1 Bersama Si Asing

Di ujung perempatan sepi itu berdiri seorang pria dengan topi bundar dan jas hitam, tak lama ia berdiri di sana sambil menghisap cerutunya di tengah malam yang dingin.

Sedangkan ada seorang pria lain dengan kaos kutang merokok di halte bus tepat di seberang pria berjas tadi berdiri, pria itu sudah berumur namun masih merokok bahkan berbatang- batang layaknya rokok itu memberikan kehangatan baginya di tengah malam begini tanpa baju berlengan.

Kulihat jam tanganku, pukul 1 dini hari tinggal beberapa menit lagi menuju setengah dua.

Sebenarnya ingin kakiku menendang lampu lalu lintas tempat aku bersandar di perempatan ini, dari jam 10 malam aku menunggu di halte bus menolak semua bus yang ada demi dijemput oleh Sam namun dia tak kunjung datang.

Padahal aku mulai kedinginan di sini, tanpa jaket atau baju hangat. Entahlah kenapa aku tidak suka memakai jaket.

Aku baru pulang dari Darshell selepas pekerjaan selesai, hanya sebagai reporter terkadang juga menjadi Myth Hunter di media internet.

Akhir-akhir ini aku sibuk pindah-pindah tugas karena stasiun berita kami kekurangan jurnalis jadinya aku rela menarik dua atau lebih pekerjaan sekaligus yang pasti bayarannya ganda juga.

Namun aku sudah terbiasa dengan pekerjaan banyak kecuali jika aku terjebak saat seperti ini, menunggu lama ditemani orang asing ditempat sepi.

Dua pria itu masih ditempat masing-masing entahlah mereka menunggu apa atau siapa.

Aku mencoba menghubungi Sam lagi dengan ponselku namun yang berbunyi hanyalah nada tunggu kemudian sambungan terputus.

Menjengkelkan, karena kesal aku bosan berdiri seperti orang bodoh di perempatan itu dan menuju halte bus untuk melenturkan kakiku.

Aku tidak ingin duduk dengan pria perokok itu dan menjaga jarak agak berjauhan dengannya.

Canggung, pria tua itu membuang rokoknya ke bawah dan menginjaknya.

"Kamu tunggu siapa, nak?" tanya pria tua itu membuatku sedikit terkejut.

"Uhm... Sepupuku namanya Sam rencananya akan datang kesini menjemputku"

"Dia tidak menjemputmu?" aku hanya membalas pertanyaan pria tua itu dengan anggukan pelan.

"Kamu di luar selarut ini bisa berbahaya, mengapa tidak ikut bus saja?"

"Aku mencoba menunggu sepupuku siapa tahu dia datang nanti, kalau aku pergi naik bus dan dia datang kesini mencariku tidak ketemu nanti jadi masalahkan?"

Pria tua itu menjeda pembicaraan kami dengan membakar satu batang rokok dengan koreknya, entah apa enaknya menghisap benda itu.

"Yah, kamu berakhir buruk jugakan? Kamu menguras waktu dan tenaga, ada banyak bus lewat sebelum tengah malam dan kamu biarkan saja kesempatan naik bus hilang dan sepupumu yang tidak bertanggung jawab itu tidak datang" pria itu menghisap rokoknya dan menghembuskan asap yang berkepul-kepul dari mulutnya.

"Kamu rugi banyak, nak" lanjutnya.

Aku diam saja, apa mau pria ini? Kok aku merasa dinasihati.

Canggung lagi, pria tua itu berdiri dan pergi entah kemana aku tidak urus karena aku lebih suka menyendiri.

Selanjutnya malahan pria bertopi bundar di seberang jalan mampir ke halte bus dan duduk di tempat pria tua sebelumnya duduk.

"Sepi yah, kenapa kamu masih disini?" tanyanya namun aku diam saja.

"Pasti tidak dapat jemputan benarkan? Begitu juga aku, mau mampir ke penginapan dompetku hilang entah dimana untungnya itu bukan dompet berisi banyak uang jadinya aku bermalam disini sampai bus besok oh ya kenapa kamu tidak ke penginapan?" pria itu duduk santai dan melepaskan topinya lalu menghisap cerutunya lagi.

"Aku tidak ingin menghabiskan uangku hanya untuk satu malam... Seharusnya aku jalan kaki dari tadi..." aku berdiri hendak meninggalkan halte bus itu, aku tahu hal yang kulakukan tidak sopan namun aku tidak suka berbicara dengan orang asing lama-lama ditempat sepi.

"Hei jangan pergi dulu, aku ingin bertanya satu hal... Kamu seorang reporterkan?" dia mengenaliku? Ah itu biasa, aku memang sering muncul di televisi.

"Yap, ada apa?" pria itu berdiri dan merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kamera.

"Aku punya rekaman berita terunggul dan terhits untuk berpuluh-puluh tahun ke depan..." mendengar perkataannya aku tidak percaya namun dia tetap memaksaku untuk melihat apa isi rekamannya.

Aku menyerah dan kembali ke halte bus dan melihat apa isi rekaman itu yang ternyata hanya rekaman film fiksi.

"Benarkah? Kamu hanya memperlihat kan hal ini kepadaku? Maaf namun itu tidak nyata dan tidak masuk dalam daftar berita kami karena itu hanya film fiksi, tuan... " aku berusaha sopan dan sabar namun seketika tanganku ditarik nya kuat lalu dengan cepat dia mendekatkan kamera itu ke wajahku.

"Lihatlah! Lihat, Ini keajaiban dunia baru... Bayinya berkembang dan para remaja makin kuat sedangkan yang tua berevolusi... Ini nyata! Ini berita dan aku menjualnya kepadamu dengan harga 10.000 dolar aku memaksa!!!"

Aku terkejut sekaligus panik dengan apa yang dilakukan pria ini karena tempat ini sepi sekali hanya ada kami berdua yang berada disini sepertinya, sampai dia macam-macam awas saja.

"Gah, lepaskan sialan apa gunanya aku membeli potongan film fiksi dengan harga semahal itu lagipula aku tidak punya uang sebanyak itu!" seketika pria itu menyimpan kameranya dan mengunci leherku dengan lengan kirinya lalu mengeluarkan pistol.

"Hei, hei! Jangan lakukan itu idiot!" pekikku seraya memberontak seperti cacing kepanasan.

"Ini berita berharga, ini kejadian nyata... Kejadian di Route 77 dan di sana ada bunker bawah tanah yang besar, di dalamnya banyak makhluk percobaan ini! Aku sendiri yang merekamnya!!! Ini bukan fiksi, Hugh..." seketika pria itu melepaskanku dan meringkuk di tanah sambil mengerang pelan.

" A-Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja?" aku mulai merasa tidak enak dan merinding, seketika pria itu berdiri dan lalu mengambil kameranya dan memberikannya padaku.

" Beritakan ini kumohon, kumohon... Aku sudah berjuang setidaknya inilah harapan terakhir dunia nasional maupun internasional mempersiapkan masa mendatang... Mereka adalah mayat hidup! Zombie!!!" pekik pria itu sambil bergerak tidak beraturan. Gelisah.

"Aku-aku tidak tahu karena aku hanya seorang reporter bukannya-"

"Diam! Beritakan lewat mana saja, Internet atau majalah atau mulut ke mulut... Tolong nona dan aku akan berikan gratis saja bagaimana?" pria itu terlalu memohon namun aku bukan orang yang percaya begitu saja siapa tahu rekaman ini untuk menjebak seseorang atau suatu organisasi.

"Aku tidak percaya berita tanpa perincian tepat, bisa saja ini hoax"

Pria itu menggeram sambil menendang kursi panjang di halte bus berkali-kali, aku tahu aku membuatnya kesal namun ini memang harus di verifikasi terlebih dahulu.

"Goblok! Ini nyata, sudah kubilang aku merekamnya sendiri apakah tingkah keputusasaanku ini tidak meyakinkan!? Kamu bisa melihat perinciannya di video itu... Aku huh hugh..." pria itu terjatuh lagi dan batuk-batuk.

Perlahan aku membantunya berdiri, entah kenapa aku membantunya padahal barusan dia menodongi aku pistol.

"Kenapa aku kesini, kenapa aku tidak langsung pergi jauh saja? Karena aku ingin menyelamatkan bumi sebelum aku mati!!!" pria itu semakin aneh, perlahan aku melangkah mundur bersiao untuk kabur.

Seketika dia menarik lenganku lagi membuatku menjerit singkat.

"Pistol ini bawa saja, juga kameranya jaga dan beritakan! Mungkin kamu ingin bertanya hal ini dan itu namun aku tidak ada waktu!"

Aku angkat tangan saja karena pria itu benar-benar mendesakku, masih ada banyak pertanyaan tersirat di otakku namun entah kenapa aku tidak bisa bicara.

Seketika pria itu kabur dari hadapanku tanpa menjelaskan masalah ini lebih panjang lagi.

"Hei kamu kemana!? Masalah ini belum selesai!"

Aku tak tanggung-tanggung berusaha mengejarnya, aku butuh sesuatu yang jelas sebelum dilakukan dan aku tidak bisa menerima apapun yang pria itu percayakan padaku, kamera? Bukti? Pistol?

Aku bingung...

avataravatar
Next chapter