16 Di Kala itu (Flashback Edition)

Anna, gadis kecil itu hanya bisa meringis tangisan tatkala melihat pemandangan di depannya yang terasa aneh dan begitu memilukan.

Ia menyaksikan bagaimana jazad Mario -kakak satu-satunya yang ia miliki di masukan ke dalam liang lahat. Ditambah suara tangisan orang-orang di sekelilingnya yang semakin membuat gadis kecil itu merasa tersiksa.

Hingga acara pemakanan itu berakhir, satu-persatu dari mereka meninggalkan tempat yang tanahnya bahkan masih basah jika di sentuh, yang pada akhirnya hanya menyisakan beberapa orang di antaranya.

"Kenapa Rio? kenapa kamu secepat itu pergi meninggalkan kami. Bahkan kamu tidak memberi mama kesempatan memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Kenapa?!"

Isak tangis Aleena pecah. Tak henti-hentinya wanita itu mengusap serta mencium batu nisan yang tertancap di tempat peristirahatan putra sulungnya.

Memang tidak ada yang pernah menyangka, putra yang sebelumnya telah di gandang-gadangi sebagai pewaris utama David Son Corporation. kini hanya tinggal angan-angan.

Kabar kematian itu juga tak ayalnya menjadi pemberitaan media asing. Mengingat status Aleena yang seorang selebriti itu pasti menjadi sorotan.

"Sudah bu, ini sudah kehendak yang maha kuasa. Kita hanya perlu mengikhlaskan, biar Rio tenang di sisi-Nya."

Bi Marni mencoba menenangkan Aleena, wanita tua itu pun sama sedihnya. Bagaimanapun dia juga ikut andil mengurus Mario sadari kecil.

"Tapi ini terlalu cepat bi!"

"Saya paham bu. Tapi kita bisa apa."

Aleena mengangguk, benar apa yang di ucapkan bi Marni, ia juga tidak ada daya dan upaya.

Sementara Bryan yang menyaksikan itu hanya menatap tajam serta mengepalkan tangannya keras hingga jari-jarinya memutih, dan Anna masih dengan ekspresi yang sama, menangis terdiam.

Tak berapa lama, mobil Bryan pun melaju pergi. Di sana tak ada satu orang pun yang berbicara saat itu. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing, sampai mobil itu pun berhenti di pekarangan salah satu rumah mewah.

"Kau lihat kan, Lena. Gara-gara kau yang begitu egois anak kita jadi korban. PUAS KAMU?!"

Belum juga setengah memasuki rumahnya, Bryan sudah mengeluarkan amarahnya yang tersimpan.

"Aku yang egois? KAMU YANG EGOSI, MAS! KAMU YANG TIDAK MAU MENGALAH DAN KAMU YANG TIDAK MAU MENGERTI AKU SEDIKITPUN!"

Bryan menggeleng, tak habis pikir.

"Apa yang harus aku mengerti lagi dari kamu, Lena? Apa belum cukup semua yang aku berikan selama ini padamu?!"

"BUKAN ITU YANG AKU MAKSUDKAN! Kenapa, kenapa kau tidak mengerti juga."

Aleena menangis sesegukan setelah berkata itu. Membuat Bryan yang melihatnya mengeraskan rahangnya.

"Terserah!"

Bryan pun pergi ke suatu ruangan dan mengunci dirinya, meninggalkan Aleena yang terduduk seraya terisak.

Sementara Anna yang sadari tadi menyaksikan semua itu hanya menatap sendu. Tidak bisakan mereka tidak bertengkar dulu, tidak cukupkah kakaknya itu membuat mereka sadar bahwa apa yang meraka lakukan selama ini salah.

Anna tidak paham, sebenarnya apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya itu. Seperti apa awalnya akar duduk permasalahan mereka, sehingga kedua orangtuanya itu sering bertengkar. Padahal dulu mereka di cap sebagai pasangan yang harmonis.

Anna kecil pun memilih melangkahkan kakinya lagi dan menaiki tangga. Hingga di mana gadis kecil itu memasuki kamar Rio, dilihatnya sekeliling kamar itu.

"Bang, kenapa abang Io ninggalin Anna? Bang Io jahat!"

Anna menangis merasakan perih di hati. Ia masih tidak percaya dengan semua yang terjadi dalam hidupnya. Kehilangan keharmonisan keluarga, juga kehilangan saudara satu-satunya.

Belum cukupkah Tuhan menyiksa dirinya? Padahal dia hanya seorang gadis kecil yang umurnya pun belum genap sepuluh tahun.

Anna pun merebahkan dirinya di kasur Rio, mengusap lembut tempat tidur abang kesayanganya itu. Yang ia inginkan sekarang adalah mencurahkan hatinya,

menangis sampai ia merasa lelah dan tertidur akhirnya.

***

"MAMA BENAR-BENAR KECEWA DENGAN KALIAN BERDUA!"

Anna terbangun tatkala mendengar suara seseorang yang begitu kerasnya. Ia memutuskan bangkit dan keluar dari kamar Rio, melihat apa yang telah terjadi.

Saat itulah tepat di lantai dua Anna melihat kedua orangnya berhadapan dengan Mayang -ibu dari Bryan.

"Kamu itu memang tidak pernah becus jadi istri. Apa lagi jadi ibu, Lena! dan saya sudah menduga itu dari awal."

Mayang memandang tajam Aleena dan Bryan yang tampak menundukan kepala mereka.

"Kamu juga Bryan, kamu sama saja. Tidak bisakah kamu mendidik istri kamu dengan benar?! gara-gara kalian, mama jadi harus kehilangan cucu mama. Bener-bener keterlaluan!"

"Ma, maafkan kami berdua. Kami akui kami salah."

Aleena kembali terisak, Sementara Bryan hanya terdiam mengeratkan giginya.

"Jangan minta maaf sama mama, tapi minta maaflah pada anak-anak kalian. Sekarang di mana Anna? mama sudah memutuskan, dia akan ikut mama mulai hari ini."

Mayang berbicara dengan tegasnya, seketika Aleena yang mendengar itu menggelengkan kepala.

"Tidak ma, Anna akan tetap di sini bersamaku, ibunya."

Mayang tersenyum sinis.

"Jangan kira saya tidak tahu kalau kamu jarang sekali di rumah. Kamu sibuk dengan popularitasmu itu bukan?"

Aleena bergeming mendengar penuturan Mayang. Ia sadar, dirinya memang tidak bisa mengelak. Sementara Anna yang sadari tadi menyaksikan itu semua hanya menatap mereka sendu.

Dalam hati Anna bertanya, apakah benar lebih baik ia tinggal bersama oma nya itu?

Ya, Anna rasa itu benar.

"OMA!"

Anna berteriak dan turun menghampiri mereka saat itu juga, membuat ketiga orang itu mengalihkan tatapannya pada gadis kecil itu.

"Oma, Anna ingin ikut oma. Anna ingin tinggal saja sama oma."

Anna, gadis kecil itu menangis merajuk pada Mayang. Wanita tua itu pun mengangguk tersenyum.

"Kalian denger itu! mama akan bawa Anna tinggal bareng mama sekarang."

Aleena hanya bisa menggangguk pasrah, dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.

"Ma, jika suatu saat Bryan minta Anna kembali. Apa mama izinkan?"

Bryan yang sadari tadi diam, akhirnya bersuara. Sudah cukup dirinya kehilangan anak pertamanya, tidak untuk yang ke dua.

"Tergantung. Dari pada kalian sibuk memikirkan itu. Lebih baik kalian intropeksi dulu masing-masing."

Tidak butuh waktu lama, Anna pun mengepack kan barang-barangnya bersama bi Marni. Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa baju yang di ambilnya sesuai perintah Mayang.

"Non Anna, yang sabar ya. Bibi selalu mendoakan yang terbaik buat enon. Bibi yakin abang Rio sudah tenang di sana. Non Anna juga cepat kembali menjadi non yang sebenarnya, selalu bahagia dan ceria."

Bi Marni berkata dengan air matanya yang terjatuh. Sementara Anna mendengar itu dengan tatapan sendu, bisakah ia menjadi seperti Anna sebelumnya setelah semua rasa pahit di hidupnya terjadi.

Anna mengangguk dengan ragu.

Lalu setelah di rasa cukup mengemasi barangnya. Anna bersama Mayang pun pergi, meninggalkan Bryan dan Aleena yang menatap sendu mereka.

***

Sudah tiga hari lamanya Anna tinggal di rumah oma Mayang di Bali. Yang terus ia lakukan sepanjang hari hanya terdiam melamun di kamar.

Mayang yang saat itu tanpa sengaja lewat menatap sedih gadis itu, sungguh ia merindukan masa-masa Anna merajuk manja padanya. Bahkan tidak jarang gadis kecil itulah yang selalu meramaikan suasana rumahnya.

Wanita tua itu pun menghela nafas.

Mungkin alangkah baiknya ia membiarkan sebentar gadis kecil itu dengan dunianya, dan mencari cara untuk gadis itu agar ia keluar dari zona kelamnya.

Hingga pada malam itu, Anna yang merasa bosan akan suasana kamar memilih keluar rumah seorang diri. Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan, termasuk Mayang.

Gadis kecil itu berjalan tanpa tau arah, sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah bukit yang tidak jauh dari rumah oma nya. Orang menyebutnya dengan bukit belong. Yang sebenarnya bukit itu adalah salah satu tempat wisata yang ada di Bali.

Anna begitu takjub melihat pemandangan di bukit itu, ia dapat melihat banyaknya cahaya di bawah sana yang berkelap-kelip, di tambah bintang-bintang yang senantiasa melengkapi indahnya malam.

Anna pun memutuskan untuk singgah sebentar sebelum pulang.

Ada rasa nyaman di lubuk hati Anna saat ia menyatu dengan alam. Di mana ia akan bebas mengekspresikan apa yang ia rasakan. Termasuk saat ini, ia menangis seraya menatap langit yang di atasnya ditaburi bintang-bintang.

Gadis kecil itu selalu bertanya dalam hati, apakah Rio juga ada di salah satu bintang-bintang itu seperti yang orang katakan padanya. Sungguh, Anna terlalu polos untuk mempercayai sebuah mitos.

"Bang, apa di sana menyenangkan? kalau iya katakan bang."

Anna menelan perih tenggorokannya, mencoba untuk tidak menangis. Tapi nyatanya air mata sialannya itu selalu saja mengalir begitu saja.

"Boleh kan kalau Anna ikut abang saja. Anna benar-benar tidak tahan bang. hiks.."

Tanpa Anna sadari seseorang menyaksikan semua sadari awal gadis itu menginjakan kakinya di tempat itu.

Hanya saja gadis itu tidak menyadari bahwa orang itu sudah ada di tempat yang sama sebelumnya, dia mendengar itu dengan penuh tanda tanya di dahinya.

'Ada apa dengannya?'

avataravatar
Next chapter