webnovel

bab 2

Malam berganti tanpa ia sadari, bahkan mungkin semua orang tak menyadari bahwa ia terlelap dalam mimpi.

Pagi datang, langit begitu indah untuk dipandang, terkecuali dirinya.

Apa yang bisa ia pandang?

Tak ada, wadah tempat penampung air begitu penuh dengan air yang begitu dingin, adiknya mengemasi semua itu, menyapu rumah memasak dan menaruh makanan di dekatnya.

"kak ini makanan-nya, aku pergi kerja dulu ya". Kata sang adik sebelum melangkah kan kaki mencari sesuap nasi untuk dirinya dan sang kakak yang sangat ia cintai.

Hidup berdua, membuat mereka mengerti satu sama lainya.

Dengan keterbatasan yang ada, dengan kehidupan digaris kemiskinan.

Hari ini ia seperti biasa berjalan ke tempat yang biasa ia singgahi dengan tongkat yang meraba-raba setiap sisi trotoar, dengan mulut yang menghitung setiap langkah kakinya. Sampai di tempat tujuan, dengan duduk di bangku panjang menghadap lautan, angin laut yang mengembuskan sekujur tubuhnya, dingin.

Sekali lagi dingin menyentuh kulit.

Lautan biru cahaya senja memantul dari balik air laut menambah indahnya lukisan tuhan, namun sayang ia tak bisa menikmati nya.

"hari ini begitu dingin!".

kata peria yang sama di waktu kemarin, sembari menyapa dan duduk di sampingnya.

"senja begitu indah, untuk dipandang."

Kata sang peria sembari menatap lekat mentari senja.

"cahaya nya begitu indah". sambungnya lagi, Namun Lisa tak menjawab, ia seperti biasanya selalu diam.

"jika kau ingin menikmati senja tanpa dilihat, kau bisa menunggu di sini, dan aku akan membantu mu untuk bisa menikmati senja". Lalu peria itu pergi.

Lagi-lagi malam datang tanpa bisa ia ke tahui.

Berganti dengan embun pagi di dedaunan, menyibak tabir, cahaya masuk ke dalam rumah tanpa ia sadari, hanya bisa ia rasakan, tanpa bisa ia menatap silau nya cahaya mentari pagi.

"lisa ayah dan ibu pergi dulu, kau jaga adik mu ya".

Itu lah kata terakhir yang mereka ucapkan kepada lisa sebelum semuanya berubah menjadi tragedi, dengan tubuh terbujur kaku orang-orang mengantarkan kedua orang tuanya ke peristirahatan terakhir.

Tangis tak henti dari kedua nya, yang ditinggal pergi oleh orang tuanya, kakak dan adik itu hanya menangis tersedu-sedu dan seakan tak percaya akan semua yang terjadi.

Namun itu masih belum cukup untuk membuat keduanya merasa putus asa, lisa lambat laun matanya mulai tak berfungsi sebagai indra penglihatan, lambat laun matanya mulai kabur, terus kabur, dan akhirnya menjadi seperti ini, gelap dalam memandang dunia.

Meski derita tak berhenti menerpa, namun senyum tampak tergugah dari sang adik.

Jalan kehidupan penuh duri, ada kala menjerit karena tertusuk duri.

Namun kaki terus melangkah, ceceran darah berbentuk tapa kaki tercap di jalan kehidupan.

Buku kehidupan dari keduanya hanya menuliskan derita yang tak henti, namun mereka tabah menjalani semua ini.

heningnya suara di sekitarnya, gelap nya cahaya, menambah derita.

Kaca-kaca cermin seakan mengolok ia karena tak bisa menatap pantulan dirinya.

Namun ia seperti biasa tak tersenyum kan muka.

Tangan meraba-raba setiap sisi rumah entah ke mana ia melangkahkan kaki, entah ke mana ia melangkah.

Tak pernah menyalahkan waktu, tak pernah menyalahkan keadaan.

Hidup dalam kegelapan tanpa tahu arah melangkah, jalan kehidupan yang ia jalani begitu sukar namun, ia tahu masih ada yang lebih darinya.

Next chapter