5 Hari-Hari Penuh Emosi

Anna mendesah kesal karna mata pelajaran di kelasnya baru usai setelah hampir sepuluh menit yang lalu bel istirahat berbunyi.

gadis itu pun keluar dari kelasnya, tak lupa membawa kotak makan yang diberikan bi Marni padanya tadi pagi. Seperti biasanya makanan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk pujaan hatinya. Siapa lagi jika bukan Revan.

"Kalian duluan ya ke kantin. Sekalian pesenin buat gue kayak biasa"

"Oke"

Setelah berbincang dengan kedua sahabatnya, ia juga memutuskan untuk pergi menghampiri Revan. Bukan ke kelasnya, melainkan ke ruang osis. Ya, Anna tahu betul jika Revan pasti ada di ruangan itu.

"Sudah kuduga.."

Ruang itu tidak ditutup sama sekali, jadi Anna bisa melihat dengan jelas jika ada Revan di dalamnya.

Tunggu!

Tapi bersama siapa dia? Terlihat seorang gadis yang berdiri di samping Revan yang saat ini tengah duduk di kursi di depan komputer. Anna mengerutkan dahinya, dikala ia menyadari sesuatu hingga menatap tajam gadis itu.

"Apa sih tuh cewek, senyum-senyum sendiri. Pake acara nyuri-nyuri pandang Revan lagi... Gak bisa dibiarin nih...!"

Akhirnya Anna pun masuk ke ruangan itu. Di taruhnya kotak makan itu secara asal, tidak peduli diletakan di mana. Yang Anna pikirkan ialah menghampiri keduanya tanpa berpikir panjang.

"HEH.. BISA GAK LO MATANYA JANGAN JELALATAN?!"

Anna mendorong bahu gadis itu, memisahkan jarak antara gadis itu dengan Revan. Demi Tuhan, dia kesal melihatnya. Apalagi gadis itu adalah Sisil, yang notabenya salah satu musuh Anna saat ia duduk di bangku menengah pertama. Sialnya, Anna harus satu sekolahan lagi dengan dirinya, ditambah Sisil juga salah satu anggota osis di sekolahnya saat ini. Otomatis dia selalu dekat dengan Revan.

Sisil mengaduh kesakitan, tatkala Anna mendorong bahunya. Begitu juga dengan Revan, ia terkejut karna tiba-tiba sudah ada Anna disampingnya.

"APAAN SIH LO? SAKIT TAHU GAK!"

Sisil mengusap-ngusap bahunya, sementara Anna mengerutkan dahinya.

'Nih anak lebay banget, orang dorong pelan juga. Dasar tukang cari muka!'

Revan yang mulai geram pun bangkit dan menarik paksa tangan Anna. Sebelum mendengar protesan dari Anna, ia menyeretnya keluar dari ruangan itu untuk membawanya ke suatu tempat.

Semua mata lagi-lagi memandang pasangan fenomenal itu. Hanya bedanya sekarang mereka saling menggenggam, berjalan melewati orang-orang. Hal itu tentu saja mengundang kehebohan. Tatkala para gadis di sekolah itu bersuara dengan bisingnya.

Ada yang berkata bahwa mereka pasangan serasi, dan ada pula yang menatapnya iri. Terutama dua orang diantaranya menyaksikan dengan penuh kebencian.

Sementara Anna yang ditarik laki-laki itu hanya tersenyum, seakan kupu-kupu bertebangan di perutnya. Padahal ia tahu Revan sedang dalam emosi. Itu karna pertama kalinya Revan menggenggam erat Anna.

"Jelaskan!"

Revan bertanya dengan tajam, sesaat ia melepaskan tangan Anna tepat di halaman belakang sekolah yang jarang di kunjungi orang. Seraut wajah kecewa Anna tercetak di wajahnya, begitu Revan melepaskan tangannya.

"Jangan deket-deket Sisil, kamu gak tahu siapa dia sebenarnya. Aku gak suka dia. Apalagi dia centil banget tadi, sambil senyum-senyum sendiri ngeliat kamunya. Sebel tahu gak!"

Revan menghela nafas, yang benar saja.

"Apa bedanya sih sama kamu?"

Anna terdiam.

Iya apa bedanya ya? Bahkan gue lebih parah. Argh engga! Revan belum tahu saja siapa tuh anak.

"Ya... ya bedalah! Aku kan pacar kamu"

"Denger, satu hal yang ingin kutanyakan padamu. Sejak.kapan.kita.Pacaran?"

Anna kembali terdiam.

"Kenapa diam emh? Please Anna, jujur aku sudah tidak tahan. Jangan buat aku terus-terusan menahan emosi. Sebenarnya apa maumu? JAWAB!"

"Bener kamu pengen tahu apa mau aku? AKU INGIN KITA PACARAN REVANO EL BARACK. HANYA ITU. TITIK"

Revan mendengus,

"In your dream"

Laki-laki itu membalikan tubuhnya setelah mengatakan kalimat menusuknya, memasukan satu tanganya pada almamater, serta meninggalkan Anna yang tercengang.

'Ap.. Apa katanya?'

Setelah kesadarannya penuh, Anna menggigit sebagian bibirnya kesal, akhirnya ia juga melangkahkan kakinya. Berbeda dengan Revan yang bermaksud ingin kembali ke ruang osis, Anna berlainan arah hendak pergi ke kantin. Keduanya sama-sama butuh pelampiasan.

"Mana makanan gue?!"

Karin dan Manda yang sadari tadi asyik mengobrol menatap heran Anna.

"Nih..."

Karin menyodorkan semangkuk bakso dan lemon tea pesanan Anna seperti biasanya. Anna pun langsung duduk di kursinya dalam sekali hentakan dan langsung melahap makanannya dengan kasar. Membuat kedua sahabatnya melogo.

"Pelan-pelan kali An, kalo lo kesendak gimana? Kayak lo gak makan seminggu tahu gak.."

Manda bergidik, menatap jengah Anna.

"Ada masalah lagi ya sama Revan, An? Akhir-akhir ini lo emosian mulu. Biasanya masa bodo mau si Revan gimana-gimana juga"

Karin mulai penasaran.

"Tau nih Rin, Man. Gue kesel banget sama Revan, Udah mah tadi gue liat si Sisil nempel-nempel gitu sama dia. Makin bete saja gue"

Anna cemberut seraya mengaduk-ngaduk baksonya. Hilang sudah selera makannya.

"Sisil? si Sisil teman satu smp kita?"

Tanya Manda menautkan kedua alisnya. Ada apa lagi sama tuh anak? Kenyataannya Manda, Anna dan Sisil satu smp. Tak heran ia juga tahu seperti apa Sisil.

"Sorry ya, dia bukan temen gue"

"Iya, kan bukan temen gue juga"

"So?"

"BODO AMAT!!"

Manda dan Anna terkekeh kompak, entah apa yang lucu. Sementara Karin yang tidak mengerti memilih mengangkat kedua bahunya.

Tak ayalnya dengan Revan yang berjalan menuju ruang osis dengan alis saling bertautan, karna begitu banyak pikiran yang ada di kepalanya.

Ia memasuki ruang itu, terlihat Sisil berjalan bulak-balik bagai setrikaan karna menunggunya.

"Kamu gak apa-apa, Sil?"

Revan bertanya memastikan. Sementara Sisil yang mendengar itu pun menghentikan kegiatannya. Ia merasa tersanjung, apa Revan mengkhawatirkannya?

Jika kalian pikir Revan memanggil aku-kamu hanya kepada Anna. Kalian salah besar. Karna menurutnya saat bicara dengan perempuan harus lembut dan sopan. Sekali lagi, bundanya lah yang mengajarkan itu.

"Iya lumayan, kasar banget tuh orang. Salah apa coba aku?"

Revan tersenyum miris mengingat perlakuan brutal Anna.

"Maaf buat kejadian yang tadi"

"Kenapa kamu yang minta maaf, Van? Kan kamu gak salah"

Revan berdenyit. Benar, kenapa juga dia yang minta maaf atas ulah Anna. Revan yang mulai pusing pun memijit pelan pelipisnya.

"Sil, boleh tinggalin aku sendiri. Untuk laporan pensi, sisanya biar aku yang urus."

"Tapi Van..."

"Ku mohon..."

Dengan terpaksa Sisil pun mengangguk, dan pergi dari ruangan itu. Tak lupa ia menutup pintu dengan pelan. Dalam hati dia mengutuk 'Semua gara-gara lo Anna! Baik dulu sampai sekrang lo selalu ngerebut apa yang harusnya jadi milik gue. Gue bersumpah akan membalasnya'

Sisil berpikir Revan perhatian padanya. Ternyata itu semua angan-angannya saja, dan semua itu lagi-lagi karna Anna.

Revan menghepaskan pantatnya ke kursi seraya terus memijat melipisnya, itu semua karna Anna, tidak adakah hal yang lebih penting untuk dia pikirkan?

Sekilas matanya melihat kotak makan di meja. Membuat kembali kerutan di wajahnya. Apa ini ulah Anna lagi?

Revan dapat melihat secarik kertas di kotak makanan itu yang bertuliskan....-

Selamat makan my prince

TTD

Anastasya, Mrs. Revano future.

Revan tersenyum masam, lalu membuka penutupnya. Dilihatnya datar isi kotak makanan itu. Tak lama ia mengambil sendok dan menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.

"Apa yang gue lakuin?"

***

"Minggu depan kita ulangan"

Pak Sony, guru bahasa inggris yang berumur hampir 30 tahun itu berkata dengan lantangnya. Membuat para murid di kelas itu mendesah frustasi. Hingga bel pulang pun berbunyi, pak Sony pamit keluar kelas.

"Guys, ngemall yuk!"

Colek Anna kepada kedua sahabatnya.

"Males ah gue, Jakarta lagi gak oke."

Jawab Manda kemudian seraya membereskan alat tulisnya.

"Lah kok gitu sih"

"Dari kemarin loh An, kita ngemall melulu. Lagian gue ada janji sama Erik. Hari ini gue juga dijemput dia"

"Bukannya kemarin malam lo udah ketemu si Erik, ampe lo lupa sama tugas"

Anna mencibir, sementara Karin hanya menyengir kuda.

"Makannya cepet punya pacar biar gak jones!"

"Sialan lo, Man! Lo juga jones kali. Lagian lo lupa ya? Gue kan udah punya Revan"

"Iya serah deh. Gue duluan ya? Atau lo mau ikut ke rumah gue, sekalian nginep di rumah gue. Nyokap kangen sama lo katanya."

Mendengar ajakan Manda, Anna pun tersenyum senang.

"Boleh... oh ya ampun.. gue juga kangen banget tante Cindy. Eh... tapi gue nebeng mobil lo ya? Mobil gue taro sini"

Sebenarnya Anna juga mempunyai alasan lain kenapa ia selalu mengajak kedua sahabatnya itu pergi. Itu semata-mata karna ia malas pulang.

Akhirnya Anna beserta Manda dan Karin berjalan beriringan keluar dari kelasnya menuju parkiran. Dan Karin pamit izin pulang lebih dulu karna Erik -pacarnya, sudah datang menjemputnya. Menyisakan Anna dan Manda.

Seraya berjalan menuju mobil Manda, tanpa sengaja ekor mata Anna menangkap lelaki pujaannya tengah memapah seorang siswi yang berjalan pincang. Setelah itu Revan juga membantu siswi itu menaiki motor milik Revan.

What the hell?

"Man, keknya gue gak jadi ke rumah lo!"

Anna berkata dengan geram tanpa mengalihkan pandangannya dari Revan yang akan mengendarai motornya bersama gadis itu.

Manda yang ada di sebelahnya pun berdenyit, kemudian ia jadi paham setelah melihat apa yang Anna lihat.

Manda berdecih.

"Si nenek lampir itu lagi? Oke, kalau gitu cepet susul deh, An"

Anna mengangguk mengiyakan, ia berlari menuju mobilnya. Dengan cepat membuka dan menyalakan mesein mobil. Tak lupa pintunya pun ia tutup dengan kasar.

Sepanjang jalan Anna terus mengumpat. Untungnya dia tidak tertinggal dari motor Revan, karna saat ini Anna dapat melihat Revan tak jauh dari mobilnya. Ya, diam-diam Anna mengikuti ke mana Revan pergi.

"Dasar nenek lampir! Pinter banget lo ekting"

**Anastasya POV

Aku tahu betul siapa cewek itu. Ia salah satu saingan beratku, yang tidak takut dengan semua ancamanku. Bisa kulihat tampangnya yang girang karna duduk satu motor dengan lelakiku. Cih, aku yakin seribu persen kalau kakinya itu tidak apa-apa. Itu semua hanya sandiwaranya,

Ku kendarai mobilku sepelan mungkin, karna aku tidak ingin Revan semakin marah padaku. Ingatkan aku untuk membuat perhitungan dengan si nenek lampir itu.

Di saat aku sedang fokus-fokusnya memperhatikan motor Revan..-

Tiiiiiiiiit

Tiba-tiba sebuah motor melintas dari arah lain, detik itu juga aku menginjak rem secara mendadak. Kalau saja aku tidak memakai sabuk pengaman, pastilah hidungku sudah menghantam dashboard.

Shit!

Kulihat motor yang dikendarai Revan sudah hilang entah ke mana, dan akhirnya aku kehilangan jejak.

Aku pun membuka pintu mobil dengan geramnya, menghampiri si pengandara motor yang menghalangi jalanku.

"HEH, LO BISA BERKENDARA GAK SIH? MINGGIR!"

Karna suara toa ku, pada akhirnya pengendara motor itu membuka helmnya.

Deg

Tampan...

"Terpesona heh?"

Aku menggelengkan kepala. Bodoh...! bisa-bisanya aku mengagumi cowok lain selain Revan.

"Gara-gara lo, argh..."

Sumpah aku benar-benar gemas menahan emosi.

"Kok gue? Kan anda yang salah, nona. Bukannya minta maaf, malah marah-marah. Jangan-jangan sendirinya yang gak bisa nyetir"

"Sumpah, lo.... ngeselin banget!"

Aku pun menghentakan kakiku kesal. Percuma aku marah-marah pada tuh cowok, toh Revan dan nenek lampir itu sudah hilang. Yang ada aku buang-buang energi jika meladeninya.

Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke dalam mobilku. Tidak peduli celotehan cowok itu, memutar kembali, dan berjalan pulang.

Demi Tuhan, hari ini hari menyebalkan!

***Anastasya POV end

avataravatar
Next chapter