4 Masih manis

"GAK USAH NGAKU-NGAKU LO!"

"APA?! GUA UDA PACARAN SAMA DIA 1 BULAN."

"HALAH 1 BULAN AJA BANGGA! DASAR CABE!"

"NGACA! YANG CABE ITU–"

"HEY APA INI CABE-CABE? EMANG KALIAN MAU BIKIN SAMBEL?" teriak seorang pria berkacamata hitam dengan berkacak pinggang. Ia membalikkan badannya menatap kerumunan yang terjadi sejak 10 menit yang lalu.

"INI JUGA, MALAH PADA NONTONIN! BUBAR!"

Dengan malas mereka menuruti ucapan pria tersebut. Lambat laun keadaan kantin pun sepi.

"Ikut saya ke ruang BK!"

~~~

Michaella menghentikan langkahnya di depan pintu kantin ketika melihat seorang guru yang sedang menceramahi dua siswi yang saling menatap sengit di kedua sisinya. Netranya pun menangkap beberapa orang yang ia kenal berjalan di belakang mereka.

"Ikut, yuk!" Allya menarik tangan Michaella.

"Kemana?"

"Nontonin Pak Bams marah-marah. Oh iya, nih tas makan kamu."

"Eh, thankyou. Emang gapapa?"

"Gakpapa. Kita sering kok," kekeh Allya.

Mereka mulai memasuki ruang BK. Pak Bams menarik kursi lalu mendudukinya. Ia menatap bosan dua siswi yang berdiri di seberang mejanya.

"Dave, tuangin saya air!" Dave mengangguk dan mulai melaksanakan perintah Pak Bams.

"Kagendra lagi?"

Dua siswi itu mengangguk pelan.

"Mereka pacar kamu yang ke berapa Kagendra? Ini kasus ketiga dalam seming– HEY APA INI?!" teriak Pak Bams ketika merasakan basah dan dingin dari atas kepalanya. Ia menoleh ke belakang, menangkap basah Dave yang sedang menuangkan air di atas kepalanya.

"DAVID! KURANG AJAR KAMU!"

"Kok saya, pak? Kan bapak sendiri yang minta dituangin air. Saya gak salah dong."

Pria itu berpikir sejenak. "Bener juga, sih. TAPI TETEP AJA! KAMU SALAH! GAK SOPAN!"

Dave meletakkan gelas yang masih terisi air seperempatnya di atas meja. "Bodo. Pokoknya tetep bapak yang salah."

Pak Bams menggeram kesal. Pria itu mencoba untuk bersabar. Tarik napas, buang. Begitu seterusnya sampai ia mulai tenang. Tangannya meraih gelas di sampingnya.

"Pak!" seru Dave ketika mulut gelas itu sudah menyentuh bibir Pak Bams.

"Apalagi Dave? Saya mau minum dulu, abis itu baru kamu ngomong." Air di gelas bewarna putih itu habis dalam satu tegukan. Pak Bams membereskan kemejanya lalu memperbaiki posisi duduknya.

"Iya, Dave tadi mau ngomong apa?"

Dave tidak langsung menjawab. Ia melirik sahabat-sahabatnya.

"Ituairkeran." jawab Dave cepat.

"Apa Dave? Ulangi perlahan."

"I TU A IR KE RAN."

Hening.

"DAVID GEOVANO WIJAYA! DEMI TUHAN SAYA BISA MATI MUDA KALO TIAP HARI MENGHADAPI TINGKAH KALIAN YANG GAK ADA HABISNYA INI!"

Dengan sigap Allya mengambil gelas di rak dan mengisinya dengan air dispenser lalu menyodorkannya kepada Pak Bams.

"Sabar pak sabar. Ini minum dulu." Pak Bams meraih gelas itu dan langsung meminumnya hingga kandas.

"Ok, saya lanjutkan. Itu yang di belakang! Badan tinggi semampai bukannya duduk, malah rasanya jadi saya yang diinterogasi sama kalian."

"Yes, duduk. Dari ta–"

"Kecuali kamu Kagendra. Dan dua pacar kamu ini." 

Kagendra berdecak sebal ketika melihat sahabat-sahabatnya duduk di sofa yang empuk sedangkan dia harus tetap berdiri.

"A–"

"Pak, bagi kuenya, ya." Babas memotong ucapan Pak Bams, membuat guru itu memejamkan matanya mencoba untuk selalu bersabar.

"Ambil Bas! Ambil semuanya, bawa ke kelas sekalian."

"Siap." Langit ikut membantu Babas mengambil beberapa toples berisi kue kering dan wafer lalu membagikannya kepada sahabatnya yang duduk di sofa.

"Apa lagi alasan kamu memacari dua perempuan sekaligus, Gendra?"

"Nggak sekaligus kok, pak. Itu yang rambut pendek baru saya pacarin 4 hari, kalo yang pake jedai udah 1 bulan yang lalu. Seperti yang saya sering bilang, pesona saya emang gak ada obatnya, pak. Bawaan nama juga, sih. Coba bapak search aja di google arti nama saya."

"Yang mana?" Pak Bams menyodorkan ponselnya dengan dengan layar yang menampilkan pencarian google.

"Ini, pak. Kagendra, raja burung."

Salah satu dari kedua siswi itu terkikik.

"Kenapa kamu? Oh! Pikiran kamu, ya!"

"Kenapa, pak? Emang bener kok. Bapak mau liat?" tanya Kagendra sembari menyentuh ikat pinggangnya.

"KAGENDRA! SUDAH, BAPAK PUSING! KELUAR! KEMBALI KE KELAS MASING-MASING!"

"Asikk," girang Kagendra.

Ziel, Allya, Michaella, dan Langit mengumpulkan toples-toples kue kepada Dave dan Babas. Dua pemuda itu mendekap dua tumpukan toples dalam dekapannya lalu mulai berjalan menuju pintu ruang BK, meninggalkan Pak Bams yang sedang menunduk memijat pangkal hidungnya.

"Makasih kuenya, Pak!" seru Babas sebelum hilang di balik pintu.

Pak Bams tercengang. Mereka benar-benar membawa semua stok konsumsi di ruang BK. Bagaimana jika guru lain bertanya mengenai keberadaan selusin toples kue itu? Apa yang harus ia jawab?

~~~

Sudah dua puluh menit sejak gadis itu hanya diam di depan pagar bewarna putih. Tangannya berulang kali terangkat hendak memencet bel namun diurungkannya.

Ia membalikkan badannya. Menatap bangunan bertingkat tiga bewarna putih di depannya. Tempatnya tinggal 10 tahun yang lalu. Orangtuanya menjual rumah itu saat mereka harus pergi dan menetap di luar negri, dan pastinya rumah itu sudah di tempati oleh orang lain. Terbukti dengan beberapa perubahan dan bangunan yang terlihat bersih dan terawat.

Suara dua orang yang sedang berdebat terdengar samar masuk ke telinga gadis itu. Ia berbalik, kembali menghadap pagar putih itu. Matanya berseri mendengar dua suara orang yang masih ia kenal dengan baik sampai sekarang.

"Gak, Alister. Kamu ikut!"

"Ih, c'mon Madam Rosa yang cantik dan baik hati. Biarkan anakmu yang ganteng ini tinggal di rumah."

Suara itu semakin mendekat disusul bunyi pintu yang terbuka mengagetkan gadis yang berdiri di depan pagar. Ia ingin beranjak dari tempat itu, tapi tidak bisa. Ia rindu dengan mereka.

"Lagi kenapa, sih? Setiap mama minta kamu anterin ke sana gak mau?"

"Mantan pacar aku pas SMP, dia kerja jadi barista di sana. Kalo dia gr aku ke sana buat temuin dia gimana?"

"Siapa suruh kamu pacaran?! Mama kan udah bilang pacaran pas SMA aja!"

Gerbang bewarna putih itu terbuka. Menampilkan seorang wanita yang awet muda di umurnya yang sudah setengah abad dan seorang pemuda tampan dengan wajah kusut di belakangnya yang sedang memakai jam tangannya. Alister.

"Lama nih, mama. Jalan dong, ngapain diem aja?" gerutu pemuda itu.

Netra coklat wanita itu berkaca-kaca menangkap sosok nyata di hadapannya. Tangannya terangkat menangkup pipi putih gadis kesayangannya.

"Ella.. Ini bener kamu, nak?"

Michaella mengangguk. Ia menunduk menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. Rosa memeluk gadis itu erat. Putri sahabatnya yang sudah ia anggap anak sendiri sedari kecil kini kembali ke pelukannya.

Isakan yang saling bersautan membuat Alister mengalihkan perhatiannya dari arloji yang daritadi belum terpasang dengan benar. Ia mengernyit bingung. Siapa perempuan yang dipeluk mamanya? Alister hanya diam melihat interaksi keduanya sambil bersender di pintu mobil. Otaknya bekerja keras menerka siapa perempuan itu.

Michaella melirik pemuda yang lebih tua 3 tahun darinya. Pemuda itu terlihat terkejut dengan mata yang membola. Rosa melepaskan pelukan keduanya memberi gadisnya ruang untuk bergerak.

"Easter.."

Lengan Michaella melingkari pinggang Alister. Memeluk manja pemuda itu. Alister terdiam, mencoba mencerna apa yang terjadi.

Michaella. Sahabat adiknya. Pergi 10 tahun yang lalu. Sekarang datang. Memeluknya.

~~~

"Makan yang banyak, ya." Rosa menyendok beberapa lauk lalu menaruhnya di piring Michaella.

"Kebanyakan, onty. Nanti gak abis."

"Biar gemuk. Liat tuh, sekarang kamu kurus. Kamu gak dikasih makan mommy kamu, ya?"

Kekehan kecil keluar dari mulut gadis itu. "Nggak, onty. Setelah 'itu', nafsu makan aku emang menurun."

Senyuman perlahan menghilang dari wajah wanita cantik itu. Tangannya terangkat mengelus puncak kepala Michaella.

Saat ini mereka sedang berada di salah satu mall ternama di Jakarta. Setelah lelah memutari seisi mall dan berbelanja, mereka memutuskan untuk makan malam di restaurant Jepang. Selama berbelanja, Rosa tak pernah melepaskan genggamannya dari Michaella. Wanita itu ingin selalu memastikan bahwa gadisnya memang telah kembali dan menjaganya agar tidak pergi lagi.

Jemari lentik gadis itu meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya yang telah kosong. Bersamaan dengan itu, seorang pemuda dan gadis di belakangnya menghampiri mereka.

"Lho, Cindy? Kamu di sini juga?"

Gadis berambut coklat itu tersenyum mendengar pertanyaan Rosa. "Iya, tante. Tadi Cindy ketemu Alister di Guardian."

Cindy melambaikan tangannya pada Michaella yang disambut senyum hangat gadis itu.

"Ooo. Ayo, pulang, udah hampir jam 8, nanti Ziel nyariin. Cindy mau bareng?" tanya Rosa.

"Nggak perlu, tante. Aku bareng temen." Cindy menunjuk ke meja dekat pintu masuk yang berisikan 3 orang.

"Ya udah. Kita pulang dulu, ya. Have fun, Cin."

Tanpa di suruh Alister segera mengambil alih beberapa paperbag belanjaan mamanya dan Michaella. Sudah biasa ia disuruh sebagai tukang angkut barang jika ke mall. Bukannya rajin, tapi ia terlalu malas jika harus berdebat dengan mamanya. Pasti nanti mamanya akan mulai drama lagi. 'Mama udah tua Alister, kamu kok gitu sama mama. Kamu gak sayang sama mama?'. Mengaku sudah tua tapi giliran berdebat dengan anaknya tak mau kalah.

30 menit berlalu, mobil sedan bewarna hitam itu berhenti tepat di depan pagar bewarna putih. Suara klakson Alister bunyikan beberapa kali hingga pagar itu dibuka oleh pembantu berusia sekitar 30an. Alister memarkirkan mobilnya di garasi rumah bertingkat tiga itu.

Rosa dan Michaella masuk ke dalam rumah mendului Alister yang sedang mengambil belanjaan mereka di bagasi mobil. Rosa menaruh box berisi dessert di atas meja makan lalu menuju ke atas untuk berganti baju.

"Ziel belum pulang, Ter?" tanya Michaella pada Alister yang sedang mencuci tangannya di wastafel.

"Eh, iya juga. Motornya gak ada di garasi. Lagi pacaran kali," celetuk Alister.

"Pacaran?"

"Iya. Sama tetangga seberang yang nempatin rumah kamu sekarang. Siapa itu namanya? Ayay? Ayla? Alay–"

"Allya."

"Nah, iya itu. Kayaknya sih pacaran, soalnya mereka deket. Kayak kamu sama Ziel dulu."

"Ooo." Jadi rumah itu sekarang Allya yang menempatinya. Rasa cemburu terbesit di hati Michaella. Apalagi dengan ucapan Alister bahwa mereka dekat. Apa mereka benar berpacaran? Apa itu berarti tidak ada lagi kesempatan untuknya bersama Bian? Tapi ia bersyukur, setidaknya ada Allya yang dapat menghibur Bian di saat kepergiannya dulu.

"Easter pergi dulu, ya. Mau nongkrong. Mama bentar lagi juga turun." Alister mengusap pundak Michaella lalu berjalan menuju tangga ke lantai 1. "Glad to see you again, Ella," ucap pemuda itu sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Easter. Panggilan dari Michaella untuk Alister. Kenapa Easter? Karena pertemuan pertama mereka terjadi di masa paskah. Selain lebih singkat, pengucapannya juga tidak berbeda dengan nama aslinya jika 'Al' dihilangkan.

Langkah kakinya membawa Michaella menuju meja yang di atasnya berisi bingkai-bingkai foto keluarga Keenan. Mulai dari foto pernikahan, foto keluarga, dan foto pertumbuhan kedua anak laki-laki keluarga Keenan dari bayi hingga sekarang.

Suara deru motor yang mendekat mengalihkan perhatikan Michaella. Ia beranjak menuju balkon. Indra penglihatannya menangkap seorang perempuan yang baru turun dari motor ninja bewarna hitam yang dikendarai seseorang yang sangat ia kenal.

Netra hitamnya terus memperhatikan interaksi keduanya dari balkon yang berada di lantai 2. Gadis itu melepas helmnya, membuat beberapa rambut terangkat dan berantakan. Pemuda itu dengan sigap merapikannya dan mengambil helm yang gadis itu sodorkan. Si gadis melambaikan tangannya sebelum membuka pintu kecil di gerbang dan hilang di dalamnya.

Michaella tersenyum ketika melihat pemuda itu tersenyum. Senyumnya masih sangat manis seperti dulu dan err sedikit menggoda.

'Seperti kutipan yang pernah ku baca di internet; aku bahagia kau tersenyum, walau bukan bersama dan untuk ku.'

avataravatar
Next chapter