8 BAB 8

"Pak Banyu!" Ada seorang ibu ibu paruh baya yang menyapanya. Entah siapa dia.

Aku lihat orangnya sederhana. Sepertinya sangat mengenal Mas Banyu. Mereka bahakan berjabat tangan dengan hangat.

"Bu Irma, sama siapa?" Sapa Mas Banyu yang sepertinya kaget dengan keberadaannya.

Mas Banyu sendiri juga clingak clinguk seperti mencari seseorang yang mungkin juga dia kenal.

"Jalan jalan sama Amira. Pak Banyu ngapain?" Tanya ibu itu sambil tersenyum ramah sekali.

"Belanja bu." Jawab Mas Banyu.

Entah apa yang mereka bicarakan. Aku sendiri juga tidak begitu paham. Bahkan cukup lama aku berdiri menunggu Mas Banyu tapi dia tidak memperkenalkan aku. Sepertinya dia tidak ingin orang ini tahu kalau aku istrinya.

Ingin sekali aku menggapit lengannya agar dia tahu kalau ada istrinya di sini. Lagi lagi aku harus mengurungkan niatku. Aku takut jika Mas Banyu tidak mau atau bahkan menolaknya. Aku juga takut jika dinding es diantara kita nanti semakin membeku.

Dari pada aku pusing memikirkannya. Lebih baik aku lanjutkan belanjaku. Walaupun sakit sekali rasanya, tapi aku harus melanjutkan tugas dari Mama ini.

"Terima kasih kuenya kemarin ya Pak Banyu. Saya kaget tiba tiba Laras pulang bawa kue besar." Padahal aku belum jauh melangkahkan kaki ini.

Deg. Rasanya duniaku runtuh seketika. Oh Tuhan. Sakit. Cemburu. Ingin sekali aku menangis di tempat. Tapi aku bisa apa? Bahkan Mas Banyu saja tidak menganggapku.

Aku segera mendorong troli menjauh. Aku tidak ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Aku bahkan juga tidak berpamitan dengan Mas Banyu untuk melanjutkan belanja.

Aku benamkan wajahku di antara pegangan troli dengan tanganku. Bagaimana mungkin seorang istri seperti aku tidak memiliki kekuatan sama sekali? Bahkan suamiku juga tidak memganggapku.

Aku ini istri. orang jawa menyebutnya garwo atau sigarane nyowo (separuh nyawa). Tapi bagaimana dengan aku. Apa posisiku sebenarnya. Siapakah diriku dimatanya?

Aku mendorong troli sendiri yang entah kemana arah dan tujuannya. Aku menahan tangusku. Memejamkan mataku sejenak agar bisa menahan buliran kristal yang bisa saja semakin tak terbendung. Aku harus kuat Aku harus bisa.

Aku mulai menegakkan kepalaku. Melihat list di ponselku. Banyak belanjaan yang belum aku masukkan. Kembali aku memasukkan beberapa barang yang aku dapati.

Aku mulai berusaha melupakan kejadian hari ini. Mungkin jika sekarang ada di rumah aku bisa bebas menangis di sana. Melampiaskan rasa sakit hati yang terus datang bertubi tubi.

"Garin?" sapa seorang pria yang ada di hadapanku.

"Ti Tio?" Aku seakan tidak percaya karena melihat teman SMA-ku berdiri dihadapanku.

Prastio Aji. Teman baikku dari Sekolah Menengah Atas. Orangnya humoris. Dulu aku suka melihat saat dia tertawa. Dia memiliki mata yang sipit jadi ketika dia tertawa maka akan terlihat seperti memejamkan mata. Aku sering menggodanya dengan bilang "Ojo ketawa, nanti arek arek malah semua delik." (Jangan ketawa nanti anak anak semua sembunyi). Dia tidak marah malah semakin tertawa karena ucapanku.

Aku lihat sekarang dia semakin keren. Mengenakan kaus warna hitam dengan gambar wayang di tengahnya dan celana pendek berwarna coklat. Rambutnya juga tertata rapi. Badanya tinggi dan atletis. Proporsional sekali. Senyumnya juga manis. Orangnya juga memang baik dari dulu.

Dia memang terkenal paling senang membantu teman temannya. Dia yang paling peka saat ada teman yang susah. Dia juga pintar. Jika ada film dengan pemain protagonis mungkin Tio paling cocok memerankannya.

Dia dulu juga pernah diam diam mengirim makanan ke seseorang yang selalu tertidur dengan gerobak penuh kardus bekas di depan pos ronda di sekitar rumahnya. Tio memang sebaik itu. Dia juga pernah membantu teman yang tidak bisa membayar uang sekolah.

"Apa? Kaget aku di sini? Kon ojo mlongo ae Rin. (Kamu jangan bingung gitu Rin)" Aku ingat dia. Bahasa Jawa Timuran yang khas memang tidak bisa hilang dari dirinya.

"Kamu kok bisa di sini? Bukannya masih tinggal di kota M? Kok bisa di sini? Aku masih ga percaya ini kamu." Aku berusaha menyembunyikan wajah sedihku.

"Iya. Aku ada seminar di sekitar sini. Besok pagi sih baru ngisi acara seminarnya. Aku saiki mbois Rin. Pokok e wong akeh seng gelem belajar karo aku. (Aku sekarang keren Rin. Pokoknya banyak orang yang pengen belajar sama aku.)" Ucapnya kelewat percaya diri.

"Kamu itu Yo kok ga pernah berubah." Entah mengapa ucapanya bisa membuatku menghilangkan sejenak bebanku.

"La aku memang bukan power ranger Rin. Jadi ya ga bisa berubah. Aku dari kecil sampai sekarang ya Tio. Ga mau berubah jadi Tia" Tawaku seketika pecah saat itu juga.

"Hehehe. Udah Yo. Kamu itu selalu bikin orang lain ketawa terus." Aku berusaha menahan tawaku lagi kali ini.

"Ada masalah Rin? Kok lesu gitu?" Tanyanya seperti bisa membaca raut wajah sedihku.

"Ga Yo, cuma belum dapat semua belanjaan. Aku mau lanjutin lagi nih. Aku duluan ya." Aku berusaha pamit, takutnya Mas Banyu malah bingung mencari aku.

"Sek sek Rin. (Tunggu tunggu Rin). Ini nomorku. Besok selesai seminar kalau bisa kita ketemu. Katanya kamu kenal sama Seno. Dia masih saudaraku. Siapa tahu kita bisa ketemu bertiga." Dia menyodorkan kartu namanya.

"Boleh boleh. Semoga saja ada waktu." Ucapku bersemangat.

Sebenarnya aku ingin sekali ngobrol panjang dengan dia. Reuni kecil kecilan dengan dirinya.

Andai aku bisa bilang, "Tio kamu temenin aku belanja ya, biar ga kerasa galaunya kalau ketawa sama kamu."

"Ya udah sana lanjutin belanjanya. Aku mau bayar ini, terus langsung ke hotel" Ucapnya berpamitan.

"Iya. Thanks Yo."

Aku kembali mendorong Troliku. Menjauhinya, kembali melanjutkan tugas belanja yang harus segera tuntas.

Sebenarnya aku ingin sekali kembali mencari Mas Banyu, tapi rasanya aku malas melihatnya. Tidak suka melihatnya akrab dengan keluarga Laras. Tapi aku bisa apa. Melarangnya pun aku juga tidak berani.

Sepedih inikah jatuh cinta. Atau aku malah jatuh cinta pada orang yang salah. Sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini. Kapan aku bisa merasakan cinta yang begitu romantis?

"Garin." Tiba tiba saja suara orang yang aku cintai selama ini memanggilku dari belakangku.

"Iya. Maaf Mas. Aku mau ambil beberapa barang lagi. Habis itu tinggal bayar terus pulang." Ucapku tanpa menoleh kearahnya.

"Kurang apa lagi? aku bantu biar cepat." Rasanya hati ini semakin tercabik cabik.

Aku tahu kalau dia ingin segera cepat kembali ke cafe biar bisa cepat ketemu Laras.

Belanja yang hari ini aku kira bakal menyenangkan nyatanya tidak sama sekali. Ya, memang aku sempat merasakan sesaat kesenangannya. Namun rasa perihnya datangnya juga begitu cepat.

"Ini sudah selesai kok Mas. Aku bayar dulu." Aku segera mendorong troli ke kasir dan membayarnya.

Selesai dengan semuanya kami segera pulang. Baru kali ini rasanya tidak ingin berlama lama dengan dia.

"Kamu mau langsung ke catering apa pulang dulu?"

"Pulang dulu Mas." Jawabku singkat dengan terus menunduk.

"Kamu tadi ngobrol sama siapa?" Baru kali ini sepertinya dia perhatian.

Tahukah dia kalau aku tadi sedang ngobrol dengan laki laki lain. Cemburukah dia? Marahkah hatinya sekarang?

"Teman." Jawabku singkat masih tanpa menatapnya.

"...." Dia hanya diam saja.

Bagaimana ini, kenapa dia hanya diam? Dia marah atau tidak peduli. Apa benar dia diam karena marah.

Aku tidak berani melihat kearahnya. Aku tidak bisa menyakitinya. Rasa bersalah terus saja menderu di dalam hatiku.

Cinta kenapa bisa sesakit ini. Tapi banyak orang menikmati cinta dengan kebahagiaan. Lalu apa yang aku rasakan ini?

Kami mulai tiba di rumah. Aku lihat ada mobil yang tidak asing. Aku sangat mengenali mobil yang terparkir ini.

Aku segera memasuki rumah begitu melihat mobil itu. Aku juga tidak mempedulikan Mas Banyu yang sedang menurunkan belanjaan.

"Garin. Ini lo, Seno dari tadi nunggu kamu. Katanya pengen ketemu kamu. Ada saudaranya juga." Ucap Mama yang masih membuatku tidak percaya.

avataravatar
Next chapter