webnovel

Kontras

Qin Lang menjalani hari-harinya yang suram seperti biasanya. Beberapa bulan setelah pertemuannya dengan nenek misterius itu hidupnya tetap saja mengalami kesialan, kecuali sesekali dia mendapatkan kiriman makanan enak.

Sejak pertama mendapatkan makanan, dia tidak pernah lagi memikirkan apakah itu beracun atau tidak.

Pokoknya, mati kekenyangan lebih baik daripada mati kelaparan.

"Kau hidup sial. Dilahirkan saja sudah syukur, lalu apa yang kau harapkan?" kata Lang pada dirinya sendiri.

Benar saja, ucapannya menjadi kenyataan, hidupnya memang sial. Masih sibuk makan, ayahnya datang dan mendobrak pintu dengan kakinya yang kuat dan besar.

Qin Lang terkejut dan langsung berdiri. Mulutnya masih terisi makanan dan tidak berani bergerak atau mengunyah makanan itu.

"Oh, jadi ini yang membuatmu tidak menyetor uang dalam jumlah banyak? Kau memboroskannya untuk makanan mewah sialan ini?"

Ayahnya berteriak dan mencekik lehernya.

Qin Lang terbatuk-batuk dan semua makanan dalam mulutnya dimuntahkan begitu saja mengenai wajah ayahnya.

Tuan Qin semakin emosi akibat perbuatan kurang ajar itu.

"Kau memang anak tidak berguna, tidak tahu sopan santun dan sekarang kau berani berbuat seperti ini? Apa yang kau pikirkan, huh? Apa kau berpikir bisa menipuku? Serahkan uangmu!"

Tubuh Lang mendadak lemas karena terkejut dan cengkraman tangan ayahnya sangat kuat, sama sekali tidak seimbang dengan tubuh kecil, lemah dan kurus miliknya.

Dengan gerakan gontai dia mengambil uang dari sakunya.

"Ini," ucapnya dengan suara tercekat.

"Hanya ini? Bagus kau berani membeli makanan!"

Lelaki itu mendorong tubuh Lang dan membuatnya jatuh tepat di pojokan ruangan berukuran empat kali lima itu.

"Aku tidak membelinya, seseorang mengirimkan makanan itu. Dia seorang perempuan tua," ucap Lang mencoba menjelaskan.

Akan tetapi, apa gunanya? Apakah ayahnya akan percaya? Apa ayahnya peduli?

Ah, barangkali penjelasannya barusan hanya menambah derita dalam hidupnya.

"Hahaha, kau kira aku ini apa? Aku percaya dongeng? Bermipilah kau sesukamu. Dan kalau suatu saat mimpimu itu membunuhmu, jangan salahkan siapa-siapa," ucap lelaki itu mengejek anaknya.

Lan hanya terdiam, memeluk kedua lututnya dengan kuat, seolah dia sedang memeluk dirinya sendiri, karena tidak akan ada yang mau memeluknya seperti itu.

"Kalau kau tidak ingin bicara lagi, aku pergi. Jangan lupakan kewajibanmu. Dan tolong katakan pada nenek ajaib sialanmu itu. Lain kali jangan kirimkan makanan, kirim uang saja dan berikan padaku. Kalau kau tidak berguna lagi, aku akan menjualmu," ucap lelaki itu dengan kasar.

Qin Lang menangis.

"Ayah, jangan jual aku," ucapnya dengan penuh harapan.

Dia memohon agar ayahnya tidak menjualnya, bagaimanapun juga dia tidak tahu bagaimana dunia luar dan mungkin itu bisa saja lebih kejam dari sekedar ayahnya yang pemabuk ini.

"Bagus, kau masih memanggil aku ayah. Sebagai anak kau harus berbakti," ucap lelaki itu dengan kasar.

Qin Lang mengangguk dan terus menyakini kalau dirinya memang harus berbakti. Entah apa alasan ayahnya menjadi seperti itu, yang pasti dia tetap menyayangi lelaki itu. Hanya lelaki ganas itu yang dia miliki saat ini selain tubuhnya yang malang.

Sepeninggal ayahnya, dia menatap makanan enak yang sudah berhamburan di lantai karena ditendang oleh kaki besar ayahnya.

"Lain kali, kau tidak perlu lagi mengirimkan makanan. Lihat semua jadi bencana. Kirimkan saja aku racun yang bisa membuatku mati tanpa rasa sakit," ucap Lang sambil membereskan rumah kecil rewot yang kini berantakan.

Lang masih terus menangis, tetapi apa gunanya? Apakah ada yang melihat atau memperhatikan dia? Tidak ada!

Apa gunanya menangis tanpa mendapatkan belas kasihan?

Dia berhenti menangis dan tidur, esok hari dia harus kembali bekerja. Tubuhnya butuh istirahat.

Bangun subuh, dia harus mengangkat beberapa air agar mendapatkan uang dari tetangga.

Semua orang sudah tahu bagaimana Lang dan nasibnya. Mereka memanfaatkan dirinya dengan menyuruhnya bekerja lalu dibayar dengan lebih murah.

Bagaimanapun juga, Lang tidak akan menolak. Dia hanya butuh dipekerjakan dan mendapatkan uang demi ayahnya.

🌸🌸🌸

Jauh dari cerita kepedihan itu, di istana sedang dihebohkan karena sang putri tidak mau merayakan ulang tahunnya dan malah sibuk berlatih pedang.

Sudah beberapa jam pelayan mencoba membujuknya. Bahkan, ibunya selir kesayangan raja tidak berhasil membuat si putri nakal bertobat atau setidaknya mau menghadiri acara perayaan.

"Fei er, apa yang kau lakukan?" tanya kaisar baru saja datang karena sudah bosan menunggu.

Fei menghentikan latihannya dan menatap ayahnya.

"Ayah, lawan aku. Kalau aku kalah, aku akan hadir perayaan," tantang sang Putri.

Ayahnya tersenyum dan mengangguk setuju. Seluruh yang hadir sangat khawatir dengan pertandingan aneh itu.

Siapa yang berani menantang raja? Bukankah itu sama dengan bunuh diri?

"Yang Mulia, kumohon jangan turuti dia," kata ibunya Fei sambil terus berlutut.

Kaisar melepaskan pakaiannya dan menyisakan pakaian tipis putih dan bersiap bertanding pedang dengan putrinya.

"Ayo, maju," perintah sang raja.

Kedua ayah dan anak itu bertanding beberapa saat. Sebenarnya, permainan pedang sang Putri tak sebagus itu. Belum cukup bagus. Hanya saja, kaisar sengaja hanya bertahan dan menangkis tidak pernah menyerang.

"Ayo, kerahkan kekuatan dan kemampuanmu!" teriak kaisar memberikan semangat pada Fei.

Fei semakin bersemangat dan bergerak dengan cepat. Hampir saja pedangnya mengenai kaisar dan untung saja dengan cepat lelaki tua itu menghindar.

Jika tidak, bisa dipastikan Fei akan ikut dihukum mati menyusul ayahnya.

Setelah merasa cukup, kaisar melakukan beberapa gerakan cepat tanpa menyakiti untuk melucuti pedang Fei.

"Aaaahhh!" teriak Fei terjatuh dan pedangnya sudah lepas dari tangannya.

Dengan gerakan cepat, kaisar menangkap tubuh anaknya dan memeluknya dengan erat.

"Lain kali kau harus hati-hati dan berlatih lebih baik," ucap kaisar.

Feri tersenyum manis dan mencium pipi ayahnya. Sebenarnya, tindakan itu tidak lazim, tetapi karena kaisar sendiri tidak memprotes semua hanya bisa memalingkan wajahnya pasrah.

"Aku tahu, Ayahanda akan menangkapku, makanya aku tidak takut," ucap Fei dengan bangga.

Pada kondisi seperti itu dia masih bisa sombong, untuk saja kaisar menganggapnya sebagai pujian dan kepercayaan seorang anak pada ayahnya.

"Seperti janjmu, kau akan hadir. Bersiaplah dan jangan buat ayahmu yang malang ini malu," bisik kaisar pada putri kecilnya.

Feri terkikik senang. Dia turun dan berlari dari gendongan ayahnya.

"Kalian bereskan aku," teriak Fei dengan suara kecilnya sebelum menghilang dari pandangan semua orang memasuki ruangan pribadinya.

Beberapa saat kemudian, semua orang sudah bersiap di aula perjamuan dan putri cantik yang nakal itu hadir dengan pakaian kebesarannya.

Kalau sedang berdandan seperti itu, orang tidak akan menyadari kalau dia hanyalah gadis nakal yang tidak patuh aturan.

"Putriku sudah besar," ucap kaisar membuat ibu Fei ikut tersenyum senang.

Dia tidak pernah menyangka bahwa melahirkan anak perempuan bisa menjadi berkah dibandingkan mendapatkan pangeran mahkota.

"Karena semua sudah di sini, mari kita bersulang untuk umur panjang dan kebahagiaan sang Putri," ucap pelayan kaisar.

Semua patuh dan meminum teh perjamuan dengan sopan.

Dua kehidupan yang satu sangat malang dan satunya begitu penuh keceriaan dan kesenangan. Kadangkala, hidup memang bisa sekontras itu.

Next chapter