10 Misterius dan Berbahaya

Langit Biru melakukan aktivitas pagi ini seperti biasa. Dia mengantarkan koran, sarapan di soto Pak Yes, dan mengantar Mawar Berduri ke sekolah. Dia tak kembali ke warung soto karena harus mengambil sepedanya. Bergegas Langit naik angkot menuju kantor redaksi Kepodang Minggu Ini.

Di dalam angkot, Langit teringat tentang kejadian semalam. Apalagi menjelang tidur dia terbiasa menulis catatan harian. Saat membuka tas, tak ditemukan keberadaan bukunya itu. Dia pun berusaha mencari ke tempat dirinya nyaris mati atau cacat karena tertabrak mobil.

Untungnya mobil itu berhenti tepat saat refleksnya bekerja cepat. Dia melompat dengan hentakan kaki di aspal dan tangan kiri bertumpu ke kap mobil itu. Dia sempat merasakan sensasi terbang melayang. Sialnya, Langit tidak bisa mengontrol tubuhnya sehingga jatuh ke aspal dalam posisi miring. Bagian kiri tubuhnya membentur aspal. Langit sempat tak sadarkan diri beberapa saat. Kaget sebagai penyebabnya.

Hampir tengah malam saat Langit mencari-cari keberadaan buku pribadinya itu di sana. Hasilnya nihil. Dia berjalan kaki kembali ke kos dengan tangan hampa. Mungkin, bukunya tertinggal di bioskop.

Saat angkot memasuki kawasan kota tua, Langit teringat dengan perempuan itu. Siapa lagi kalau bukan Daun Merah. Dalam satu hari, kemarin, bertemu secara tak sengaja sebanyak dua kali. Sore dan malam. Dua pertemuan dalam peristiwa kecelakaan. Bukan kecelakaan yang sebenarnya, sih, karena tidak ada yang benar-benar celaka. Merasakan sedikit sakit, sih, iya. Namun, ada sesuatu yang mengesankan.

"Jika sekali lagi bertemu tanpa sengaja, pasti itu adalah suatu tanda. Tanda yang sangat nyata dari semesta," batin Langit. "Karena aku tak lagi percaya pada pandangan pertama."

Angkot itu menurunkan Langit ke tempat tujuannya. Di situ dia sempat berbincang dengan seseorang, bertanya tentang keberadaan bengkel sepeda terdekat, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Lalu dia menuntun sepedanya ke arah yang ditunjuk.

Dalam perjalanan, Langit melihat keberadaan sebuah bengkel tambal ban yang ditunggui oleh seorang bapak paruh baya. Dia mencoba peruntungan dengan berhenti di bengkel yang mangkal di bawah rindangnya pohon asam jawa itu. Hanya dengan tang, obeng, dan palu, masalah rantai putus bisa diselesaikan oleh tukang tambal ban. Tak butuh waktu lama.

"Tukang tambal ban serba bisa. Hanya ada di Indonesia," batin Langit.

Tukang tambal itu meminta lima ribu rupiah untuk jasanya. Harga yang sama untuk menambal ban bocor seperti tertulis di gerobak dorong tempat menaruh peralatan tambal ban. Langit memberi sepuluh ribu dan menolak saat diberi kembalian. Mereka berdua pun saling mengucap terima kasih.

Langit mengayuh sepedanya meninggalkan kota tua. Dia menuju ke kos kenalannya. Langit tiba tepat waktu sesuai janji yang dikirim via SMS. Sontoloyo, kenalannya itu, sedang memanaskan mesin sepada motornya.

"Siap berangkat?" tanya Langit.

"Sebentar," jawab Sontoloyo langsung berlari menuju ke dalam kosnya. Sontoloyo terlihat kebingungan mencari sesuatu dan berteriak kepada teman-teman kosnya untuk meminjam helm. Dia kembali ke hadapan Langit dengan ekspresi kecewa. "Hanya ada satu helm. Kemarin ada pengendara yang diberhentikan di perempatan pos polisi dekat kampus," katanya.

"Hmmm, ada jas hujan?"

"Ada..," jawab Sontoloyo kebingungan. Bagaimana tidak bingung. Saat ini butuh helm, bukan jas hujan. Apalagi cuaca hari ini sedang cerah. Memikirkan itu Sontoloyo hanya bisa melongo.

***

Setibanya di parkiran kampus, Sontoloyo tertawa terpingkal-pingkal turun dari sepeda motor. Sambil melipat jas hujan, dia menceritakan perasaannya membonceng sepeda motor miliknya yang dikendarai Langit. Sepanjang perjalanan dia deg-degan. Degup jantungnya semakin cepat ketika mengintip dari balik jas hujan model kelelawar sesaat sebelum melewati pos polisi. Sekelebatan dia melihat seseorang berseragam berdiri di samping pos. Seketika dirinya langsung bersembunyi di balik jas hujan. Bahkan dirinya sempat komat-kamit membaca doa apapun yang dia ingat. Doa sebelum makan dan tidur sepertinya ikut dia baca. Seketika hatinya lega karena sepeda motor yang ditumpanginya tetap melaju hingga berhenti di sini.

"Idemu memang gila," seloroh Sontoloyo kepada Langit.

Sontoloyo masih tertawa-tawa. Tawanya sebentar-sebentar berhenti saat ngomong tak jelas kepada Langit yang tampak biasa saja. Keduanya berjalan pelan melewati food court menuju ruang perkuliahan.

Setibanya di dalam ruangan Langit memilih tempat duduk agak belakang di barisan tengah. Sedangkan temannya, Sontoloyo, duduk di depannya. Mereka bersama mahasiswa lainnya menunggu kedatangan dosen.

Dua puluh lima menit berlalu dari jadwal dimulainya kuliah, ruangan ini masih riuh dengan obrolan di antara masing-masing mahasiswa. Langit hanya sesekali mengamati dengan tetap membaca sebuah novel yang dikeluarkan dari dalam tasnya sejak tadi. Judulnya Ketika Cinta Berzikir.

Dengan tergopoh-gopoh seorang laki-laki dewasa memakai setelan jas tanpa dasi, berkepala agak botak, dan perut buncit, memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Dia langsung meletakkan tas di atas meja dosen dan duduk. Seketika ruangan ini menjadi hening. Laki-laki itu memberi salam sambil duduk dan dijawab oleh seluruh mahasiswa dengan ogah-ogahan. Sepertinya kehadiran laki-laki ini mengganggu acara obrolan mereka. Termasuk mengganggu keasyikan Langit membaca novel, hingga dia harus menyimpannya ke dalam tas kembali.

Laki-laki dewasa itu memanggil komting kelas. Seorang laki-laki kurus berambut keriting menghadap. Terjadi percakapan pelan di antara keduanya. Kemudian komting mengambil posisi di tengah menghadap ke teman-teman mahasiswanya.

"Mohon perhatian, teman-teman. Sesuai arahan Pak Dosen Buncit, kegiatan perkuliahan kali ini melanjutkan diskusi tentang manajemen keuangan. Minggu lalu kelompok 3 dan 4 telah mempresentasikan tentang manajemen modal kerja dan manajemen kas, maka kali ini kesempatan kelompok 5 untuk mempresentasikan tentang manajemen piutang. Untuk menyemangati kelompok 5, mari beri tepuk tangan yang meriah," cerocos komting yang kurus itu. Rupanya penampilannya berbicara di hadapan kelas sangat cas cis cus. Berbanding terbalik dengan perawakan tubuhnya yang kerempeng itu. Suaranya mantap dan meyakinkan. Persis seperti MC OM New Palapa.

Empat orang yang terdiri dari satu perempuan dan tiga pria kemudian berdiri. Membawa kursinya masing-masing dan menatanya di bagian depan kelas. Pria-pria itu duduk dan seorang perempuan berdiri membagikan ringkasan materi diskusi—yang hanya satu lembar itu—kepada audience.

Wajah tiga pria itu tampak menyedihkan. Mereka duduk terdiam, lebih banyak menunduk. Nyaris seperti maling jemuran yang sedang diadili. Sedangkan perempuan itu sedang berbicara menjelaskan kronologis hilangnya jemurannya.

Langit mengamati dan sesekali mencatat. Perempuan itu pun juga nyaris hanya membaca. Tanpa menggunakan alat bantu presentasi, padahal di kelas ini telah terpasang LCD proyektor. Apa yang dia ucapkan sama persis seperti ringkasan materi diskusi yang tadi dibagikannya. Perempuan itu menyampaikan pengertian piutang, tujuan penjualan kredit, resikonya, dan kebijakan kredit. Setelah itu, membacakan empat faktor yang mempengaruhi besar kecilnya investasi dalam piutang.

Empat hal yang terkait dalam pengumpulan piutang dan kebijakan kredit, meliputi: standar kredit, termin kredit, potongan tunai, dan default risk. Perempuan itu juga menyebutkan tentang 5C yang merupakan penilaian terhadap calon pembeli menyangkut resiko kredit, meliputi: Character, Capasity, Capital, Colleteral, dan Conditions. Untuk mengurangi resiko kredit, dapat dilakukan langkah penyaringan terhadap calon pelanggan.

Saat perempuan itu mempresentasikan materi diskusi, Pak Dosen Buncit asyik dengan gawai-nya. Hingga dibuka sesi tanya jawab, si dosen kian keasyikan. Dalam sesi itu ada tiga penanya, masing-masing menanyakan tentang perbedaan hutang dan piutang, apakah keuntungan penjualan kredit lebih tinggi dibanding resikonya, dan sejarah penjualan kredit di Indonesia. Pertanyaan terakhir diajukan oleh Langit.

Perempuan itu mencoba menjawab pertanyaan dari penanya—dengan keragu-raguan tentunya. "Untuk pertanyaan pertama, piutang adalah tagihan kepada pihak lain dengan jangka waktu yang telah ditentukan sebagai akibat adanya penjualan kredit. Perbedaan dengan hutang jelas-jelas beda. Hutang itu seperti janji. Harus ditepati. Pertanyaan kedua akan dijawab oleh teman saya."

Mendengar itu, ketiga pria saling bepandangan. Hingga salah seorang yang berada di tengah dipandangi oleh dua teman lainnya. Pandangan itu seperti suatu konsensus tak resmi untuk menentukan siapa yang akan menjawab pertanyaan kedua. Bagi pria yang di tengah, pandangan itu menyerupai sebuah ancaman. Mau tidak mau dia harus mengerahkan kemampuannya menjawab pertanyaan.

"Menurutku penjualan secara kredit lebih menguntungkan dibanding cash. Saat penjual menaikkan harga lebih tinggi kemudian dibagi dengan termin kredit, maka nilai angsuran pembayaran terlihat lebih kecil. Hal ini tentu meringankan konsumen jika dibanding langsung membayar sekaligus. Untuk mengurangi resiko kredit maka perlu menyeleksi secara ketat calon kreditur," jawab laki-laki paling beruntung dalam kelompok itu karena mendapat kesempatan langka. Dia menjawab dengan terbata-bata karena tulisan di kertas contekannya terlalu kecil dan sulit dibaca.

Saat laki-laki itu selesai menjawab, Komting yang duduk di deretan depan meprovokasi semua mahasiswa untuk memberi tepuk tangan kepada laki-laki itu. Dan, provokasinya berhasil. Sehingga laki-laki itu merasa menjadi mahasiswa jenius yang telah berhasil menjawab pertanyaan penentu hidup-matinya. Dia merasa lega. "Untuk pertanyaan ketiga akan dijawab oleh temanku yang paling cantik ini," kata laki-laki yang merasa baru selamat itu. Dia bersiasat dengan melempar bola panas kepada orang lain.

Sementara orang yang baru saja disebut cantik itu langsung menunjukkan ekspresi tercantiknya saat takut, bingung, dan merasa apes bercampur baur. Dia sudah mencari-cari jawaban di bukunya. Dibolak-balik seperti sedang menggoreng 'badak'—gorengan sejenis bakwan khas kota ini. Pertanyaan ini tidak ada dalam skenario diskusi. Perempuan itu mulai berkeringat sebesar pipilan jagung. Suasana kelas mulai riuh rendah.

Sang Komting pun mengambil inisiatif untuk meminta kepada penanya agar mengulang pertanyaan dan memberi penekanan untuk menjelaskan maksud dari pertanyaannya itu. Langit, sebagai penanya itu, pun kembali mengulang pertanyaannya.

"Bagaimana sejarah penjualan kredit di Indonesia? Apakah sistem ini berasal dari luar negeri, dibawa oleh penjajah dari barat, yang juga membawa dan mengenalkan sistem perbankan? Atau bagaimana? Jika memang dari luar, apakah 'mindring' yang menjual payung, panci, piring, wajan, termos, dan barang keperluan rumah tangga lainnya secara kredit dan berkeliling dari rumah ke rumah itu juga berasal dari sana? Sehingga di barat sana juga ada tukang mindring yang sama seperti di Indonesia." Jelas Langit Biru menguraikan maksud pertanyaannya itu yang disambut tawa cekikikan tertahan dari seisi kelas, kecuali Pak Dosen Buncit, komting, dan empat orang anggota kelompok 5 itu. Suara mereka terdengar seperti paduan suara berbagai jenis unggas yang dicekik lehernya secara bersamaan sebelum disembelih.

Si Komting, MC kawe 1 itu, naik pitam. Wajahnya me-merah menahan malu dan marah. Dia mengingat-ingat bahwa laki-laki yang baru saja mengacau perkuliahan ini asing di matanya. Dia bukanlah anggota kelasnya. "Mohon tenang, teman-teman. Harap tenang, tenang, iya, tenang. Ini ujian, ada penyusup di kelas kita. Heh, kamu keluar dari kelas ini. Jika ingin melawak jangan di sini," hardik komting kepada Langit.

Langit yang dihardik dan diusir itu tetap tenang. Pak Dosen Buncit terganggu keasyikkannya dan mulai memperhatikan keadaan di kelas yang ribut ini.

"Hem, hem, hem," dehem Pak Dosen Buncit. Seisi kelas langsung hening. "Kamu," sambil menunjuk Langit Biru, "siapa namamu?"

"Namaku Langit Biru."

"Iya, kamu siapa?"

"Aku Langit Biru, Pak..."

"Kenapa kamu di sini?"

"Ikut temanku, Pak."

"Siapa temanmu?"

"Sontoloyo, Pak."

"Oh, dasar laki-laki sontoloyo. Keluar dari ruangan ini," bentak Pak Dosen Buncit.

Langit tetap menunjukkan sikap tenangnya, sedangkan temannya, Sontoloyo, pucat ketakutan di tempat kursinya. Langit beranjak dari tempat duduknya. Dia sadar diri bahwa dirinya bukanlah mahasiswa kampus ini.

Tadi Langit sedikit memaksa Sontoloyo untuk ikut perkuliahannya supaya tidak kelamaan menunggu sampai jam istirahat siang tiba; sekaligus untuk melakukan observasi. Ada seseorang yang akan ditemuinya nanti.

Dia berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar dia menuju ke hadapan Pak Dosen Buncit. Dengan pelan dan tenang Langit menyampaikan sesuatu. "Bapak, saya mohon maaf jika membuat bapak kurang berkenan. Bapak perlu tahu bahwa saya sudah mendapat izin dari Pak Kumis, Kajur bapak, untuk melakukan liputan tentang budaya mutu di kampus ini. Nanti siang saya akan menemui beliau. Bapak ingin titip salam, nanti akan saya sampaikan. Oh, ya, Pak, terima kasih telah menjadi subjek pengamatan saya tentang pengaruh perilaku dosen terhadap mutu kampus. Ini akan menjadi laporan yang sangat menarik."

Langit meninggalkan ruangan ini dengan pasti. Pak Dosen Buncit mendadak terdiam. Membatu. Saat terdengar decit pintu yang menutup, Pak Dosen Buncit tersadar akan sesuatu. Dia pun berlari mengejar Langit Biru. Di depan pintu kelas dia tergopoh-gopoh memanggil Langit.

"Nak, maafkan bapak. Sikap bapak berlebihan. Ini," sambil memasukkan sesuatu ke dalam saku celana Langit Biru, "anggap sebagai permintaan maaf dari bapak. Jangan sampaikan salam apapun kepada Pak Kumis."

Langit yang telah mengerti dengan maksud dari oknum dosen ini, berusaha tetap tenang meski dia merasa ditampar dan dihina dengan model penyuapan macam ini. "Saya terima permintaan maaf dari bapak. Saya anggap ini sebagai pemberian seorang paman kepada ponakannya yang lama tak bertemu. Oh, ya, satu lagi tolong beri nilai A kepada teman saya yang bernama Sontoloyo. Jika tidak, paman akan menyesal seumur hidup."

Pak Dosen Buncit terbelalak ketika melihat Langit mengeluarkan ponsel dan mematikan mode perekaman di hadapannya. Ponsel itu kemudian dimasukkan lagi ke sakunya. Dengan santai Langit berlalu meninggalkan dosen kilatnya itu. Sang dosen pun merasa lumpuh seketika. Tulang belulangnya serasa tak mampu menopang tubuhnya.

***

Seseorang yang duduk di pojokan ruang perkuliahan mengeluarkan gantungan kunci berhiaskan daun maple berwarna jingga setelah melihat dosennya keluar mengejar laki-laki itu. Daun maple itu dimainkannya.

Dia masih tidak menyangka ada laki-laki yang berani menyusup dan melakukan permainan berbahaya di kelasnya, dengan Pak Dosen Buncit lagi. Dia menghela nafas panjang. Saat kejadian tadi dia sering menahan nafas. Sungguh ini merupakan pertunjukan langka. Mendebarkan, penuh humor, dan nyata.

"Laki-laki misterius sekaligus berbahaya," gumamnya. []

avataravatar
Next chapter