webnovel

Petuah Bijak Sang Nelayan

Kisah fiksi ini mengambil beberapa alur cerita, tempat dan tokoh nyata pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pesisir laut Sumatera Timur, 1923

Ini adalah kisah tak biasa tentang suatu malam tanpa bulan. Saat bumi Melayu merana berselimut hitam, padahal angkasa merona berhias bintang.

Cerita ini bermula dari kenangan lama di atas biduk. Saat nelayan tua membawa cucunya yang masih belia menghabiskan waktu malam di tengah laut, agar kelak ia kuat melalui aral melintang.

Bukannya kejam tetapi sekadar ingin memberi pesan. Saat mata belum terkatup dan bibir belum mengetam, masih ada waktu untuk membenahi kesalahan yang tak terbilang.

Sungguh berkelok Sungai Ular Secanggang, biduk tersangkut bila tak paham. Hanya gelap yang bisa dipandang, sedikit pemandu lampu minyak temaram.

Kayuh digenggam membelah air, terdengar syahdu memecah sunyi. Nelayan tua lantunkan syair, hati yang sendu bawa bernyanyi.

Tersebut sudah dalam hikayat

Laksamana Hang Tuah setia amanah

Menjunjung harkat juga martabat

Jangan Melayu buang zuriat

Senandung Nelayan tua berhenti ketika mendengar suara benturan air yang tidak seirama dengan putaran kayuhnya. Mata tuanya menyipit, berusaha menembus pekatnya pemandangan gelap yang masih mungkin terjangkau cahaya. Ia melihat garis-garis riak air yang bergerak melawan arus menuju perahunya.

Tiada rasa panik pada wajah kedua orang di atas perahu melihat buaya-buaya mendongakkan kepala di atas permukaan air. Nelayan tua hanya menepuk-nepuk air dengan kayuh pelan-pelan, buaya-buaya itu mau menjauh, seolah hanya ingin memastikan siapa yang melewati wilayah kekuasaannya.

Bocah yatim-piatu di ujung bagian depan perahu bernama Irwansyah. Ia memang biasa melihat buaya ketika berenang atau bermain sampan bersama teman-temannya di sungai, sehingga tetap duduk tenang tanpa merasa takut. ia terlihat sangat menikmati pengalaman barunya karena belum pernah pergi ke tengah laut.

Sisi sungai semakin melebar, nelayan tua mengayuh dayung kayunya lebih cepat untuk menjangkau tepi laut Selat Malaya. Gelombang ombak mulai membuat perahu terombang-ambing. Nelayan tua berdiri memandangi langit dengan saksama, setelah itu ia menegakkan layar sambil mengaturnya pada posisi yang tepat. Perahu pun melaju cepat ke tengah laut karena terhembus angin.

Nelayan tua menghampiri cucunya dan duduk di dekatnya. "Atuk(1) tengok sejak tadi, kau tak ade cakap. Risau?"

"Ape nak(2) cakap? Semue nampak gelap, Tuk," jawab Irwansyah.

Nelayan tua tersenyum. "Irwansyah! Bile kau pandang dunie serbe hitam, carilah cahaye sehingge kau dapat petunjuk." Ia menunjuk langit. "Tengoklah. Bukankah langit yang jauh tu nampak lebih jelas? Bandingkan dengan bumi tempat kite bersandar yang sekelilingnye serbe gelap. Bintang-bintang tu dapat kite buat jadi penunjuk arah."

"Tapi, Tuk, bile turun hujan, mane pule ade bintang?"

"Itulah sebabnye kite patut selalu memohon perlindungan pade Allah. Semuenye Die yang mengatur, mintelah supaye alam mau berkawan."

"Macam mane bile Allah tetap nak menurunkan hujan?"

Nelayan tua diam sejenak, kemudian tersenyum. "Sekalipun badai yang nak diturunkanNye, tak kan mungkin Tuhan salah berhitung. Bile ade orang baik yang mati terhempas badai, itu karene Tuhan merindukannye. Allah nak menghapus dose dan nak segere mengganjar amal baiknye. Itulah sebabnye kite harus jadi orang baik, biar nantinye kite tetap beruntung di akhirat, walaupun mungkin kite nampak seperti menderite di dunie."

Irwansyah belum bisa memahami kalimat-kalimat yang sarat pesan itu, tetapi nelayan tua itu memang senang menanamkan bekal kebaikan untuk cucunya sejak dini.

"Terang betul bintang yang satu tu, Tuk," ujar Irwansyah.

"Allah memang terkadang melebihkan beberape mahlukNye. Bile kite mendapat kelebihan, make kite wajib memberi manfaat yang lebih pule," jawab nelayan tua.

Angin telah mengantar perahu ke tempat yang diinginkan. Nelayan tua mulai menebar jala. Irwansyah berdiri memandangi titik-titik cahaya di kejauhan yang tampak sangat indah, bak kunang-kunang yang saling berjauhan menghiasi kegelapan.

"Ape tu, Tuk?" tanya Irwansyah.

"Oh itu, cahaye lampu minyak dari perahu-perahu macam kite ni, lah," sahut nelayan tua.

Kemudian Irwansyah memandangi titik-titik cahaya yang berjajar memanjang pada bagian laut yang lebih jauh.

"Kalau tu, perahu macam ape, Tuk?"

"Ah itu, kapal minyak punye kesultanan Langkat."

"Ape Irwan boleh naik ke perahu besar tu, Tuk?"

"Tentulah, tapi nanti." Nelayan tua menarik jala sambil tersenyum. "Atuk rase, kelak kau akan tumbuh menjadi pemude yang bergune untuk negeri Melayu. Ingatlah selalu nasehat Atuk ini, kepinding kecil disambar elang, lalu jatuh di inderagiri. Bile nasib dibawe orang, pandai-pandailah membawe diri."

Saat Nelayan tua sibuk menjala, Irwansyah ikut membantu memunguti hasil dan meletakkannya di kolong papan yang menjadi tempat ia berdiri.

Waktu berlalu. Nelayan tua memandangi langit di ujung horison sebelah timur yang perlahan menunjukkan warna biru. Ia melipat jala karena telah merasa cukup.

"Irwanysah. Bile kelak kau berade di atas, jangan lupe untuk selalu meninjau ke bawah. Tengoklah ape yang sudah kite ambil, bile kite terlalu serakah, make kite bise tenggelam."

Irwansyah mengangguk sambil memandangi kakeknya yang kini berganti memandangi langit.

"Begitu pule bile kau berada di bawah, jangan lupe untuk meninjau ke atas. Patuhi mereke yang berkuase selagi betul, jangan ikuti bile tak betul. Semue penguase dunie ade batasnye, mereke tak kan selamanye berjaye. Junjunglah manusie sebatas selayaknya manusie," ujar nelayan tua.

Irwansyah ikut memandangi langit. "Tuk, mane bintang yang paling terang tadi tu?"

Nelayan tua tersenyum. "Itulah yang Atuk maksud. Setiap kejayaan itu memang selalu ade masanye. Bintang yang paling terang tadi telah bergeser jauh ke bawah sane, bagai nak ditelan garis yang mulai memisahkan langit dan bumi. Perhatikanlah nanti, bile mentari dah datang, arah angin pun berubah. Pandai-pandailah membace pesan alam, sehingge kite tak hanye sekedar siap bile berjumpe perubahan, tapi bise pule memanfaatkannye untuk kebaikan."

Mulut Irwansyah menguap lebar, ia sudah terlihat sangat mengantuk.

Nelayan tua tersenyum. "Sebelum kau tidur, kita laksanakan dulu kewajiban sholat subuh."

Nelayan tua dan cucunya segera menyiapkan diri untuk bersujud di perahunya pada Sang Pemberi Rezeki.

Banyaknya petuah bijak yang disampaikan nelayan tua itu ternyata juga merupakan pertanda bahwa ia akan pergi meninggalkan Irwansyah. Besoknya, nelayan tua menghembuskan nafas terakhir untuk bertemu Sang Pencipta.

*****

Penang Hospital, Penang, Malaysia, 1990

"Masya Allah! Pesan terakhir pada cucunya sebelum pergi sangat dalam," komentar Rizal sambil mendorong kursi roda yang dinaiki Atuk Irwansyah.

"Tepatnya, Beliau juga sedang mengajariku mencari makan sendiri dari laut. Karena aku mendadak hidup sebatang kara, besoknya aku memutuskan menjadi nelayan kecil, aku mencari nafkah di tengah laut sendirian untuk bertahan hidup," ujar Atuk Irwansyah.

"Berapa kira-kira usia Atuk saat itu?"

"6 tahun."

"Ya Allah! Apa Atuk sama sekali tidak punya saudara di sana?" tanya Rizal sambil terus sambil menyusuri koridor panjang yang berada di tengah taman.

"Tidak ada, semuanya sudah pindah. Orang-orang kampung sayang padaku, tapi mereka tak sempat mencegahku mengarungi laut. Setelah aku berhasil pulang dengan selamat serta membawa banyak ikan, aku punya segudang alasan untuk menjawab segala pertanyaan dari orang-orang dewasa yang ingin melarangku kembali ke tengah laut," jawab Atuk Irwansyah sambil tertawa.

Rizal geleng-geleng. "Saya dapat membayangkan betapa nakalnya nelayan kecil itu."

"Aku yakin, diriku tidak seperti yang kau bayangkan, Zal. Sebenarnya aku anak yang sangat penurut. Aku memaksa ke laut karena tak mau bergantung pada nelayan di sana yang pendapatannya sangat pas-pasan."

"Hah? Atuk sudah bisa berpikir sampai ke sana? Dugaan saya memang salah. Nelayan kecil itu memang anak luar biasa. Lalu, apakah orang-orang kampung terus membiarkan hal luar biasa itu?" tanya Rizal sambil tertawa.

"Mereka segera mengantarku pada adik sepupu ibuku yang tinggal di perkebunan Langkat. Kebetulan memang belum ada yang mengabarkan kepergian atukku. Maklum, daerah tempat tinggal atukku memang terpencil, namanya desa Secanggang. Waktu itu belum ada jalan raya, sehingga untuk keluar dari kampung, orang harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh dengan berjalan kaki."

"Selanjutnya Atuk tumbuh di kawasan perkebunan?" tanya Rizal.

"Aku hanya beberapa bulan tinggal di kawasan perkebunan. Atas pertolongan Allah, seorang bangsawan Deli bernama Tengku Rasyid menjadikanku sebagai anak angkat. Padahal beliau sudah punya anak laki-laki yang sebaya denganku, namanya Tengku Sani," jawab Atuk Irwansyah.

Rizal tertegun, ia menghentikan kursi roda sambil bertanya di dalam hati. Tengku Sani?

"Ah, entah kenapa aku jadi mengenang masa lalu? Kita ngobrol di sini saja, Zal, biar kau bisa duduk," ujar Atuk Irwansyah sambil menunjuk bangku di koridor.

Rizal menempatkan posisi kursi roda di sebelah bangku, lalu duduk.

"Lebih baik kita ganti topik bicara yang lain. Apa kau mengikuti perkembangan politik di Jakarta?" tanya Atuk Irwansyah.

"Saya mengikuti, tetapi justru lebih penasaran mendengar kelanjutan cerita tentang masa lalu seperti barusan. Atuk telah melewati banyak zaman, pasti masih banyak kisah menarik lain atau kemungkinan besar yang berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa kita," ujar Rizal.

Wajah Atuk Irwansyah mendadak muram. Ia diam agak lama seperti mempertimbangkan sesuatu.

"Sebenarnya sebelum bertemu dirimu, aku tak pernah mau menceritakan masa lalu, bahkan pada anak-anak dan cucu-cucuku sendiri. Maaf, Zal, aku tak berminat lagi meneruskan cerita seperti tadi," ujar Atuk Irwanysah.

"Boleh saya tahu sebabnya?" tanya Rizal tidak mau menyerah.

"Aku tak nyaman. Masa laluku memang bersentuhan dengan sejarah, tapi sayangnya sejarah kelam negeri kita, yang bahkan para penulis sejarah sepertinya merasa lebih baik kisah itu terkubur oleh zaman," ujar Atuk Irwansyah.

Rizal malah semakin penasaran. "Sejarah memang selalu ditulis oleh pemenang. Lalu bagaimana kami sebagai generasi penerus bisa mendapat informasi pembanding, jika para pelaku sejarah juga mengubur kisah yang tidak ditulis?"

"Seandainya orang-orang yang bukan pemenang seperti aku bercerita, apa ada manfaatnya?"

"Tentu ada, Tuk. Agar kami yang muda-muda ini tidak buta pada sejarahnya sendiri. Malu rasanya jika orang lain di luar kita ternyata lebih tahu tentang diri kita. Walaupun kelam, bila itu memang kenyataan, bukankah dapat menjadi pelajaran agar tidak lagi terulang?" tanya Rizal.

Atuk Irwansyah merenung sejenak. Kenangan lama yang masih tersimpan dengan baik muncul di kepala Atuk Irwansyah. "Sepertinya kau benar, Zal. Apa yang ingin kau dengar?"

"Kelanjutan cerita Atuk setelah meninggalkan perkebunan," jawab Rizal.

"Baiklah, aku lanjutkan. Irwansyah memang masih kecil saat pertama kali mendatangi kota Medan, tetapi atas karunia Allah, ia tampaknya memiliki kelebihan, seolah mampu merekam perjalanan hidupnya."

*****

Catatan Kaki

1. 'Atuk' adalah sebutan untuk 'kakek' dalam bahasa Melayu.

2. 'Nak' adalah sebutan untuk 'mau' dalam bahasa Melayu.

Next chapter