4 0004 My Supervisor Is?

"Maaf, lama menunggu." Terdengar suara pria yang dalam dan berat.

Alisha spontan mendongakkan kepalanya, dan terkejut.

Hilman?

'Apa iya, dia supervisor gue yang baru?' batin Alisha, menebak-nebak. Matanya mengikuti langkah Hilman yang mendekat dan duduk di seberangnya.

Tak lama, Alisha mendengar suara orang berdeham dari arah pintu. Mia. Tatapan Alisha terlihat jelas meminta penjelasan darinya. Tentang, 'mengapa lelaki yang tempo hari mereka gosipkan, muncul di sini?' Karena kalimat yang terlontar dari mulutnya sebelum Mia duduk di sampingnya adalah, "Alisha, perkenalkan, ini bapak Hilman, supervisormu yang baru."

'Oh-my-God!' batin Alisha menjerit. Alisha lantas menoleh dan menatap Mia dengan mata terbelalak.

Hilman. Adik Adrian, adalah supervisornya yang baru? Ah, tiba-tiba Alisha kangen dengan bu Tata, panggilan akrabnya untuk supervisornya yang lama, ibu Citra.

Meski terkenal galak—tegas, tapi sangat keibuan dan perhatian terhadap Alisha, yang notabene adalah 'murid baru'. Bu Tata sudah seperti ibu kedua bagi Alisha, yang sudah tidak memiliki ibu, sejak dirinya masih di sekolah menengah pertama. Kini, bu Tata cuti panjang—paling tidak selama tiga bulan, karena baru saja melahirkan anak keduanya.

Terdengar suara dehaman kembali, kali ini dari pemilik suara yang dalam dan berat itu, Hilman. Atau Alisha harus mulai membiasakan diri memanggilnya dengan 'bapak Hilman?'

'Oh, Tuhan. Dia bahkan bukan hanya supervisorku, tetapi juga adik dari seseorang yang harus kuawasi. Misi pertamaku. Dan kemarin baru saja kakaknya aku banting? Sudah lengkapkah penderitaanku? Dia bahkan kemarin aku gosipkan dengan Mia. Dan sempat berharap dia adalah jodohku,' batin Alisha.

"Alisha? Apa perlu aku minta buatkan kopi?" tanya Hilman, karena sedari tadi Alisha hanya terdiam, tidak merespon pertanyaannya, tentang komitmen Alisha dalam misi pertamanya. "Atau, kamu merasa tidak enak badan, dan harus pulang?" tanyanya lagi.

"Oh? Tidak. Tidak perlu. Dan saya sehat, kok, Man, eh, Pak?" jawab Alisha, tergagap. Mia yang melihatnya menahan tawa.

"Panggil Hilman aja, gak apa-apa, kok," ujar Hilman. "Jadi?"

"Ya?" tanya Alisha balik.

"Masih mau lanjut dalam misi?" tawar Hilman.

"Ya? Ya! Ya! Ya! Mau. Jika masih dipercaya. Maaf. Mohon bimbingannya," jawab Alisha benar-benar gugup. Sepertinya pagi ini Alisha salah memilih menu sarapan pagi. Nasi goreng dan omlet udang, serta segelas matcha hangat, minuman favoritnya. Karena otaknya mendadak macet. 'Mengapa bisa segugup ini? Duh jantungku berdebar-debar,' batin Alisha.

Hilman mengangguk, kemudian bertanya, "Apakah ada pertanyaan?"

Alisha berpikir sejenak. Ada satu pikiran yang dari kemarin mengganggunya. Soal rencana perjodohan dan juga misinya. Ditambah fakta satu lagi, supervisornya ternyata adik dari sang target. Kenyataan yang menggelitik, karena hatinya malah tertawan pada pesona Hilman. Sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan, karena terlalu lama melajang.

"Apakah misi dianggap gagal, jika aku tidak menikah dengan target, umm ..., Adrian?" tanyanya akhirnya.

Lebih baik dikonfirmasi dari awal soal kelanjutan hubungan ini, daripada mengganjal pikirannya nanti. Karena kelanjutan hubungannya nanti, bakal berhubungan dengan ayahnya. Ayahnya perlu tahu bukan, bahwa calon menantunya adalah orang yang harus diawasinya selama hingga ntah kapan waktunya.

Meski tidak sekarang, tapi nanti. Fakta penting ini ayahnya harus tahu, dari mulutnya sendiri, ketimbang dari orang lain. Belum lagi, kedua kakak laki-laki kembarnya, mereka juga harus tahu fakta ini. Mereka bertiga memang sosok tipe pria yang protektif terhadap wanitanya.

Meski pada akhirnya, mereka harus rela kehilangan satu sosok wanita terpenting dalam hidup mereka.

"Menurutmu?" Hilman balik bertanya, terdengar dengusan dari Mia. Mulutnya ditutup, menahan tawa sepertinya.

Menyaksikan interaksi atasan dan bawahan yang baru ini. Pasalnya, Mia, kemarin juga baru mengetahui fakta ini—Hilman adalah pengawas Alisha yang baru, orang yang akan menilai kinerjanya selama misi dijalankan.

Jangan lupakan fakta lain, Alisha menaruh hati pada atasannya itu, sebelum mengetahui siapa Hilman itu. Mia memang diinstruksikan untuk tidak memberitahukan fakta yang terakhir itu, agar saat pertemuannya kemarin, Alisha bisa bersikap alami. Ya, bahkan sangat alami. Mungkin, jika tahu sedari awal, Alisha tidak akan lancang bergosip dan memujinya secara berlebihan atasannya itu, di dalam toilet. Jangan lupakan detail yang satu itu!

Salah satu keunggulan, jika memiliki teman seorang agen intelijen, mereka bisa menutup rapat-rapat rahasia terdalam milik temannya. Tanpa khawatir mereka akan membocorkan rahasia atau mengkhianati.

"Apakah harus?" Alisha bersikeras mendapat jawaban dari Hilman, biar bagaimanapun dia adalah adik Adrian. Apakah tidak akan aneh nantinya, jika ia menikah dengan Adrian, hanya karena kepentingan untuk misinya, sementara yang dia sukai adalah Hilman? Meski cinta mungkin bisa datang belakangan.

Meski Alisha tidak tahu, apakah Hilman menyukainya juga atau tidak. Secepatnya Alisha perlu juga mengonfirmasi hal ini. Mengingat ucapan Hilman tempo hari kepada Adrian. Soal 'mengambil bagian', Alisha yakin, kalimat itu ditujukan untuknya. Karena, jatuh cinta pada rekan sejawat meski tidak dilarang, tapi mungkin akan terasa aneh.

Seperti halnya Mia dan suaminya sekarang. Mungkin hanya mereka yang masih baik-baik saja berhubungan dalam hal asmara, bahkan hingga berhasil menikah. Tetapi, mereka bertugas di dalam, di balik layar, tidak seperti Alisha dan Hilman, yang harus terjun langsung ke lapangan, bergerak dan beraksi diam-diam, seringkali harus berpura-pura menjadi orang lain.

Oh, ya, bicara soal berpura-pura menjadi orang lain, bukannya ini bakal menjadi semacam keahlian nantinya? Selalu berpura-pura, bahkan jika nanti Hilman menjadi suaminya lalu berselingkuh, misalnya. Pasti Hilman bakal piawai berpura-pura.

Pikiran gila mulai mengusai benak Alisha lagi. Belum apa-apa sudah curiga dan cemburu. Lagi-lagi, apakah karena fakta dirinya masih betah melajang hingga hari ini? Takut berkomitmen. Insecure.

"Apakah kamu keberatan?" Tiba-tiba suara Hilman mengembalikan kesadaran Alisha dari pikiran melanturnya yang makin tidak terkendali.

"Tidak tahu," jawaban itu lolos begitu saja dari mulut Alisha. Mia masih betah duduk di sana. Turut menanti jawaban Hilman.

"Mia?" panggil Hilman.

"Siap, Pak?" jawab Mia cepat, menatap lawan bicaranya.

"Apakah ada urusan lain yang harus dikerjakan?" Pertanyaan retoris. Artinya jika diperhalus, 'silahkan keluar jika sudah tidak ada kepentingan di sini.'

"Tidak, Pak. Baik," jawab Mia dan langsung berdiri dan melangkah keluar. Matanya sempat melirik Alisha, menyiratkan banyak makna. Namun, untuk memberi dukungan, Mia mengacungkan jempolnya.

Pintu tertutup. Hanya tinggal Alisha dan Hilman di dalam ruangan itu. Mendadak Alisha merasa kegerahan, padahal faktanya AC ruangan itu cukup dingin, delapan belas derajat.

Tiba-tiba Hilman beranjak dari tempat duduknya. Berjalan memutari meja dan mendekati Alisha yang masih bergeming di tempatnya.

Hilman sepertinya sengaja memperpendek jarak di antara mereka. Posisi seperti ini tidak memberinya ruang untuk bergerak bebas. Sama sekali tidak menguntungkan. Alisha dengan posisi duduk, Hilman berdiri setengah membungkuk, kedua tangannya kuat mencengkram pergelangan tangan Alisha. Menguncinya di kedua lengan kursi. Instingnya mengatakan ia harus waspada.

***

avataravatar
Next chapter