2 What is my mom looks like

Ana mengoleskan selai pada rotinya. Kegiatannya terhenti ketika mendengar suara berat namun hangat dari belakang, "Kok bangun pagi - pagi banget, mau kemana ?. Sekolah kamu, hari sabtu kan libur." ucap Reno, ayahnya.

"Eh, ayah..." sapa Ana dengan senyum. Reno membelai rambut putri tercintanya lalu mengambil duduk dihadapannya.

"Mau roti, yah ?" Ana menawarkan.

Reno tersenyum lalu menganggukan kepalanya pelan. Ia memandang putrinya yang sibuk dengan selai dan roti dihadapannya.

"Kamu mau kemana ?" tanya Reno lagi yang belum mendapatkan jawaban.

Ana mendongakan kepalanya, "Ana mau ke taman. Boleh kan, yah ?" Ana bertanya balik.

"Boleh..."

Ana memberikan roti diatas piring putih bersih kepada ayahnya.

"Oh ya, mama kemana ?. Kok dari tadi nggak keliatan" tanya Ana, menggigit roti miliknya.

"Tadi pamit belanja" jawab Reno, Ana manggut - manggut mengerti.

Setelah menghabiskan roti miliknya, Ana berlari kecil menuju kamarnya dilantai dua. Mengambil sketchbooknya. Ana melirik jam yang menunjukan pukul 7.30.

Ana pun mengganti bajunya dengan setelan santai. Ia tak mungkin keluar rumah dengan pakaian tidurnya.

Jarak antara rumah dengan taman yang ia tuju cukup dekat. Tidak akan mematahkan kaki walau jalan sekalipun.

"Ana pergi dulu ya, yah" pamit Ana menyalami ayahnya lalu berjalan menuju keluar.

"Mau kemana ?" tanya Ani, kembaran Ana yang baru saja keluar dari kamarnya. Ya, Ana memiliki satu kembarang dan satu kakak laki - laki yang bernama Oval.

"Ada deh" ucap Ana, ia tersenyum merekah lalu melanjutkan jalannya tanpa mempedulikan Ani, yang terus memanggil.

Saat Ana hendak meraih knop pintu. Pintu cokelat itu sudah terbuka duluan. Menampilkan seorang wanita paruh baya dengan beberapa tas kresek di tangan kanannya, siapa lagi kalau bukan Fana, mama Ani

"Ha...Habis dari mana, ma ?" tanya Ana.

"Kamu mau kemana ?" Fana balik bertanya.

"Ana, ma-mau ke taman benta-"

"Nggak" potong Fana masih dengan wajah datar dari tadi.

"T-Tapi-"

"Masuk!" Fana memotong lagi ucapannya.

Ana menghela napasnya lalu masuk ke kamarnya dengan keki. Wajah cemberut tercetak. Mengapa Fana selalu memperlakukan dirinya begini ?.

"Kenapa, nggak jadi ke taman ?" tanya Reno melihat putrinya kembali ke lantai dua.

"Tanya mama" ucap Ana ketus tanpa menengok ke sumber suara.

Reno mengerutkan keningnya samar. Ia menghela napasnya. Matanya beralih pada istrinya yang menyusul.

Fana menaruh hasil belanjaannya disamping kulkas. Ia langsung mendekati suaminya, memeluknya dari belakang, "udah makan ?" ucapnya dengan lembut. Berbeda jauh saat lawan bicaranya adalah Ana.

"Udah, tadi dibikinin Ana roti." balasnya dengan senyum.

🌠

Seperti biasa Reno mengunjungi satu per satu kamar anak - anaknya pada siang hari. Ia membuka pintu pertama yang berwarna merah muda dengan stiker hati ditengahnya.

Reno tersenyum melihat putrinya. "Makan dulu." ucap Reno kepada Ani. Ani menoleh lalu mengangguk. Setelahnya ia kembali sibuk pada ponselnya.

Pintu kedua berwarna hitam tanpa stiker dan masih bersih seperti baru. Ia membuka pintunya.

"Oval !" panggil Reno sedikit keras melihat putranya yang fokus memainkan komputernya seraya menyumpal telinganya.

Oval melepas headset JBL T450BT-nya lalu menoleh kearah ayahnya. Memandangnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Persis seperti Fana.

"Makan?" tebak Oval.

Reno mengangguk. Lihatlah kamar anaknya yang satu ini. Berbeda dengan kamar sebelahnya yang selalu berantakan dan dipenuhi dengan poster, foto, dan hiasan dinding lainnya.

"Jangan lama - lama. Ditungguin mama" pesan Reno lalu menutup kembali pintunya.

Kamar terakhirnya berada dilantai dua. Pintu putih bersih terlihat didepan mata. Reno langsung membuka pintunya. Ia tersenyum melihat putrinya yang satu ini tengah terduduk dikursi balkon dan berkutat pada sketchbooknya.

"Ana..." panggil Reno lembut. Reno mengerutkan keningnya tak menerima jawaban dari putrinya.

"Ana" panggilnya kembali seraya melangkahkan kaki mendekat.

Masih tak mendapat jawaban Reno menjawil pundak Ana. Menyadarkan Ana yang asik menggambar.

"Ah. Maaf, yah. Ana pake earphone" ucap Ana seraya melepaskan earphone yang sudah beberapa lama menyumpal telinganya.

"Iya..."

Wajar saja Reno tidak menyadari earphone yang Ana kenakan. Ia sendiri bahkan tidak dapat melihat telinga Ana yang tertutup rapat oleh rambut panjangnya.

"Makan yok !" ajak Reno. Ia mengalihkan pandangannya pada kertas ditangan Ana.

Reno tersenyum melihat sketsa seorang lelaki yang dibuat dengan rapi dan bagus.

Disisi lain Ana kelabakan menyembunyikan gambarannya dengan pipi yang memerah.

"Bagus kok sayang" jujur Reno, ia mengelus puncak kepala Ana.

"Ayah tunggu di bawah ya" pesan Reno lalu meninggalkan putrinya yang masih terdiam memandang punggungnya.

🌠

Semua sibuk dengan piring masing - masing. Begitu juga dengan Ana yang menikmati makananya pelan - pelan.

Saking sibuknya dengan makanan sendiri. Tak ada satupun yang berbicara. Ana memang sedang terduduk dikursi meja makan. Tapi pikirannya sedang berjalan - jalan mencari cara.

Ia ingin sekali meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk pergi malam minggu ini.

Tapi bibirnya kelu untuk mengucap sepatah katapun.

Ia tidak ingin mengganggu kegiatan makan mereka. Paling - paling mamanya tidak akan mengijinkannya.

"A-Ana boleh ijin keluar nggak malam ini ?" ucap Ana hati - hati lalu menundukan kepalanya.

"Kalo ayah, sih. Boleh - boleh aja..." balas Reno beberapa detik setelahnya.

Ana mendongak memandang ayahnya dengan senyum di bibir tipisnya.

"Asal inget. Nggak boleh salah pergaulan" pesan Reno tak melunturkan senyum Ana.

"Sama siapa ?" tanya Fana tanpa ekspresi. Sama semenakutkannya tadi pagi.

"Temen ma" jujur Ana, "cowok atau cewek ?" ucapnya sukses melunturkan senyum Ana.

Sudah bisa ditebak, tak akan ada peluang untuknya keluar malam ini.

Ana menundukan kepalanya, "c-cowok ma." ucap Ana hati - hati.

Sukses mengundang perhatian kembarannya beserta kakaknya, Oval, yang tadinya tak menggubris obrolan mereka.

"Cie... Pacar ya !" celetuk Ani, di ikuti tawa pelan Reno.

"Ma. Oval nanti ada janjian sama temen, mau ngerjain tugas" ijin Oval selanjutnya. Persis seperti Fana saat berbicara, pelit untuk mengukir senyum.

Fana mengangguk mendengar perkataan Oval.

"Ana boleh keluar kan ma ?" tanya Ana kembali yang belum mendapat jawaban darinya.

"Ana, dianterin kak Oval, deh" Ana membujuk.

"Nggak!" ucapnya tegas tanpa pikir panjang.

Sukses mengukir kerutan dikening Ana.

"Kenapa, ma ?. Kak Oval aja boleh"

"Dia kan mau belajar, kamu kan mau pacaran" ucap Fana tidak keras tapi begitu menusuk Ana.

"A-Ana, nggak pacaran, ma. Cuma temen, dia ngajak janjian" bujuk Ana tak mau kalah.

"Kamu harusnya makasih, ya, Ana. Mama masih mau jagain kamu. Mama masih mau liat kamu punya harga diri!" ucap Fana yang juga tak mau kalah. Suasana meja makan yang tadinya tenang sekarang menjadi panas dengan perdebatan Ana dan Fana. Kedua manusia yang sikapnya berlawanan.

"Keluar malem, sama cowok. Sisi mananya yang bukan pacaran, Ana. Kalo kamu kenapa - kenapa, gimana ?!"

"Kenapa apa, ma?"

"Hamil !" ucap nya keras. Oval tersedak dengan makanannya. Setelahnya semua menjadi tegang dan hening. Ana berusaha untuk tidak meneteskan air mata walau bola matanya sudah banjir bandang.

Entah mengapa hatinya terasa sangat sakit. Ketika mendengar satu kata yang baru saja mama kandungnya katakan kepadanya, sukses mematikan seluruh tubuhnya dalam sekejap.

"Fana" tegur Reno pelan. Ia memegang punggung tangan Fana. Fana menoleh pada suaminya, "udah..." Reno menenangkan.

Ana tahu Fana begitu karena sayang padanya. Tapi mengapa ia harus berkata seperti itu didepan saudara dan ayahnya. Apalagi ia mengucapkan itu dengan lantang.

Ana berdiri dari kursinya, membuat deritan keras. Mengundang empat pasang bola mata. Ana langsung berlari kearah kamarnya tanpa mempedulikan panggilan Fana.

Suasana meja makan menjadi canggung setelah kepeninggalan Ana. Tak ada yang berucap satu patah katapun sampai kegiatan makan siang selesai.

avataravatar
Next chapter