9 Asal...

Suara alam membangunkan Daun Merah. Kicau burung terdengar lebih nyaring nan merdu dari biasanya. Sinar mentari yang menerobos ke dalam kamarnya, menimbulkan keheranan. Tak biasa suasana pagi seperti ini. Dia pun bangkit. Menyibak tirai kamarnya. Membuka pintu dan melangkahkan kaki menuju ke balkon.

"Seandainya ada laki-laki yang memanjat balkon untuk menemuiku. Tentu aku akan merasakan bahagianya Juliet saat ditemui Romeo," Daun Merah mengandai. "Hanya saja kisah cinta itu berakhir tragis," seketika senyum kecut merekah di bibirnya.

Daun Merah menghirup nafas dalam-dalam. Udara segar menyerbu mengisi paru-parunya. "Ah, pagi yang tak biasa. Kemana saja aku selama ini. Tak pernah menjumpai pagi semenarik ini," batin Daun Merah seraya menikmati pagi ini.

Pikirannya terasa jernih. Beberapa obrolan bersama Dara Manis kembali terngiang. Soal wisuda dan ambisi cintanya yang paling dia ingat. "Benar kata Dara, tak ada hubungan apapun yang membuatku harus menunda lulus. Aku boleh lulus tanpa merasakan cinta yang telah kuidam-idamkan sejak lama. Aku harus mulai berdamai terhadap ambisi dicintai dan mencintai seorang laki-laki, meski aku sangat ingin. Apalagi ibuku beberapa kali mengeluh tentang diriku. Sampai sekarang tidak ada satu pun laki-laki yang aku ajak ke rumah. Hanya Dara Manislah satu-satunya orang yang berkunjung ke rumah ini. Ibu sudah mulai berpikir yang bukan-bukan," pikir Daun Merah yang meluncur begitu saja dengan mudah.

Daun Merah mengamati rumah-rumah di sekeliling rumahnya. Tak ada yang dia tahu siapa nama pemilik rumah-rumah itu. Dia memang tidak pernah bergaul dengan para tetangganya. Meski ada satu dua orang seumurannya—paling banyak laki-laki—yang mengajak kenalan, Daun Merah selalu mengacuhkan mereka.

Kebencian Daun Merah terhadap laki-laki sudah membatu. Keras. Namun, sebagai manusia dia ingin tetap menjalani kehidupan laiknya manusia normal lainnya. Menjalin cinta kasih, menikah, dan memiliki keluarga kecil yang bahagia menjadi idamannya. Sekali-sekali Daun Merah pun ingin merasakan bahagia.

Menyaksikan muda-mudi berpasangan, bergandengan tangan, tertawa hahahihi, sesekali membuat Daun Merah iri. Mereka mengacuhkan orang-orang di sekitar dan seolah dunia milik mereka berdua. Duduk berduaan, bergandengan tangan, berpelukan, bahkan berciuman tak malu mereka lakukan di tempat umum.

"Apakah cinta dapat mengalihkan semua, termasuk kesedihan dan penderitaan?" tanya Daun Merah dalam batinnya.

Daun Merah sudah mencoba untuk dekat dengan laki-laki. Namun, tidak ada satu pun laki-laki yang mampu membuatnya terpikat. Seganteng apapun. Bahkan Daun Merah sering menjauh saat didekati oleh para laki-laki.

Pikiran liar Daun Merah tiba-tiba menyeruak. "Aku yakin banyak laki-laki di luar sana yang bisa dengan mudah mencintaiku," pikirnya.

"Jika aku tidak bisa mencintai satu lelaki saja, aku akan membuat mereka bertekuk lutut memohon cinta kepadaku," batin Daun Merah.

"Akan aku jadikan mereka sebagai budak cinta," tekad Daun Merah dalam hatinya disertai seringai senyum yang aneh.

***

Setelah mandi, Daun Merah berniat sarapan. Di ruang makan dia bertemu ibunya. Daun Merah meminta tolong kepada ibunya untuk membawa mobilnya ke bengkel. Biasa servis rutin, begitu kata Daun Merah.

"Nanti ibu telpon orang bengkel langganan," jawab Ibu Daun Merah singkat lalu beranjak pergi meninggalkan Daun Merah yang sedang sarapan.

"Oh, ya, Mer. Ibu ada urusan di Kota Kelengkeng. Paling cepat besok atau lusa kembali," kata Ibu Daun Merah setengah berteriak usai membalikkan tubuhnya ke arah Daun Merah.

Setiap hari Ibu Daun Merah sibuk. Pergi pagi dan pulang menjelang tengah malam. Bahkan kadang sebaliknya, pergi menjelang malam dan pulang pagi. Sesekali ke luar kota beberapa hari. Kematian ayah tirinya meninggalkan beberapa bisnis dan usaha. Ibu Daun Merahlah yang meneruskan mengurusinya.

Usai menyantap sarapan, Daun Merah bersiap menuju kampus. Dia berniat mengendarai sepeda motor. Kunci dengan gantungan berhiaskan daun maple berwarna jingga sudah berada digenggamannya. Saat berada di garasi, dia memeriksa mobilnya. Aneh. Tidak ada kerusakan parah. Hanya sedikit penyok di kap mesin bagian depan. Tak lebih besar dari ukuran telapak tangannya. Daun Merah pun memeriksa bagian lainnya. Utuh. Tidak ada goresan, retak maupun penyok.

"Jelas-jelas tadi malam aku menabrak orang. Orang itu terpental. Suara yang ditimbulkan juga keras. Aneh sekali," batin Daun Merah bingung.

***

Daun Merah menikmati segelas jus buah di food court kampus. Dia berpikir bisa melakukan sesuatu di tempat ini sebelum mengikuti perkuliahan satu jam lagi. Daun Merah memang masih mengambil beberapa mata kuliah selain skripsi. Ada satu mata kuliah yang mendapat nilai C. Untuk memperbaiki nilainya, sebagai iseng-iseng berhadiah, dia mengulang mata kuliah itu. Karena tidak ada jaminan setelah mengulang mata kuliah bakal memperbaiki nilainya.

Daun Merah berpikir jika hanya mengikuti ujian remidi atau kuliah pendek untuk memperbaiki nilainya maka dia hanya akan mendapat perbaikan nilainya saja. Padahal yang dibutuhkan adalah pemahaman dan ilmu di mata kuliah yang belum dikuasainya itu.

Daun Merah sering mendengar sasus tentang perilaku oknum dosen yang sengaja memberi nilai buruk agar mahasiswa mengambil ujian remidi atau kuliah pendek. Oknum tak bertanggungjawab itu memanfaatkan celah untuk mencari tambahan isi kantongnya dari biaya ujian remedi atau kuliah pendek. Sebagian besar biaya itu dialokasikan oleh kampus kepada dosen yang menguji remidi atau kuliah pendek.

Dugaan kuat adanya permainan ini adalah adanya kelas yang lebih dari setengah mahasiswanya mendapat nilai jelek. Kedua, kuliah pendek yang semestinya tiga kali pertemuan itu kadang disulap menjadi hanya satu pertemuan untuk ujian remidi. Ketiga, meski saat ujian remidi mengerjakan secara asal-asalan, hasilnya nilai meroket dengan sendirinya.

Lumayanlah, tanpa harus bersusah payah mengadakan perkuliahan 12 pertemuan. Cukup sekali saja, ada pemasukan melimpah bagi oknum dosen yang nakal.

Bagi Daun Merah sasus semacam ini hanya dijadikan sebagai angin lalu saja. Hanya akan menjadi bumerang bagi mahasiswa yang berani mengungkapnya secara terang-terangan.

Sama halnya dengan pengalaman Daun Merah yang nyaris diperkosa oleh ayah tirinya. Dia hanya diam saja. Tidak membuka mulut sama sekali. Hanya kepada Dara Manislah dia bercerita. Bukan karena tidak berani. Hal itu malah seperti melempar kotoran ke muka sendiri. Bukannya mendapat pembelaan sebagai korban, justru kian mempermalukan dirinya sendiri, ibunya, dan siapapun yang dekat. Bagi yang tidak suka kepada dirinya, jika tahu kejadian ini, bakal menjadikan senjata untuk mem-bully dirinya. Ironis memang.

Tak terasa Daun Merah telah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit di sini. Sendirian. Baru sekali ini Daun Merah berlama-lama di tempat ini.

Sahabatnya satu-satunya, Dara Manis, tidak berkuliah di sini. Bahkan sudah diwisuda beberapa bulan yang lalu. Kata Dara saat dulu diajak kuliah bersama Daun Merah, kuliah di kampus ini mahal, apalagi fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Meski pernah ditawari bantuan biaya kuliah bulanan oleh Daun Merah, Dara Manis menolak halus dan tetap memilih berkuliah di perguruan tinggi negeri dengan biaya terjangkau dan sesuai dengan cita-citanya sebagai seorang guru. Jika sudah berurusan dengan cita-cita, Daun Merah tak bisa memaksa.

Saat Daun Merah terbuai dengan lamunannya, seorang laki-laki berperawakan tegap, tinggi-besar, mengenaikan pakaian formal menghampirinya. Lelaki itu membawa semangkok soto lengkap dengan sate kerang dan perkedeal, dan segelas teh.

"Hmmm, Merah. Apa kabar? Dicari Pak Kumis, tuh," kata lelaki itu seraya duduk di depan Daun Merah.

"Oh, Mas Liat. Kabarku baik. Tumben ada Kajur yang mencari mahasiswanya, kecuali mahasiswa itu punya masalah," jawab Daun Merah sekenanya.

Daun Merah kenal Tanah Liat karena pernah sama-sama mengikuti kegiatan Unit Kegiatan Masiswa (UKM) bela diri. Dikatakan kenal, sih, kurang tepat. Karena Daun Merah jarang ngobrol dengan anggota UKM lainnya saat latihan, termasuk kepada Tanah Liat. Yah, sebatas tahulah. Itu pun sudah lama. Pada saat semester awal kuliah. Daun Merah merasa kurang nyaman ikut latihan bela diri di kampus. Dia memutuskan untuk belajar bela diri di tempat lain yang lebih privat.

"Apa kabar asdos kesayangan para dosen dan idola para mahasiswi, nih?"

"Idola apaan. Masalahnya kamu sudah lama tidak bimbingan skripsi. Dosen pembimbingmu melaporkan hal ini."

"Apa hanya aku saja yang telat bimbingan skripsi?"

"Tidak, sih."

"Lalu, kenapa hanya aku yang dicari?"

"Kamu, kan, spesial, Mer, pakai telor dua. Hehehe..."

"Huh, memangnya nasi goreng."

"Kalau kamu ada masalah skripsi, sampaikan saja. Aku siap bantu, kok."

"Mas Tanah Liat mau bantu?"

"Iya, kalau kamu mau, sih."

Daun Merah menganggukkan kepala dengan agak ragu.

"Ini kartu namaku. Ada nomor telepon dan alamat email. Satu kali 24 jam, 7 hari seminggu, aku siap membantumu. Asal..."

Daun Merah mengernyitkan dahi. Memikirkan imbal-balik yang mungkin diminta oleh Tanah Liat. Mana mungkin ada yang gratis di zaman sekarang ini. "Asal apa, Mas?" tanya Daun Merah untuk memastikan.

"Hmmm, asal kamu menghubungi aku. Hehehe."

Daun Merah masih belum yakin dengan jawaban laki-laki itu. "Pasti ada udang di balik batu," pikirnya. Dia melirik ke arah jam tangannya. Ops, beberapa menit mendekati jadwal kuliahnya.

"Terima kasih, Mas. Aku duluan, ya, ada kelas."

Tanah Liat memberi kode dengan menekuk tiga jari tangan kanan, kecuali ibu jari dan kelingking, dan mengarahkan ke telinganya seraya mengembangkan senyum lebar-lebar. Daun Merah membalas senyum itu dengan canggung.

"Strike, umpanku disambar," batin Daun Merah sambil berjalan menuju ruang kuliah. []

avataravatar
Next chapter