8 Teka-teki Kehidupan

Keceriaan bersama Dara Manis mendadak sirna. Berganti dengan ketakutan yang sangat. Seketika jantung Daun Merah berdegup sangat cepat. Tubuhnya terguncang. Dua tangan kaku memegang stir. Mulutnya menganga. Mata terbelalak. Wajah memucat. Dengus nafasnya tak beraturan dan cepat. Kedua kakinya gemetaran, berhimpit menginjak rem. Dia shock.

Sesosok manusia melayang usai terdengar suara keras itu.

Dia berusaha melawan kekagetannya. Menghirup beberapa kali nafas panjang. Perlahan dia keluar dari mobilnya. Memeriksa sesuatu. Apakah manusia atau makhluk jadi-jadian.

Didapati seseorang sedang terbaring di aspal. Dua meter dari mobilnya. Dia semakin panik. Ingin berteriak, namun lidah terasa kelu. Dia bingung akan berbuat apa.

Daun Merah pun mencoba mendekat. Memeriksa apakah sosok manusia ini masih hidup atau sudah mati.

"Hah, mati. Jika dia mati berarti akulah penyebab kematiannya. Aku tak mau menjadi pembunuh," batin Daun Merah semakin cemas dan takut. Dia pun memeriksa detak jantung dan nafasnya.

"Syukurlah, masih ada." Daun Merah lega.

Diamati di sekujur tubuh korban. Tidak ada berkas darah. Kondisi anggota tubuh laki-laki itu pun terlihat normal.

Daun Merah berusaha memindahkan tubuh laki-laki itu. Dia menggulingkannya menepi ke pinggir jalan raya. Sudah seperti drum solar. Tentu dia tak mampu untuk mengangkatnya sendiri. Daun Merah kuatir jika dibiarkan tetap di tengah jalan, sesuatu yang lebih buruk bakal terjadi.

Di bawah kepala lelaki itu, persis di bibir jalan yang tidak rata. Daun Merah pun meletakkan kepala laki-laki itu di pangkuannya. Dia berusaha mengajak berkomunikasi. Berkata, bertanya dan mengulang-ulangnya.

"Kamu tidak apa-apa? Mana bagian yang sakit? Ada yang luka? Bangun. Ayo, sadar. Hei, bangun. Mana yang sakit? Tanganmu ndak apa-apa. Kakimu bagaimana? Tak apa. Mana yang sakit? Atur nafas. Jangan kuatir. Ada aku."

Tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi. Laki-laki itu terduduk. Mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Bertingkah seperti orang yang sedang menulis. Lalu, jatuh di pangkuannya. Daun Merah hanya bisa bengong menyaksikan.

Kembali pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan. "Aku tanya, heh, jawab." Daun Merah geregetan. Tidak ada jawaban sama sekali dari semua pertanyaan dan kebingungannya.

Laki-laki itu bertingkah aneh. Lagi. Dia duduk. Berusaha berdiri berpegang pundaknya. Mengamati sekeliling. Daun Merah ikut berdiri. Memegang tangannya. Berjaga supaya tidak terjatuh lagi.

Laki-laki itu mencangklongkan tas. Kemudian melangkahkan kaki. Pergi. Menyeberangi jalan. Daun Merah terdiam. Laksana dihujani seribu satu pertanyaan. Dia tidak bisa menghindar. Apalagi menjawabnya. Hanya kebingungan yang semakin membesar.

Beberapa orang mendekat. Sepertinya sopir angkot itu dan penumpangnya. Daun Merah bisu saat ditanya.

Nyala lampu berganti. Suara klakson terdengar. Saat melangkahkan kaki, dia mendapati sebuah buku. Buku milik lelaki itu. Diraihnya buku itu. Dia hendak mencari pemilik buku, namun suara klakson semakin menjadi. Daun Merah memasuki mobilnya. Mengendarai beberapa meter dan menepikannya.

Dia keluar, berlari, mencari-cari keberadaan laki-laki itu. Tidak didapatinya lagi, meski hanya bayang-bayangnya. Dia kembali ke mobilnya. Mencoba bangun dan menemukan kesadarannya kembali. Menampar dan mencubit pipi. Kejadian yang dia alami hari ini seperti mimpi. Mimpi yang nyata dan cepat sekali.

Buku yang dia pegang erat sekali sebagai bukti bahwa ini bukan mimpi.

"Hidup, kok, penuh teka-teki. Kenapa tidak tinggal dijalani? Memikirkan hidup membuatku tak mengerti sama sekali: mana hidup mana mimpi." Angan Daun Merah melambung tinggi.

***

Sesampainya di rumah, Daun Merah langsung menuju kamarnya di lantai dua. Dia melempar tubuhnya ke atas ranjang. Berharap penat bisa terlepas segera. Namun, pikirannya tak bisa diajak untuk istirahat. Senantiasa bekerja tanpa pernah diminta.

Dia bangun. Melangkahkan beberapa langkah kaki menuju ke kamar mandi. Dia menyalakan lampu temaran.

Di kamar mandi ini terdapat dua space dengan fungsi yang berbeda. Space pertama di depan pintu kamar mandi. Di sini terdapat kaca berukuran besar dan washtafel. Juga terdapat lemari penyimpanan yang berisi peralatan dan perlengkapan mandi. Perlu membuka pintu kaca untuk memasuki space berikutnya. Di sini terdapat closed duduk, dipisahkan oleh dinding kaca dengan area shower, dan bak mandi untuk berendam. Bagian yang paling unik di sini adalah keberadaan tirai yang seolah menempel di tembok.

Daun Merah membuka tirai itu. Seketika pemandangan kota bawah terlihat. Kelap-kelip lampu dari ratusan ribu rumah dan bangunan terlihat. Tak perlu menengadah melihat langit, dari sini tiruan bintang-bintang bisa disaksikan. Tidak ada suatu ketakjuban bagi Daun Merah. Hanya lampu, begitu menurutnya.

Dilepaskannya seluruh pakaiannya, memutar kran dan tetes-tetes air menyiram tubuh telanjangnya. Matanya memejam. Kemudian ambruk dengan kesadaran. Dia duduk di lantai. Memeluk kakinya dan tetes air menyusup ke pori-pori kulitnya.

Dalam ketelanjangannya dia memikirkan tentang kehidupannya.

Nyaris membuat orang mati membuat dia berpikir tentang hidup. Siapa lagi kalau bukan hidupnya sendiri. Semenjak dia hidup, dia tidak pernah bisa menikmati hidup. Hanya sekedar menjalani hidup pun, rasanya sudah sangat sulit. Bagaimana mau menikmati jika menjalaninya saja sudah sulit. Dalam fase hidupnya sampai saat ini, dia pernah berpikir untuk menyudahi hidupnya sendiri. Baginya hidup ini keras. Lebih keras dari beton maupun baja. Meski begitu dia masih memiliki kesadaran untuk tetap mejalani hidup ini. Dia mengingat pesan ibunya, "Sesulit apapun, hidup harus tetap dijalani."

Memang beban hidup selalu menghimpitnya. Tanpa pernah memberi ruang untuk bernafas. Daun Merah mengingat bagaimana dirinya setiap hari disuguhi kekerasan demi kekerasan yang tiada berkesudahan. Bahkan sesekali dia mendapat jatah. Dikata-katai, diintimidasi, dan disakiti. Sungguh tragis. Hal ini dilakukan oleh orang yang dekat. Orang yang seharusnya mengayomi dan memberi perlindungan. Bahkan darah orang itu mengalir di dalam tubuhnya. Sungguh tega.

Hingga suatu masa. Ketika orang itu yang tak bukan adalah ayah kandungnya meninggal, dirinya mengalami kebimbangan yang hebat. Apakah kematian orang ini membuatnya sedih atau sebaliknya membuatnya bahagia. Dalam kebimbangannya itu, tak ada suara tangisan yang dia keluarkan dan setetes air mata pun tidak ada. Dia hanya mengekspresikan dalam wajah datar. Tanpa ekspresi apapun.

Semua itu terekam kuat di dalam memorinya. Menjadi imprint yang muncul begitu saja meski tanpa sesuatu yang memicunya. Lebih-lebih Daun Merah baru saja berkunjung ke Taman Borneo, tempat dimana berbagai kekerasan itu menjadi hantu dan malapetaka dalam kehidupannya.

Kepindahannya ke rumah ini pun tak begitu memberikan dampak berarti dalam hidupnya. Hanya taraf ekonomi yang berubah. Tinggal di rumah yang bisa dibilang gedongan, berkecukupan uang, dan nyaris bisa membeli apapun yang dia inginkan. Yang bahkan dulu saat tinggal di Taman Borneo tidak pernah terbayang. Makanan, minuman, pakaian, dan kesenangan bisa dibelinya.

"Iya, aku bisa bersenang-senang. Sekedar senang. Dengan uanglah. Namun, kebahagiaan masih menjauhiku. Aku tidak pernah sekalipun merasakan kebahagiaan. Saat orang lain dengan sangat mudah mengatakan 'jangan lupa bahagia', aku hanya bisa menelan ludah. Jika sekali saja aku bisa bahagia, aku janji tak akan pernah melupakannya," ratap Daun Merah.

Daun Merah keluar dari kamar mandi dengan lilihat handuk di tubuhnya. Dia duduk di bibir ranjang sambil berupaya mengeringkan rambut. Dia baru ingat, buku itu tergeletak di ranjang. Daun Merah meraihnya. Mengamatinya sebentar sambil menimbang-nimbang: apakah pantas membuka buku tanpa izin dari empunya? Pikiran Daun Merah lantas berkilah, mungkin di dalamnya terdapat alamat atau apapun sebagai petunjuk ke pemiliknya. Bukankah ini perlu untuk dapat mengembalikan buku ini.

Daun Merah memutuskan membuka-buka buku itu. Hmmm, sebuah buku harian atau diary. Dia terheran-heran. Seorang laki-laki memiliki buku harian.

"Melow sekali pria ini. Hidupnya pasti lebih menyedihkan daripada hidupku hingga dia harus berkeluh-kesah di buku ini," batin Daun Merah sedikit berbangga.

Di buku ini terdapat tiga pembatas berbeda warna. Hijau, merah, dan putih. Daun Merah membuka bagian awal buku. Dia mendapati beberapa catatan harian. Ada yang panjang, ada yang pendek. Sesekali didapati quote di antara catatan-catatan itu. Matanya tergelitik oleh sebuah quote yang menarik perhatiannya.

"Aku tak perlu mencari kebahagiaan. Karena dimanapun aku berada, ada kebahagiaan. Bahkan jika aku tak pergi kemana-mana. Aku bisa menemukannya di dalam hatiku. Saat kubuka hatiku, kebahagiaan mengantre memasukinya. Dan, dari setiap kata yang tercetak di lembar-lembar buku. Ada serpihan makna bahagia yang siap kurangkai. Aku tak perlu berteriak bahagia untuk menyatakan kebahagiaan. Meski aku tahu duka dan lara setiap saat dapat menyerangku. (Langit Biru)

"Hmmm, Langit Biru, sepertinya aku pernah mendengarnya," Daun Merah mengingat-ingat. "Aku ingat. Dia adalah laki-laki sok kecakepan yang menolongku tadi sore di kota tua. Rupanya dia yang kutabrak."

Daun Merah membuka bagian buku yang dibatasi oleh sticky note berwarna hijau. Berisi "Catatan Bahagia" berikut daftarnya yang panjang dan berlembar-lembar. "Laki-laki yang lucu," pikir Daun Merah.

Lalu, dia membuka bagian buku yang dibatasi pembatas berwarna merah. "Catatan Kesedihan". Isinya aneh. Ada belasan catatan, namun nyaris semua daftar telah dicoret, berupa garis panjang. Hanya satu yang tidak.

'Duduk berdua denganmu di bawah pohon waru berbunga warna kuning pada suatu siang yang terik di seberang gereja.'

Rasa penasaran Daun Merah mendadak membesar. "Apa yang terjadi di bawah pohon? Dengan siapa?" tanya Daun Merah menyelidik. "Entahlah, aku tak mau berurusan dengan teka-teki."

Segera saja Daun Merah membuka bagian buku dengan pembatas warna putih. Kosong. Tidak ada tulisannya sama sekali. Pikiran Daun Merah pun mendadak kosong. Kemudian terisi oleh rasa bersalah. "Hal pribadi semacam ini tak pantas kuketahui tanpa izin," batin Daun Merah penuh penyesalan.

Dia pun meletakkan buku itu di atas meja yang berada di dekat ranjang. Lalu bangkit untuk memakai baju. Kemudian naik ke atas ranjang. Daun Merah bersembunyi di balik selimut seraya berharap bisa melupakan segala-galanya dalam lelap.[]

avataravatar
Next chapter