12 0012 Pre Wedding

[+62811*******: "Alisha, apa kabar? Udah sehat, kan? #Adrian, save nomorku ya."]

Satu pesan singkat masuk ke aplikasi hijau milik Alisha yang tengah menyelesaikan satu bab terakhir di hari itu. Kurang dua pekan lagi, mereka akan menikah.

Mengingat ini, ntah mengapa membuat bulu kuduk Alisha merinding. Sungguh, dirinya belum merasakan ada ketertarikan pada diri Adrian. Berbeda jika orang itu adalah Hilman, adik kandungnya. Mendadak moodnya untuk meneruskan cerita untuk bab berikutnya, lenyap, menguap, seperti layaknya asap. Alisha lantas mematikan laptopnya dan beralih memainkan ponselnya.

Diabaikannya pesan Adrian, jempolnya kemudian menggulirkan layar ke nomor kontak yang lain.

[Alisha: "Aku bosan di rumah, boleh tidak keluar?"]

Alisha menanti dengan sabar balasan pesannya. Baru centang dua, abu-abu. Tiga puluh detik kemudian berubah, dua centang biru, dan tampak typing di layar paling atas di aplikasinya.

[Aldian: "Tidak."]

Jawaban kakak pertamanya, Dian, singkat, padat, dan jelas, membuatnya mendengus. Alisha kemudian mengetikan pesan baru. Kali ini mencoba pada kakaknya nomor dua.

[Alisha: "Aku bakal mati di rumah, boleh tidak keluar?"]

Pesannya langsung terlihat centang dua biru dan tanda typing muncul.

[Alvian: "Jangan mengada-ngada. Kamu bakal hidup sampai seribu tahun. Jangan macam-macam, pacarku udah gak sabar ingin dilamar. Kamu gak tau, 'kan?"]

Jawaban kakak nomor dua, Vian, selalu seperti itu. Lebih ekspresif jika dibanding kakak sulungnya. Meski mereka berdua kembar identik, tetapi sifatnya jauh berbeda.

Aldian lebih pendiam, terkesan dingin, dibandingkan Alvian yang banyak bicara dan ramah. Namun, mereka berdua sama-sama menyayangi adik perempuan mereka. Meski dengan cara berbeda.

[Alisha: "Cih! Kalau mau nikah, nikah aja duluan, sih. Kenapa jadi nyalahin Al? Apa-apaan hidup seribu tahun! Mana enak!"]

[Alvian: "Mana boleh? Papa kita pengennya putri kesayangannya nikah dulu. Sebelum itu terjadi, sebagai kakak, kami harus jagain kamu, tetap aman."]

["Belum merasakan surga dunia, mana kamu tau, Al. Hidup seribu tahun itu enak. Hahaha."]

[Alisha: "Huh. Emangnya aku bayi, kudu dijagain terus. Udah gede. Igh! Surga dunia apa?! Dasar otak mesum! Hayo ngaku, kok, tau enak, dari mana? Udah ngapain aja sama Rara?? Al, laporin papa, baru tau rasa."]

[Alvian: "Salah sendiri, kemarin itu kamu sok-sokan lawan pencopet, heh? Sudah. Lupakan. Diam di rumah. Balas pesan Adrian aja. Penjajakan. Tak kenal, maka tak sayang. Aku lanjut kerja. Bye."]

Alvian mengakhiri chatnya, membuat Alisha memutar bola matanya. 'Tau dari mana, kak Vian, klo Adrian kirim pesan? Persekongkolan lagi?' batin Alisha. Lalu mulai mengetikan pesan yang lain.

[Alisha: "Aku bosan. Kangen."]

Alisha mengirim pesan singkat itu dan menunggu. Sepuluh menit lamanya, dua centang abu-abu itu masih belum berubah. Membuatnya menghela napas gusar. Kemudian ia beranjak menuju halaman belakang.

Ayah dan kedua kakak kembarnya bekerja seperti biasanya, meninggalkan Alisha sendiri di rumah. Meski, tidak sepenuhnya 'sendiri'. Karena ayahnya sudah meminta salah satu bawahannya untuk mengawasinya agar tetap berada di rumah. Alisha merasa dirinya sudah seperti tahanan rumah saja.

Tiba di halaman belakang, Alisha menggelung rambut ikal panjangnya. Alisha butuh pengalihan dari rasa bosannya. Berlatih dengan sandsack menjadi pilihannya. Ia kemudian membalut kedua tangannya dengan hand wraps untuk melindungi pergelangan tangannya dari cedera. Melindungi buku jari, ligamen longgar, persendian, dan tulang pada tangan.

Alisha lanjut mengenakan ankle wrap untuk melindungi pergelangan kakinya. Kemudian mulai melakukan pemanasan dan perenggangan sebelum mulai latihan, dengan lompat tali.

Selesai pemanasan Alisha mengenakan sarung tangan Muay Thai.

Latihan dimulai dengan pukulan dan tendangan ringan pada sandsack di hadapannya. Jab, cross, hook. Tendangan diagonal, berputar, lurus, melompat.

Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!

Shat! Shat! Shat! Shat! Shat!

Bugh! Shat! Bugh! Shat! Bugh! Shat!

Berkali-kali terdengar suara tendangan dan pukulan dari sandsack, bergoyang, mengikuti arah tendangan dan pukulannya. Sesekali suara teriakan keluar dari mulutnya.

"Hiyaaat!"

Bugh!

Shat!

Menyalurkan energi negatif, agar keluar dari tubuhnya.

Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!

Bugh! Shat! Bugh! Shat! Bugh! Shat!

Gerakannya makin lama makin cepat, terkadang bergerak menghindar, tatkala sandsack itu bergerak berlawanan arah, hingga Alisha mengeluarkan jurus tendangan terakhirnya dengan tenaga penuh.

"Hiyaaaaaaat!!" teriaknya gusar. Hatinya benar-benar dalam suasana buruk.

Bugh! Bugh! Bugh! BRAAKK!!

Suara sandsack, terlepas dari rantai yang menggantungnya, dan nahas, jatuh menimpa Alisha.

Tubuhnya tergeletak tak berdaya, napasnya memburu. Dadanya naik-turun. Rambutnya terurai, berantakan. Dengan sandsack di atas tubuhnya, sama sekali tidak berusaha untuk bangun. Alih-alih dipeluknya sandsack itu. Matanya terpejam.

Satu bulir bening lolos dari dua sudut pelupuk matanya.

"Hilman brengsek! Aku tau, kamu udah baca pesan aku! Aku tau, kamu juga liat aku di sini!" teriak Alisha gusar. "Kenapa? Kenapa kamu diem aja, hah?" lanjutnya, dan kemudian membiarkan air matanya jatuh berderai.

Bahunya bergetar seiring dengan air matanya yang keluar. Dirinya pernah beberapa kali patah hati, dikhianati, ditinggal menikah calon tunangannya. Akan tetapi, sakit yang dirasakannya dahulu, tidak sesakit ini.

Pemandangan yang memilukan itu, tanpa Alisha ketahui, ucapannya telah menorehkan luka di hati dua orang lelaki. Meski dengan torehan luka yang berbeda.

***

Tanggal 16 Mei. Adalah hari pernikahan Alisha dan Adrian akan digelar. Sejak pukul lima pagi, semua tim sudah siap di posisinya masing-masing, menyamar sebagai warga sipil. Mereka sudah berbaur sejak satu bulan yang lalu.

Mengamankan tempat yang akan dilangsungkannya perlehatan akbar. Dengan dua kali pengamanan. Mengingat, Alisha pun sepertinya menjadi target sasaran musuh, yang belum diketahui, siapa dalang di balik penyerangan beberapa pekan lalu.

Pukul tujuh tiga puluh pagi, mobil yang membawa Alisha, beserta ayah dan kedua kakak kembarnya, memasuki halaman parkir gedung Puri Begawan, Bogor. Disusul dua mobil lainnya.

Alisha turun dari mobil, setelah salah seorang porter membukakan pintu mobil untuknya, netranya memindai sekelilingnya, ya, Alisha tahu bahwa ada beberapa agen rahasia yang menyamar di sana, laki-laki dan wanita. Salah satunya porter yang membukakan pintu untuknya tadi.

Semua berperilaku sewajarnya warga sipil, tidak ada yang bakal mengira, bahwa tukang parkir, penjual batagor, hingga pejalan kaki, yang ada di sana, adalah salah satu agen rahasia yang bisa ilmu bela diri. Bahkan, penjaja jamu wanita, yang terlihat berbadan subur, merupakan salah satu agen terbaik, yang juga telah dibekali seni bela diri, yang gesit gerakannya—seperti dirinya.

Mata Alisha terus menjelajah, hingga akhirnya menemukan sosok yang selama ini dirindukannya.

Hilman.

Tersenyum simpul padanya, namun Hilman tidak menghiraukannya. Membuat Alisha kecewa.

Alisha kemudian menatap lelaki di sebelahnya, terperangah. Adrian telah memangkas rambutnya. Sekilas tampak bak pinang dibelah dua, mirip dengan Hilman.

Tante Laras terlihat menghampiri Alisha—yang terdiam mematung, setelah turun dari mobilnya. Menemaninya masuk ke dalam gedung. Dirangkulnya keponakan kesayangannya. Mereka langsung menuju ruang khusus untuk berganti pakaian dan dirias.

Alisha tampak cantik, sangat cantik. Rambutnya yang panjang, digelung ke atas, diberi hiasan tiara dan veil. Make up yang disapukan di wajahnya terlihat ringan dan tidak berlebihan. Dengan gaun pengantin putih berbahan chiffon yang memiliki tekstur tipis, transparan, ringan dan lembut saat dikenakan. Dan ditambahkan veil sebagai pengembang gaun. Bagian pundaknya terekspos sebagian, yang terpenting bagian dadanya tertutup sempurna. Penampilannya kini bak putri-putrian dalam cerita-cerita dongeng kerajaan bagi anak-anak perempuan. Pernikahan impian bagi setiap wanita.

***

avataravatar
Next chapter