4 Kenyataan

Mobil melaju memasuki perkarangan rumah mewah. Tampaklah Anna keluar dengan seraut wajah nan lesu. Sejujurnya ia malas pulang ke rumah. Tapi apa daya, tidak ada lagi tempat untuk ia singgahi.

"Non, non Anna baru pulang?"

Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri gadis itu. Melihatnya membuat Anna tersenyum, walau tampang yang sama masih tercetak di wajahnya.

"Iya, bi"

Anna memandangi sekeliling Rumah, sepi seperti biasanya..

"Mama dan papa belum pulang ya bi"

Itu bukan sebuah pertanyaan melainkan pernyataan, karna tanpa bertanya pun Anna sudah tahu jawabannya.

"Tadi sih bibi liat bapak pulang non, tapi gak lama pergi lagi" jeda "Kalau mama non Anna, non tahu kan mama tiga hari yang lalu ke bangkok. Mungkin mama sibuk non"

Bi Marni menjawab dengan sedih. Wanita tua yang sudah dua puluh tahun ini mengurusi rumah keluarga Davidson.

Anna mengangguk, tersenyum miris.

"Yaudah, Anna ke atas dulu ya bi"

"Non mau makan? Biar bibi siapin ya"

Anna menggelang.

"Anna udah makan bi, Anna istrahat dulu ya"

Kembali, Anna melangkahkan kakinya menaiki tangga setelah pamit kepada bi Marni, yang ia inginkan hanyalah kasurnya.

Dalam hati bi Marni meringis tangisan. Sungguh ia bersedih setiap melihat anak majikannya itu.

Bruuk

Anna mendaratkan tubuhnya ke atas kasur, ia menerawang langit-langit kamar. Tidak lama, terdengar helaan nafas beratnya. Sampai kapan semua ini berakhir? Kalau boleh terus terang ia sudah lelah hidup seperti ini.

Pandangannya tertuju kepada benda yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. Sebuah bingkai foto terpampang indah disana. Anna sedikit bangun dari tidurnya untuk menggapai foto itu. Foto lama yang ia jaga dengan baik. Foto dimana dia dan kakaknya masih bersama-sama untuk terakhir kalinya.

Dengan mata sendu Anna menatap foto itu.

"Bang, Anna kangen. Apa abang juga kangen Anna?"

Anna mengelus lembut foto itu.

"Andai abang masih di sini. Mungkin Anna tidak akan merasa terus kesepian"

Tercekat, Anna lagi-lagi merasa tenggorokanya perih. Shit! Jangan mulai An!! Ia pun meletakan kembali foto itu pada tempatnya, dan bangkit menuju kamar mandi.

Sementara itu di lain tempat Revan tengah membaca proposal di kamarnya. Proposal yang dikirim anggota osis lainnya untuk kepentingan sekolahnya.

Tapi itu tidak berlangsung lama, karna suara gaduh terdengar dari luar kamar.

Tok tok tok

Revan menghela nafas, dengan terpaksa ia menunda kegiatannya dengan meletakan proposal yang sejak tadi dibacanya di meja, Revan pun membuka pintu kamarnya.

"Kenapa lagi?"

Seorang gadis tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Apa, Gwen sayang?"

"Kak Levan agi apain sih? Dali tadi Wen teliak gak dijawab. Mom dan dady uda nungguin di meja akan"

Revan tersenyum geli.

"Kak Revan sayang, bukan kak Levan, oke! Lagian teriakan Gwen terlalu abstrak di telinga kakak"

Gadis yang dipanggil Gwen itu memajukan bibir bawahnya, cemberut. Membuat Revan terkekeh kembali.

Lucu banget sih..

By the way, gadis itu bernama Gwenasia Kamylia Barack. Bagi Revan, Gwen adalah segalanya. Karna ia gadis yang Revan sayangi, dan satu-satunya adik yang ia miliki, walau yang setiap saat yang Revan lakukan menjahili adiknya itu.

Karna Gwen masih berumur tiga tahun, bersuara cempreng dan bicaranya pun belum benar. Ya, ia adalah gadis kecil yang imut nan lucu.

Revan pun akhirnya mengajak Gwen ke meja makan. Ia telah melihat Mom dan daddy nya yang asyik bercengkrama, sadari tadi menunggunya untuk makan malam bersama.

"Maaf nunggu mom, dad."

"Kamu abis ngapain, Van? Mom sadari kamu gak keluar-keluar kamar sejak pulang sekolah"

Laura Barack -ibu Revan bertanya dengan alis saling bertautan, seraya mengambilkan lauk pauk untuk suami tercintanya.

"Biasa mom, kegiatan sekolah"

Laura mengangguk paham. Bukan tidak ingin melanjutkan obrolan. Karna ia sudah tahu betul seperti apa Revan jika sudah menyangkut urusan sekolah.

"Gimana dengan nilai akademis mu, Van? Daddy gak mau melihat kamu aktif diluar kegiatan belajar sementara nilaimu menurun"

"Dad tenang saja, Revan masih bisa pertahanin"

James Barack -ayah Revan mengangguk senang. Betapa beruntungnya ia memiliki Revan. Putra sulung Barack, keluarga yang cukup terpandang.

Sementara Revan mengatupkan mulutnya, menurunkan seluruh pandangannya. Ia tahu betul betapa kedua orangtuanya itu bangga atas dirinya. Bukan tanpa alasan ia mempertahankan mati-matian apa yang sudah ia kerjakan selama ini.

Karna itu yang hanya bisa aku berikan untuk kalian...

***

Dipagi hari pukul 6.30 pagi Anna berkesiap untuk pergi ke sekolah. Ia berjalan dengan santainya melewati tangga satu-persatu.

"Kamu tidak sarapan dulu, honey?"

Suara itu datang ketika Anna dengan dinginnya melewati meja makan, dengan terpaksa Anna pun menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya.

"Oh.. mama sama papa ada di rumah. Anna kira kalian gakan balik lagi ke rumah ini"

Suara Anna terdengar begitu ketus. Ia menatap datar kedua oratangtuanya -Bryan dan Aleena, yang tengah duduk manis di meja makan.

"Anna, Apa yang kamu katakan? Apa pantas kamu bicara dengan nada seperti itu kepada orangtuamu. Dimana etika kamu? Papa tidak pernah mengajarkan kamu seperti itu!"

Anna tersenyum mengejek.

"Apa Anna gak salah denger? Emang papa pernah ya ngajarin Anna ber-e-ti-ka. Engga kan? Karna apa? KARNA YANG PAPA SAMA MAMA LAKUKAN SELALU SIBUK DENGAN URUSAN MASING-MASING TANPA PEDULI ANNA. AYAH DAN IBU MACAM APA KALIAN?!"

Braak

Suara gerbrakan meja seketika membuat Anna dan Aleena berjolak kaget. Kali ini Bryan sudah benar-benar dibuat emosi putrinya sendiri.

"ANASTASYA, JAGA UCAPANMU!"

"Sudah mas! Tahan emosimu!"

Aleena mencoba melerai, ini masih pagi pikirnya. Sementara Bryan mulai mengatur nafas, ia mulai geram dan sesak.

"Lihat anakmu! Makin hari makin susah di atur" jeda "Itu tuh, itu karna kamu Lena, karna kamu yang tidak pernah nurut padaku agar tetap diam di rumah untuk mendidiknya!

"Apa? JADI MAS SALAHIN AKU? Ooh come on, emang mas pikir aku kerja karna apa?! JIKA BUKAN KARENA..."

"CUKUP LENA!"

Oh God, Stop it!

Dalam keadaan emosi, Anna memutuskan pergi ditengah-tengah pertengkaran kedua orangtuanya. Ia tidak ingin ambil pusing, dan melangkahkan kakinya keluar tanpa berkata apapun. Sudah biarkan saja, karna itu hal yang biasa menurutnya.

"Non... Non Anna!"

Bi Marni berlari menghampiri Anna, dan bersyukur ia masih bisa menyusul anak majikannya itu tepat sebelum Anna membuka pintu mobil.

"Non yang sabar ya non"

Air mata menggenang di pelupuk mata bi Mari, seraya terus mengusap lembut tangan Anna. Sementara Anna hanya memandang sendu. Ternyata emang benar, hanya bi Marni yang peduli padanya di rumah ini.

Anna tersenyum tipis

"Enggak apa bi, semua ini udah biasa kan? Bibi jangan nangis. Anna biasa saja kok. Anna kuat"

Bi Marni mengusap air matanya kasar, ia tidak ingin membuat Anna semakin sedih.

"Oh ya, non. Ini bibi bawain bekel. Non kan belum sarapan"

Anna kembali tersenyum, hanya kali ini ia tersenyum manis.

"Makasih ya bi, Anna pergi dulu"

Mobil Anna pun melaju meninggalkan pekarangan rumah. Sepanjang perjalanan gadis itu hanya terdiam melayangkan pikiran. Hati dan pikirannya kusut. Tapi ia harus tetap fokus karna ia tengah mengendarai.

Setelah dua puluh menit lamanya, mobil Anna pun tiba di parkiran sekolah. Ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju kelas.

Sepanjang jalan di koridor orang-orang pun memperhatikannya. Ada yang menatapnya sinis, ada yang menatapnya takut dan ada pula yang menatap dengan tatapan memuja. Sementara Anna yang menjadi pusat perhatian hanya menatap tanpa ekspresi, hingga tanpa sengaja tatapannya melihat suatu subjek yang berjalan ke lain arah. Seketika tampangnya pun berubah, ia berlari mendekati targetnya.

"Pagi Revan sayang"

Anna tersenyum manis, tatkala melihat Revan menatap dirinya. Itu pun karna gadis itu menghalangi jalan yang dilalui laki-laki itu.

Revan menatapnya datar setelah tahu siapa yang menghadang jalannya.

"Minggir"

Anna pura-pura cemburut.

"Kok gitu sih sama pacar sendiri"

Revan menghela nafas gusar, ia melangkahkan kakinya lagi tanpa menggubris Anna.

"IH REVAN, JANGAN PERGI!"

Anna berteriak dikala Revan telah jauh meninggalkannya. Hal itu tentu saja mengundang sekelilingnya menatap dia. Ia pun menghentakan kakinya kembali berjalan menuju kelas tanpa peduli tatapan orang yang masih tertuju kepadanya. Sampai di mana Manda yang sejak tadi memainkan gadget nya, mendapati tampang kusut Anna.

"Kenapa An?"

Anna melirik Manda sekilas seraya duduk di sebelahnya.

"Biasa, Revan cuekin gue"

"Elah... itu bukannya biasa"

"Iya sih..."

Anna terkekeh, sementara Manda menggeleng-gelengkan kepala.

"Si Karin belum belum dateng?"

"Tuh.."

Manda menunjuk Karin yang tepat di belakang pojok bersama teman-temannya yang lain. Membuat Anna berdecak.

"Gak bikin tugas lagi tuh anak"

"Tau, clubing mulu sih dia"

Anna menggelengkan kepala, Ya! Dari kedua sahabatnya. Karin adalah sahabat yang paling liar yang hobinya keluar masuk club. Bukan tanpa sebab ia datang ke tempat itu, itu karena kekasihnya adalah salah satu pemilik club yang banyak digandrungi pemuda bahkan artis sekalipun. Membuat ia betah berlama-lama di sana.

Jangan tanya kenapa orangtuanya tidak melarang dia. Itu karna orangtuanya yang tinggal jauh di luar kota.

Tau deh kalo bonyok nya tau, abis tuh anak....

Anyway, walau Karin sering datang ke club. Bukan berarti dia juga gadis nakal. Karin bisa menjaga dirinya, dan Anna percaya itu. 

avataravatar
Next chapter