas kasur, menyenderkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Ia hendak mengobati luka pada sikutnya itu, namun sulit.

Tiba-tiba ketukan pintu terdengar. Leo mendongkak begitu melihat seseorang membuka pintu dan memasuki kamarnya.

"Yo, ini ada Manda. Kamu sedang apa?"

Lusi -ibunya itu berkata, membuat Leo tersentak mendengarnya. Tak lama pandangannya beralih pada gadis yang tengah tersenyum manis padannya, berdiri tepat di samping ibunya itu.

"Yaudah, tante turun dulu ya, Man. Leo, kamu awas kalau macam-macam sama Manda, ya! mama tinggalin kalian berdua."

Leo mendengus sementara Manda hanya tekekeh pelan.

Pada akhirnya Lusi pun keluar meninggalkan keduanya.

"Gimana, Yo ? Udah baikan, kan?"

Tanya Manda akhirnya, gadis itu pun melangkah mendekatinya.

Leo tersenyum.

"Udah gak apa-apa, Man. udah mau kering juga. Kamu pulang cepet, gak latihan pensi memangnya ?"

Manda menggelangkan kepalanya tegas.

"Engga, Yo. Gue kan cuma baca puisi. Tinggal apalin saja sih kalau itu. Latihan sekali juga udah dibilang bagus katanya."

Leo terkekeh singkat mendengar pernyataan itu. Sebelum akhirnya..-

"Hebat dong, lo! Man, bantuin gue pasangin lagi perban, ya?"

Manda terperagah, sadari awal jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. hanya saja ia harus pura-pura di depan Leo.

Sampai pada akhirnya, Manda mengangguk. Ia pun melakukan apa yang tadi dikatakan laki-laki itu padanya.

Sementara Leo tersenyum kecil, ia tahu jika Manda gadis yang baik. Sejak kemarin Manda'lah orang pertama yang datang menjenguk dirinya. Gadis itu juga tak segan-segan membantu dirinya mengganti perban pada lukanya.

Jujur saja, Leo merasa terbantu karna gadis itu. Walau satu sisi juga ia merasa tak enak hati saat Manda berkata jika ia akan datang lagi untuk membantunya. Karna itulah gadis itu sekarang datang kembali ke rumahnya.

"Makasih, ya."

Ucap Leo sesaat Manda selesai mengangganti perbannya itu.

"I -iya. By the way, kapan lo masuk lagi sekolah ?"

"Besok kayaknya. Ini juga udah mulai sembuh, kan."

Manda mengangguk, tersenyum. Jujur saja sehari tanpa Leo membuat dirinya seakan mati karna merindukannya.

Hingga waktu semakin berlalu, Manda pamit pulang setelah selesai makan, mendadak orangtuanya menelepon gadis itu untuk segera pulang. Karna ibu-nya meminta Manda untuk mengantarkan dirinya pergi.

Dengan terpaksa, gadis itu pun pergi dari rumah Leo. Meninggalkan laki-laki itu yang menatap intens dirinya. Hingga mobil Manda pun menghilang dari pandangannya.

"Ma, Leo keluar sebentar, ya."

Kata Leo sesaat Manda pulang, sementara Lusi mengerutkan dahi mendengarnya.

"Ke mana, Yo? memang kamu udah gak sakit?"

"Enggak, ma. Ini buktinya gak kenapa-napa."

"Ya udah. Kamu hati-hati tapi bawa motornya."

"Oke, ma."

Ucap Leo akhirnya, laki-laki itu pun menaiki motornya dan melajukannya kendaraannya itu.

Hingga motor itu pun berhenti tepat di sebuh taman di dekat danau. Ia turun dari motornya, lalu melangkahkan kakinya menuju dermaga.

Duduk di tepi sana, merenungkan semua yang terjadi pada hidupnya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dia begitu bodoh hanya karna gara-gara memikirkan gadis yang disukainya itu bersenyum intim pada laki-laki lain selain dirinya, sekalipun itu dengan kekasih gadis itu. Ya, siapa lagi jika bukan tentang Anna dan Revan.

Saat itu sepanjang jalan, Leo merasa panas dalam hatinya hingga mengakibatkan ia kehilangan fokus dan menabrak pengendara lain.

Laki-laki itu terus berpikir, tanpa menyadari seseorang di belakang berdiri menatap intens dirinya.

Leo menghembuskan napas pelan. Ia mulai menyadari seseorang sudah duduk di samping tepi sana. Saat ia menoleh...-

"Leo ?!"

"Anna ?!"

Leo terkejut begitu melihat siapa itu, seorang gadis yang sangat dikenalnya sudah terduduk di tepi sampingnya.

"Elo, kok ada di sini? lo udah sembuh emang?"

Tanya Anna histeris seraya meneliti setip luka yang sudah tertutupi perban pada kedua tangan dan kaki laki-laki itu.

Leo tersenyum kecil.

"Gue udah gak apa-apa kok. Lo segitunya khawarin gue."

Jawabnya terkekeh, begitu pun dengan Anna, Gadis itu juga sama terkekehnya.

"Ih, apaan sih lo? gue cuma heran saja ada lo di sini. Tadi gue coba nelepon lo, tapi nomer lo gak aktif, ya?"

"Ponsel gue mati pas jatoh kemaren, paksa harus beli baru. Emang ada apa?"

Leo bertanya dengan senyum simpul, ia merasa senang saat tahu gadis itu menelepon dirinya. Mungkin memang mengkhawatirnya.

"Enggak apa-apa sih. Tadi Jasmine nanya sama gue, takutnya lo jadi gak bisa ikut pensi nanti pas denger lo kecelakaan. Tapi, syukurlah ternyata lo gak parah."

Mendengar itu, Leo tersenyum kecut. Ia terlalu percaya diri.

Bodoh!

"Gue udah gak apa-apa, An. Besok juga gue masuk."

Anna tersenyum menatap Leo, mereka berlarut dalam obrolan. Hingga tak terasa waktu semakin berlalu, Anna memutuskan untuk pulang, ia bangkit dari duduknya.

"Gue duluan ya, Yo. Udah sore ternyata."

Kata Anna terkekeh singkat.

"Lo pulang pake apa? gue gak lihat ada mobil lo."

"Jalan kaki, tadinya di anter supir sih. Lagian deket ini."

Supir? dia gak pulang bareng cowoknya?

Tanya Leo membatin, sebelum akhirnya..-

"Gue anter mau, ya? gue gak mau lihat betis lo semakin gede karna jalan kaki."

Leo dengan tertawa jenaka, membuat Anna melototkan matanya pada laki-laki itu.

"Sialan lo, Yo! sorry ya betis gue gak segede itu buat lo ledek!"

Jawab Anna dengan sebal, Leo pun menghentikan tawanya mendengar itu.

"Gue cuma bercanda, elah. yuk ah gue anter."

"Ogah ya, lo harus minta maaf dulu sama gue."

Leo kembali menyunggingkan senyumnya, ia senang setiap melihat ekspresi gadis itu. Ia pun mengangkat kedua tangannya, seakan menyerah.

"Oke, gue minta maaf, cantik."

Anna tersenyum puas, gadis itu lantas membalikan badannya seraya berkata..-

"Yaudah, anterin gue."

Untuk kesekian kalinya, Leo tersenyum. Dia mengembuskan napas sebelum akhirnya melangkah mengikuti Anna.

Pada akhirnya motor Leo pun berhenti tepat di depan rumah Anna. Dengan sigap, gadis itu turun.

"Makasih ya, Yo."

Leo mengangguk.

"Gue juga pulang, ya."

"Oke, hati-hati ya. Awas jatoh lagi nanti."

"Cieee... diam-diam lo khawatirin gue."

Ledek Leo kemudian. Sementara Anna berdecak mendengar itu.

"Ih ge'er banget sih, lo!"

Walau akhirnya Anna terkekeh pun dengan Leo. Tak lama laki-laki itu juga pergi bersama motornya.

Anna membalikan badannya dan melangkah memasuki kediamannya itu. Sesaat ia akan sampai teras rumah, Gadis itu tersentak kaget. Ia dapat melihat Revan yang menatap tajam dirinya seraya memasukan satu tangannya ke dalam saku.

"Revan?"

Anna menelan saliva, entah kenapa ia merasa takut. Jantungnya berpacu hebat. Seolah kucing tertangkap basah mencuri ikan. Ia takut laki-laki itu salah paham.

Revan tersenyum sinis melihat ekspresi Anna.

"Ternyata kamu baik-baik saja, ya? aku inget jelas tadi kamu pulang duluan, tapi kenapa aku yang sampai sini duluan."

Anna tersentak,

"kamu juga seneng banget kayaknya dianter cowok itu. Sia-sia aku khawatirin kamu."

Anna menggelengkan kepalanya cepat, sudah jelas Revan salah paham. Ia dan Leo hanya kebetulan bertemu.

"Van, kamu salah paham."

"Sudahlah, aku harus balik ke sekolah lagi."

Katanya seraya melangkahkan kakinya melewati Anna, lalu menaiki motornya itu.

"Van, dengerin aku dulu!"

Sekali lagi Anna mencoba bicara, namun Revan tak juga mengindahkannya. Laki-laki itu pun pergi, meninggalkan Anna yang menatap sedih dirinya

... Tepat saat itu, Anna merasakan tajamnya panah menusuk-nusuk hati gadis itu.

avataravatar
Next chapter