webnovel

Spesies Gay?

"Selamat malam, Pak Tampan. Kok belum pulang sih?" Senyum megar dan suara yang sudah khas hampir setiap harinya mengganggu kehidupan Kenzie saat pulang ataupun jam istirahat kerja.

Siapa lagi kalau bukan Selvi Yuniar. Salah satu staf Head DC (Desk Collection)—pemilik paras paling gemulai, kulit cerah, kenyal dan wajah bening bercahaya seperti iklan 'body lotion'.

"Pak Tampan ... pulang, yuk." Tanpa permisi, gadis itu duduk di atas meja kerja Kenzie begitu saja.

Kenzie hanya berdecih. Buru-buru mematikan laptop dan komputernya lantas keluar dari ruangan.

"Iiih ... kok Selvi ditinggal sih." Selvi berdecak sebal dan menghentakkan kakinya beberapa kali di atas lantai.

Ara yang melihat kejadian itu menggeleng kepala. Bibirnya berkedut menahan tawa. Sudah hal yang biasa menjadi tontonan beberapa bulan terakhir ini—ketika Selvi pindah dari Cabang Tangerang ke DKI. Hampir setiap hari menempel Kenzie terus. Tetapi Kenzie sama sekali tidak tertarik dengan gadis itu. Selvi memang cantik, bahkan paling cantik di antara staf wanita di perusahaan ini. Jika dibandingkan dengan Ara, mungkin perbandingannya 11 untuk Ara dan 12 untuk Selvi.

Namun yang membedakan, sikap Selvi terlalu berlebihan. Kenzie sudah mengetahui jauh-jauh hari tentang wanita centil itu. Dia mendekati lelaki yang memiliki jabatan tinggi di perusahaan. Visinya; bisa dipromosikan dan naik jabatan dengan cepat. Misinya; menguras habis uang dari lelaki yang berhasil didekati. Kenyataannya; itu semua tidak akan berhasil di hadapan seorang Reinaldo Kenzie Abizar.

"Selvi pengin pulang sama Pak Tampan." Ia berjalan cepat menyusul Kenzie yang sudah memasuki lift.

"Wah, kita berdua sekarang di dalam lift. Selvi pejam mata deh, pura-pura enggak tahu apa yang dilakuin sama Pak Tampan."

"Geser otak lo, mesum terus pikirannya!" ketus Kenzie.

Gadis itu menoleh ke arah Kenzie. Semakin mendekat dan sangat dekat.

Kenzie menelan salivanya amat berat. "Lo mau ngapain sih!"

Senyum gadis itu semakin merekah ketika tatapannya hanya berjarak beberapa senti dengan wajah Kenzie. "Selvi cuma ingin lihat wajah Pak Kenzie dari dekat. Ternyata benar, ganteng banget," decaknya kagum dengan mata berbinar.

Kenzie menghela napas panjang. Ia lebih memilih tidak menghiraukan gadis gila di sampingnya itu. Sejurus kemudian, mereka telah sampai pada lantai paling bawah. Pintu lift terbuka, keduanya terkesiap begitu melihat di depan pintu lift sudah ada Bapak BM–Erman Chris–sudah berlipat tangan di atas dada.

"Bagus ya, kerjamu baru 1 tahun jadi Section Head sudah kayak begini," ujar Erman, yang sudah jelas tertuju kepada Kenzie.

"Kayak begini bagaimana maksud Anda? Bukannya Pak Erman juga baru 6 bulan kemarin naik Branch Manager, ya?"

Ucapan Kenzie justru membuat Erman semakin tersulut emosi. "Berani lawan ucapan saya? Kamu kerja belum becus, sudah berani pacaran sama Selvi!"

Kenzie mengangkat alisnya sebelah. Menyelidiki kata-kata Erman dengan memperhatikan dilatasinya. Detik berikutnya ia menyadari alur pembahasan yang di maksud oleh Erman.

Kenzie tersenyum tengil. "Oh, jadi Pak Erman cemburu?"

"Awas kalau kamu enggak target sampai akhir bulan ini. Ingat janji kamu." Buru-buru Erman mengalihkan topik pembicaraan. Ia semakin gelagapan setelah mendengar ucapan Kenzie barusan.

"Kita lihat nanti. Semoga Pak Erman juga masih ingat dengan perjanjiannya," jawab Kenzie tanpa ekspresi.

"Oke, kita lihat nanti."

Mata Erman tak henti-hentinya memandang gadis 'body lotion' itu. Ia menelan saliva ketika matanya menjelajahi tubuh sang gadis. Pandangannya menyapu kaki, tubuh, lalu berhenti tepat di wajahnya. Kerongkongannya terasa sangat haus dan ingin segera menyelam dalam kolam kesejukan tiada tara.

"Selvi, kamu pulang sama saya, ya," ajak Erman.

"Eeeh ... anu, Pak. Saya, sama Pak Kenzie mau ... anu ...."

"Sudah, jangan anu, anu. Nanti saya ajak makan ke restoran paling anu di sini dan belanja di tempat paling anu."

Selvi mengernyit, "Maksudnya bagaimana ya, Pak?"

Erman mendeham. "Ya, maksudnya restoran paling enak sama belanja di mal paling besar di sini."

Mata Selvi membulat sempurna mendengar itu. "Asiiik ... iya deh, Selvi mau. Dadaaa, Pak Kenzie."

Tanpa tedeng aling-aling, Erman tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tangan Selvi segera ditarik olehnya dan lalu digamit keluar dari halaman gedung kantor.

Cih. Drama yang menarik. Semoga istri lo di rumah selalu sabar, batin Kenzie menggeleng heran melihat tingkah bosnya.

"Mau makan malam, Pak Tampan?"

Kenzie terkesiap untuk yang kedua kalinya, mendengar panggilan dari balik punggungnya. Ternyata itu Ayara yang baru saja keluar dari lift.

"Udah gue bilang. Jangan panggil dengan sebutan itu," pinta Kenzie memelas.

"Kenapa, sih. Emang lo paling ganteng kok di sini. Untung aja kita sahabatan. Kalau enggak ...." Kedua sudut bibir Ara mengembang. Namun detik berikutnya bibirnya kembali cemberut. "Kok, elo enggak tanya sih?"

"Tanya apa?"

"Ya, tanya dong, kalau enggak, gue bakal gimana ke elo."

"Kalau enggak, gue bakal gimana ke elo?" tanya Kenzie mengulangi ucapan Ara.

Ara mendengkus kesal. "Kalau lo yang tanya, harusnya pertanyaannya jadi begini ...." Ia mencontohkan agar pria di depannya itu benar-benar paham. "Kalau enggak, lo bakal gimana ke gue? Gitu," jelasnya.

Kenzie manggut-manggut mengerti. "Oke, oke. Kita ulangi lagi."

"Udah ah, males gue. Emang bener, lo kayak Batu berjalan, dingin kayak Gunung Es!" Ara melangkah cepat keluar dari gedung kantor.

Kenzie kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lo jadi makan, nggak?" Ia ikut mempercepat langkahnya, mensejajarkan dengan langkah Ara.

"Hmm," jawab Ara singkat.

"Oke, tunggu. Gue ambil mobil di parkiran."

-oOo-

Mereka berdua menuju tempat makan yang sederhana. Hanya di pinggiran kota. Bukan tidak mampu untuk pergi ke restoran, tetapi warung sederhana itu sudah menjadi langganan tempat Kenzie dan Ara makan malam.

"Ken ...," panggil Ara memecah hening.

"Hmm."

"Lo enggak ada pikiran buat married?"

Uhukk uhukk!!

Kenzie mengakhiri makan malamnya. Ia cepat-cepat mengambil minum karena tersedak mendengar pertanyaan dari Ara.

"Kenapa tiba-tiba lo tanya gitu?" tanya Kenzie sembari mengusap mulutnya dengan tisu.

"Lo udah mapan banget. Karir bagus. Tabungan udah ada. Umur udah pas, lah. Fisik? Selama gue kenal sama lo, cewek mana yang enggak tergila-gila sama wajah elo?" jelas Ara panjang lebar.

Kenzie mendengarkan dengan khidmat, sembari melihat satu-dua motor yang lewat.

"Apa lagi yang lo cari?" imbuh Ara.

Kenzie terdiam lama. Cukup lama.

"Ken?"

"Hmm," jawab Kenzie singkat. Ia mengambil minuman yang ada di atas meja dan menghabiskannya.

"Lo bukan spesies gay, 'kan?"

Byooorrr!

Ara tertawa lepas melihat ekspresi Kenzie memuntahkan air minumnya. Apalagi dengan tatapan nyalang seperti itu, membuat pria itu terlihat lucu.

"Gila lo! Enggak, lah," ketus Kenzie.

Ara masih tertawa sambil mengusap bulir air bening pada bagian ekor matanya. "Abisnya selama dua tahun ini, gue enggak pernah tau lo kencan sama cewek. Lo tolak terus mereka."

Kenzie hanya diam. Ia fokus menyeka air yang telah dimuntahkan di atas meja. Sebentar kemudian ia menyunggingkan senyuman aneh.

"Lo pengen bukti kalau gue bukan gay?"

Ara hanya mengerlingkan matanya, karena sedang minum es teh yang tinggal separuh gelas. Kenzie mendekati telinga Ara dan membisikkan sesuatu. Detik berikutnya, Ara yang ganti terperanjat dan tersedak karena mendengar perkataan Kenzie.

"Gila lo! Enggak mau gue!" bentak Ara kesal.

Kenzie tertawa puas penuh kemenangan. "Makanya, jangan asal ngomong mulut lo."

"Udah ah, anterin gue pulang sekarang." Ara malu dan canggung mendengar ucapan Kenzie barusan.

Next chapter