1 01. Awal Mula

"Untuk seluruh mahasiswa baru, selamat datang di Institut Kesenian Jakarta!"

Suara tepuk tangan riuh dan sorak semurai terdengar gaduh.

Aku hanya diam, duduk dengan tenang memandang ke arah panggung.

Ini adalah hari terakhir dan penutupan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) untuk Maba (mahasiswa baru).

"Wah, pasti pada seneng kan, akhirnya masa ospek berakhir juga?"

Disaat yang lain menyahut antusias.

Aku justru termenung tak banyak bicara. Mc di atas panggung itu berbicara banyak dan riang.

"Karena ini terakhir ospek, ayo kita sambut pianis kebanggaan seluruh umat IKJ. Yang bakalan menampilkan bakat terbaiknya di hadapan kita semua!"

Mc lelaki itu tampak menahan napas dan tersenyum. Ia melebarkan satu tangannya yang bebas ke samping. "Ini dia, pemenang kompetisi piano ASA se-Indonesia. Anggasta Erio .... " seru mc itu yang disambut sorakan heboh dari maha siswa baru.

Lampu aula tiba-tiba padam, membuat aula ini gelap gulita. Tak ada penerangan sama sekali.

Lalu, tiba-tiba sebuah lampu bulat yang berasal dari atas panggung, hidup. Lampu itu hanya menyorot sosok lelaki yang kini duduk di kursi atas panggung dengan sebuah piano besar dihadapannya.

Mc yang tadi berada di atas panggung itu-pun menghilang.

Mataku melirik sekitar, tak ada satupun cahaya di aula ini selain lampu yang menyorot lelaki di atas panggung itu.

Aku menghembuskan napas. Menahan kantuk yang mulai menyerang.

Ini membosankan.

Saat mataku hendak terpejam, sebuah alunan indah memasuki indra pendengaranku membuatku membulatkan mata.

Kantukku tiba-tiba lenyap begitu saja.

Mataku melebar, dengan bersemangat aku menegakkan tubuh.

Alunan musik piano itu mulai terdengar.

Setiap tuts piano yang ditekan menimbulkan bunyi dan alunan yang indah, merdu, membuatku terpana saat itu juga.

Mataku memejam, menikmati alunan piano itu. Kedua sudut bibirku tertarik, tiba-tiba aku merasakan sebuah kehangatan.

Aku membuka pejaman mataku, dengan berbinar menatap sosok lelaki yang sedang menekan-nekan tuts piano itu dengan lincah dan lihai. Ia memang pantas di banggakan dan pemenang kompetisi piano ASA.

Aku mengernyitkan dahi, kini jadi fokus pada wajah datar lelaki yang sedang bermain piano itu.

Ah, iya. Siapa tadi namanya?

Astaga? Gastaga?

Oh iya, aku ingat. Gastaga oreo kan?

Siapapun namanya, aku hanya bingung. Mengapa wajahnya begitu datar saat memainkan piano itu, padahal ia membuat banyak orang tersenyum karena alunan pianonya.

Di mataku, dia sangat bersinar.

Seperti sebuah bulan yang bersinar terang di antara bintang saat dunia sedang gelap gulita.

Ia menyinari duniaku yang gelap gulita dengan alunan pianonya. Mungkin ini sedikit berlebihan, namun, alunan piano itu mengusir perlahan rasa sepi yang menyelimuti diriku.

Membuatku tersenyum riang.

Dan kini kuputuskan sebagai pemujanya.

Bukan, bukan karena ia tampan.

Tapi karena ia seseorang yang selama ini aku cari. Seseorang yang bisa membuatku tersenyum lewat alunan musik yang ia ciptakan.

Apakah kalian mendengar alunan itu?

Seperti sebuah magic yang membuatku terbuai dan hanyut di setiap bunyi tuts yang terdengar.

Ini sebuah keajaiban.

Aku menemukannya!

Dan aku akan mendapatkannya!

Ya, aku pasti akan mendapatkannya!

Tunggu saja.

***

Aku berjalan keluar dari perpustakaan kampus.

Aku mengedarkan pandangan, sepertinya hanya aku satu-satunya orang yang masih berada di lobi kampus.

Ketukan langkah kakiku terdengar, mungkin karena aku berjalan sendirian di lobi yang sepi ini.

Saat ingin keluar dari lobi, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.

Membuatku terperanjat dan termundur kaget. Aku memilih masuk kembali ke dalam lobi, beruntungnya tidak ada air hujan yang membasahiku tadi.

Ah, dingin sekali.

Samar-samar aku mendengar suara. Aku mengalihkan tatapanku yang sejak tadi meratapi setiap rintik hujan yang turun. Aku menoleh kebelakang dan tubuhku ikut berputar, meneliti dari mana sumber suara itu. Aku menatap lorong kampus yang sepi itu, tidak ada orang disana.

"GASTA DENGERIN GUE!"

Aku mengerjap. Sosok lelaki jangkung tiba-tiba muncul di lorong itu, berjalan cepat dengan langkah lebarnya.

"GASTA GUE BILANG BERHENTI!"

Oh, ternyata suara itu berasal dari seorang gadis semampai yang berjalan di belakang lelaki bernama Gasta itu.

Gasta?

Nama itu terdengar sedikit familiar.

Aku melebarkan mata, saat Gasta, ralat, kak Gasta berjalan mendekat ke arahku. Dan aku dapat melihat dengan jelas wajah tampannya, sekarang aku ingat siapa dia, dia adalah lelaki pianis pujaanku saat di hari terakhir ospek maba.

Saat itu aku memutuskan untuk menjadi pemujanya.

Kak Gasta berjalan ke arahku, membuatku mematung dan hanya menatapi lelaki itu yang semakin dekat.

Saat jarak kak Gasta dan aku hanya tinggal beberapa langkah. Kak Gasta memilih berjalan di sampingku, dan ketika kami berpas-pasan, aku mendongak, menatap tubuh jangkung kak Gasta yang tetap melanjutkan langkah tanpa menghiraukanku.

Kak Gasta melewatiku begitu saja.

Di belakangnya, gadis semampai itu tampak kewalahan mengejar kak Gasta.

Gadis sesampai itu juga melewatiku begitu saja.

Seolah aku hanya sebuah figuran disini.

Apakah mereka pikir dunia ini hanya milik mereka berdua?

Setelah kedua orang itu melewatiku. Aku berbalik, kini menghadap ke luar lobi.

Memperhatikan kak Gasta dan gadis semampai itu yang mengejar-ngejar kak Gasta.

Di luar lobi, kak Gasta tampak tak peduli dengan hujan deras yang turun. Ia tetap melanjutkan langkah, dibawah hujan deras yang mengguyur tubuhnya.

Aku terperangah.

Gadis semampai yang mengejar-ngejar kak Gasta berhenti di pinggir lobi. Ia tidak melanjutkan langkah, dan menatapi kepergian kak Gasta.

Punggung kak Gasta terlihat semakin jauh dan mengecil.

Kak Gasta basah kuyup.

Kemeja dan celana jeansnya juga ikut basah.

Seluruh tubuhnya basah. Tetapi ada apa denganku?

Kenapa aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Kenapa aku hanya diam dan memandangunya yang berjalan semakin jauh, meninggalkanku yang mengaku sebagai pemujanya.

Lalu aku mendengar samar suara isakan tangis. Kini pandanganku beralih, menatap gadis semampai di pinggir lobi yang sedang berjongkok dan menangis.

Dengan langkah pelan, aku menghampiri gadis itu. Sekarang aku sudah dihadapannya, mengulurkan tangan membuat gadis itu mendongak ke arahku dengan pipi basah dan alis mengernyit.

Aku tersenyum. "Ayo, hujannya udah berhenti."

Aku bisa melihat keraguan di mata gadis itu. "Gue mahasiswa baru disini, gue juga nggak tahu lo siapa dan lo kenapa. Tapi gue nggak punya niat buruk, kok. Gue cuma mau lo berhenti nangis, karena hujannya udah reda. Gak ada orang selain kita disini." kataku berusaha meyakinkan.

Gadis itu menyeka air matanya dan menerima uluran tanganku. Ia meneguk ludah, menatapku dengan kerlipan polos matanya. "Gue juga maba disini ... " ucapnya dan melepas uluran tanganku.

Aku tersenyum. "Gue bawa motor, lo pulang naik apa?"

"Gue di tinggal."

Aku mengernyit. "Sama?"

"Gasta." jawabnya dan kini menatapku dengan tekad. "Jangan bilang siapapun ya?"

"Hn?" Aku menggaruk pelipis. "Soal?"

"Gue kembarannya Gasta."

avataravatar
Next chapter