11 Diluar Rencana

Seorang gadis berkacamata berjalan menunduk seraya menggendong tas dan membawa buku tebal di tangannya. Sesekali gadis itu mendengar orang-orang yang tengah meledek dirinya. Gadis itu merasakan sakit di hatinya, kenapa orang-orang selalu menghinanya. Apa karna ia si cupu nerd?

Tanpa sengaja ia menabrak seseorang di depannya. Membuat buku tebal yang ia bawa berserakan di lantai koridor.

"Heh cupu! Kalau jalan pake mata dong. Mata lo udah empat masih juga meleng!"

"Iya nih, tambahin lima sekalian, biar tuh mata makin tebel.."

Mereka tertawa terbahak.

"Emang dasar cupu lo!"

Gadis itu hanya bisa menunduk setelah orang-orang itu berkata dengan kasarnya. Ia berjongkok memunguti buku yang berserakan itu, sesekali membenarkan letak kaca mata tebalnya.

"Ma.. maaf aku gak sengaja"

Katanya tanpa berani melihat orang di hadapannya. Sementara salah satu dari mereka mendengus jijik melihatnya.

"Man, Rin, di sini gerah banget gak sih? Heran masih ada saja sumbu pendek"

Gadis berkacamata tebal dan orang-orang yang di hadapannya mengalihkan mata ke sumber suara. Terlihat Anna berjalan santai bersama kedua sahabatnya.

"Heh apa maksud lo?!"

Anna menghentikan langkahnya dan mengernyit menatap orang di hadapannya. Ia menatap datar orang itu.

"Kenapa ya? Sisil."

Ya, orang itu adalah Sisil dan kawan-kawannya. Ia berkelit tidak terima mendengar ucapan Anna.

"Brengsek lo, An. Lo ngatain gue sumbu pendek?!"

"Oh lo ngerasa? Kalau iya kenapa? Masalah? Gini ya Sil, lo tuh anggota osis. Kasih contoh yang baik kek buat orang-orang.... masa anggota osis hobinya ngerendahin orang. Inget ya, orang yang lo rendahin belum tentu lebih rendah dari lo"

Anna berkata dengan senyum mencemooh.

Sisil menampakan wajah keterkejutannya. Kemarahannya terhadap Anna sudah mencapai ubun-ubun. Tapi ia harus terlihat baik, karna saat ini orang-orang tengah menatap mereka.

"Cabut guys!"

Sisil berjalan dengan bibir terkatup menahan geram. Ia mendelik menatap tajam Anna yang masih tersenyum tidak ikhlas itu dan melewatinya begitu saja, diekori teman-temannya yang juga terlihat kesal.

Sementara Anna kembali menunjukan wajah datarnya setelah kepergian Sisil, ia menatap sebentar gadis berkacamata tebal yang ternyata juga tengah menatap dirinya. Tanpa berkata apapun Anna berbalik melanjutkan langkahnya, di susul Karin dan Manda.

"Hmm.. memang gadis yang menarik"

Ucap salah satu orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Yang tidak lain, Leo si murid baru.

Sementara Revan berkesiap pulang setelah menyelesaikan piketnya tanpa di temani sahabat-sahabatnya. Karna bagaimanapun mereka juga mempunyai kesibukan masing-masing, Dimas dengan basketnya dan Billy serta Machel dengan bandnya.

"Baby.."

Suara lembut seorang gadis terdengar tatkala Revan hendak memakai tas nya. Lelaki itu memutar bola malas, setelah melihat Anna berdiri di depan pintu kelasnya.

"Pulang bareng ya?"

Anna tersenyum manis menatap Revan.

"No"

Jawab Revan dengan datar. Ia melewati Anna yang cemberut. Anna pun membalikan badannya mengekori Revan.

"Ayolah baby, aku gak bawa kendaraan. Kamu anterin aku pulang ya"

"Siapa suruh gak bawa"

Anna kembali memajukan bibir bawahnya seraya terus mengekori Revan, sebenarnya ia sengaja tidak membawa mobilnya karna rencananya ia ingin pulang bersama kekasihnya itu. Ia berjalan hingga tidak menyadari jika mereka sudah mencapai parkiran.

Revan mengeluarkan kunci motornya dan segera memakai helm, sedangkan Anna terdiam melihatnya.

"Naik!"

Mendengar itu seketika membuat Anna tersenyum senang. Ia menaiki motor Revan dengan sekali hentakan. Tak lupa gadis itu juga memeluk erat dirinya. Revan yang melihat keagresifan Anna mulai sedikit risih, ia menyesal menerima ajakan gadis itu. Tapi akhirnya hanya bisa menghela nafas gusar.

Revan pun menjalankan motornya menuju luar gerbang sekolah.

Lagi-lagi itu semua disaksikan Leo yang saat ini tengah duduk di atas motornya. Diam-diam lelaki itu mengikuti motor yang di kendarai Revan bersama Anna, dan bodohnya Leo tidak menyadari jika Revan juga mengetahui bahwa lelaki itu mengikutinya.Ya, Revan melihat lelaki itu di kaca spion motornya.

Sampailah Revan di depan rumah Anna. Anna pun melepaskan pelukannya dan turun kemudian.

"Makasih ya baby"

"Hmm... cepat masuk dan jangan keluar rumah!"

Ucap Revan dingin, sementara Anna berdenyit mendengarnya.

'Jangan keluar? Kenapa emang?'

Tapi Anna hanya mengangguk tersenyum. Ia senang, Revan mulai perhatian padanya. Mungkin Revan takut Anna kenapa-kenapa pikirnya.

Revan kembali menyalakan motornya dan melesat pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Anna tersenyum melihatnya, karna cukup pulang bareng kekasihnya sudah membuatnya senang. Ia pun membalikan badannya, melangkahkan kakinya menuju rumah dengan senyuman yang masih tercetak di bibirnya.

Tanpa Anna sadari Leo yang ada di belakangnya menatap dengan tatapan intimidasi.

***

Leo memarkirkan motornya tepat di salah satu rumah mewah bercat biru yang halamannya di penuhi bunga-bunga nan indah. Ia turun dari motornya dan melenggang masuk ke dalam rumah tersebut.

"Kamu sudah pulang , Yo?"

Seorang wanita datang dari arah dapur menghampiri lelaki itu. Sementara Leo yang melihatnya juga melangkah mendekatinya.

"Sudah ma"

"Gimana hari pertama sekolahmu? Semua baik-baik saja? Gak ada masalahkan?"

Wanita yang di panggil mama itu bertanya bertubi-tubi, membuat Leo yang mendengarnya tersenyum simpul.

"Semua baik-baik saja ma, dan gak ada masalah. Leo cukup nyaman sekolah di sana"

"Syukurlah kalau kamu ngerasa begitu. Oh ya, mama udah bikin masakan kesukaan kamu. Kamu cepat ganti baju gih, kita makan bersama-sama"

"Oke ma, Leo ke atas dulu ya"

Sang mama mengangguk mengiyakan, dan Leo pun melangkahkan kakinya menaiki tangga, masuk ke dalam kamarnya.

Ia melepaskan tas dan jaket yang sejak tadi melekat di tubuhnya, serta membuka satu kancing atas seragamnya.

Bruk

Sesaat ia ingin merebahkan dahulu tubuhnya, mengingat kembali apa yang terjadi hari ini.

Dalam pikirannya terlintas bayangan Anastasya. Ia ingat saat awal bertemu dengan gadis itu. Gadis pemarah yang membuat hatinya berdegup kencang. Hanya saja ia harus berpura-pura terlihat biasa saja dengan berkata kurang ajar agar tidak membuat gadis itu berpikir macam-macam padanya. Bahkan Leo tahu Anna masih kesal padanya hingga sekarang karna kejadian itu. 

Ia senang ketika tahu gadis itu akan satu sekolah dengannya tatkala ia melihat baju seragam gadis itu, dan yang lebih beruntung ia bisa satu kelas dengan gadis itu. 

Sejujurnya Leo sangat menyukai ekspresi Anna, disaat ia marah dan disaat ia senang, bahkan saat gadis itu tertawa terlihat sangat manis.

Tanpa sadar Leo tersenyum lebar.

Tapi sayang gadis itu sudah memiliki kekasih yang di cintainya, walau Leo tahu lelaki itu tidak benar-benar menyukai Anna, Leo menyimpulkan bahwa lelaki itu terpaksa menjalin hubungan dengan gadis itu.

Leo pun mengeraskan rahangnya, ia ingin sekali merebut Anna dari laki-laki itu. Tapi tentu tidak akan semudah membalikan telapak tangan, mengingat gadis itu baru mengenal dirinya dan ia begitu mencintai lelaki itu.

Leo menghela nafas lelah.

Mungkin dia harus membiarkan apa adanya seperti air mengalir, pelan tapi pasti Leo akan membuat Anna sadar, bahwa lelakinya itu tidak ditakdirkan untuknya.

Tok Tok Tok

Suara ketukan menyadarkan Leo dari lamunannya,  dengan terpaksa ia pun bangkit dari tidurannya lalu membuka pintu kamarnya.

"Boleh kita bicara?"

***

Suara detingan sendok dan garpu terdengar di satu ruangan. Revan berserta keluarganya itu tengah makan malam bersama dengan khidmat.

"Mom, Gwen mau pacal!"

Ucap Gwen tiba-tiba, Seketika mendengar itu Revan yang tengah meminum-minumannya tersendak. Sementara Laura dan James melotot mendengar penuturan gadis kecilnya itu.

"Pacar maksudmu, Gwen?"

Laura bertanya memastikan, Gwen mengangguk cepat.

"Gwen, coba jelaskan pada daddy, kamu tahu kata itu dari mana?"

James melirik Revan yang terlihat santai memakan kembali makanannya. Ia tahu putranya itu pasti dalang dari semua.

"Dali kak Levan, ded. Kak Levan juga punya pacal"

Laura dan James menatap satu sama lain lalu mereka bersama melihat ke arah Revan.

"Revan benar apa yang di katakan Gwen, kalau kamu punya pacar?"

Revan menghela nafas karna pertanyaan James, apakah penting jika mereka menbahas itu sekarang. Tapi akhirnya laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban.

"Van, bukankah daddy sudah bilang kalau kamu..."

"Darl, please..."

Laura memotong perkataan James seraya mengusap lembut tangannya, membuat James seketika terdiam.

"Gwen, kamu tahu apa itu pacar?"

"Pacal makanan kan mom?

Laura menggulum menahan tawa, sementara James mengerutkan dahinya bingung.

"Kak Revan bilang begitu?"

"Ya mom..."

Ibu dari dua anak itu mengangguk tersenyum, ia mengangkat kedua alisnya menatap suaminya, dan James yang ditatap itu berdehem dan kembali melanjutkan makannya.

"Revan, boleh mom tahu pacarmu kan?"

Laura mengalihkan pertanyaan pada Revan yang baru saja selesai memakan-makannya itu, dan Revan yang kali ini jadi sasaran Laura ingin sekali menghilang. Apakah ia juga harus menunjukan Anna pada keluarganya itu. Oh ayolah...!

"Kapan-kapan mom"

Jawab Revan asal.

"No! Bukan kapan-kapan. Tapi besok Revan."

Laura berkata dengan lantangnya, membuat James dan Revan melotot mendengarnya. Semantara Gwen yang tidak mengerti memilih makan saja.

"Laura apa yang kamu katakan?"

"Ssthh... kamu cukup diam saja James"

James kembali diam, ia memang tidak akan pernah bisa melawan istri tercintanya itu.

"Apa harus, mom?"

Revan merasa pusing, kenapa masalahnya jadi serumit ini. Bukankah ia juga terpaksa menjalin hubungan dengan gadis itu. Tidak harus keluarganya itu tahu kan? Tapi bagaimanpun dari awal ini salah dirinya juga yang mengakui Anna sebagai pacaranya pada si kecil, Gwen.

Laura mengangguk.

"Of course, mom ingin tahu Revan, pokonya bawa saja pacarmu besok kemari, oke!" jeda "satu lagi, mom tidak ingin mendengar penolakan"

Revan kembali menghela nafas.

"Yes, mom"

"Good boy!"

Laura tersenyum senang mendengar jawaban Revan. Ia tidak sabar melihat seperti apa kekasih anak laki-lakinya yang sedingin es kutub itu.

Hingga dimana esok itu tiba, Revan baru saja memarkirkan motornya tepat di parkiran sekolah. Ia berjalan memasuki koridor menuju kelasnya, tidak peduli para gadis di sepanjang koridor menatapnya lapar.

Tiba-tiba seseorang merangkul tangannya, sontak Revan mengalihkan pandangannya ke samping, melihat seseorang itu. Dilihatnya Anna tengah tersenyum manis menatap Revan.

"Pagi baby"

"Lepas, An!"

Revan berkata tajam seraya mencoba melepaskan tangan Anna dari rangkulannya. Tapi itu tidak berhasil, karna Anna merangkul tangan Revan sangat erat. Lagi-lagi Revan hanya bisa mendiamkannya dan meringis kesal, sementara Anna tesenyum senang saat tahu tidak ada lagi perlawanan dari laki-laki itu.

Mereka tidak tahu, beberapa dari orang-orang yang menatap mereka melihatnya murka, terutama Jessica juga Sisil.

"Keterlaluan si Anna! makin hari makin tidak tahu malu. Berani-beraninya mendekati Revan di depan kita semua"

"Mungkin gosip itu benar, Jes. Bahwa katanya mereka pacaran. Buktinya Revan diam saja diperlakukan Anna seperti itu"

Jessica mendengar ucapan Marsya dengan alis bertautan. Ia menatap tajam Anna yang tengah menggoda lelaki itu. Tak lama senyuman sinis tercetak di bibir Jessica.

Sementar Sisil memandang itu dengan tatapan benci, lagi-lagi Anna selangkah lebih maju darinya. Tidak bisakah dia yang kali ini menang?

'Kenapa harus selalu cewek sialan mulu itu sih!'

Revan menghentikan langkanya, pun dengan Anna yang masih tidak lepas dari lengan laki-laki itu.

"Ini sudah di depan kelasku, mau sampai kapan kamu mengikutiku? Sana ke kelasmu!"

Anna terkekeh, ia melepaskan rangkulannya.

"Oke baby, semangat ya belajarnya. Fokus jangan mikirin aku! Ampe ketemu istirahat, love you!"

Revan hanya bisa menggelengkan kepala melihat kepercayaan diri Anna yang begitu tinggi.

Mendadak dalam hatinya begitu banyak pertanyaan. Seperti, haruskah ia membawa gadis itu pada Laura -mommynya yang jelas-jelas tidak menerima penolakan itu, dan apa yang akan terjadi saat ia mempertemukan mereka setelahnya.

Revan merasakan pening. Ini sungguh di luar dari rencananya.

avataravatar
Next chapter