2 0002 Misi Dimulai

["Al, lo gak aman! Lo disadap orang. Lo gak nyadarkah?"] ujar Mia di seberang telepon.

"Apa?! Sial!" umpat Alisha, seketika ia langsung keluar dari bilik toilet. Memindai setiap sudut toilet itu, mencari-cari alat penyadap rahasia. Namun, setelah berlalu beberapa menit, tidak membuahkan hasil.

"Mia ..., lo masih di situ?" tanya Alisha.

["Ya? Ketemu, Al?"] tanya Mia balik, nada suaranya terdengar agak tenang, atau lebih tepatnya, tidak terdengar panik oleh Alisha.

"Nihil. Gak bisa lo cari gitu, di mana itu alat sialan itu?" tanya Alisha, dirinya mulai mondar-mandir di dalam toilet.

Tak lama, terdengar suara berderit pintu utama toilet terbuka. Menyadari ada pengguna lain yang masuk toilet, Alisha langsung mengakhiri sambungan teleponnya itu, tanpa basa-basi. Kemudian keluar dari toilet dengan perasaan was-was. Bisa-bisanya dirinya kecolongan di tugas pertamanya. Bagaimana nasib laporannya nanti?

Menarik napas, kemudian menghembuskannya, perlahan. Dilakukannya berulang kali, untuk menghilangkan kegusaran hatinya.

Dirinya masih harus tampak berpura-pura bahagia di depan calon ibu mertuanya—jika hubungan mereka berlanjut, yang Alisha sendiri belum begitu yakin sepenuhnya.

Calonnya saja belum menampakkan diri. Meski sudah mengetahui seperti apa target yang akan diawasinya itu lewat Mia, selaku operatornya. Langkahnya akhirnya membawanya kembali ke tempat makan tadi.

Tidak sengaja matanya bersirobok dengan Hilman. Ntah apa yang terlintas dalam benak Hilman, tetapi yang jelas, yang terlintas di benak Alisha adalah malu. Ya, malu. Dirinya tadi tanpa malu-malu sudah bergosip ria tentang sosok Hilman di toilet, dan baru diketahui kemudian ternyata ada yang menguping pembicaraannya dengan Mia.

Apakah pembicaraan dari awal, tengah, atau akhir? Baik Alisha atau Mia belum mendapat petunjuk apapun.

Bagaimana jika orang itu tahu?

Bagaimana jika Hilman yang menguping pembicaraan mereka tadi?

'Hah? Oh tidak, tidak!' batin Alisha dan tanpa sadar menggelengkan kepalanya berkali-kali, membuat tantenya heran dan bertanya, "Ada apa, Al? Kok, lama di toilet? Antri, ya?"

Berasa kembali kesadarannya, Alisha lantas menjawab, "Yah, begitulah." Dirinya kemudian kembali duduk di mejanya dan baru menyadari ada yang hilang di sana.

Hilman yang menyadari ada yang membuat resah Alisha, kemudian bertanya, "Cari apa?"

"Eh? Oh, ini ..., piringnya ke mana, ya?" tanya Alisha spontan. 'Siomay terakhir gue ilang ...,' batinnya.

"Oh? Tadi udah diambil sama pelayannya. Kirain udah makannya. Emang Alisha masih mau makan?" tutur tante Laras dan menawarkan memesan siomay lagi untuknya.

"Eh? Nggak, deh, gak usah, Tante. Hehe, Al cuma nanya aja, kok," jawab Alisha buru-buru, merasa tidak enak, meski dalam hatinya masih menyayangkan siomay terakhirnya raib. 'Kok, bisa-bisanya itu pelayan maen beresin aja piringnya. Siomaynya masih utuh pula!' batin Alisa lagi.

Mereka pun melanjutkan perbincangan yang tertunda, seperti kapan Alisha lahir, berapa jumlah saudara Alisha, apa makanan kesukaannya, hobinya, bahkan hingga soal pekerjaannya. Tentu saja, semua pertanyaan itu Alisha jawab dengan jujur, apa adanya, kecuali soal pekerjaannya. Alisha hanya menyebutkan pekerjaan sampingannya, sebagai penulis lepas di beberapa platform online.

Pekerjaan sesungguhnya terlalu beresiko, jika diungkap di awal perkenalan dengan calon ibu mertuanya. Siapa kira-kira mertua yang rela, memiliki menantu seorang agen mata-mata.

Misinya saja terkadang harus berpura-pura menjadi orang lain. Membahayakan diri sendiri. Mungkin itulah salah satu alasan, mengapa Alisha belum juga menikah. Dan alasan lain yang hanya para lelaki yang tahu.

Yang jelas, info tentang pekerjaannya bukan untuk disebarluaskan, apalagi baru calon mertua. Siapa tahu, ternyata calon mertuanya juga intelijen, senior, yang misinya bisa jadi berseberangan dengannya, bukan?

'Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki. Jika hilang tak akan dicari, jika mati tak ada yang mengakui.' Itulah sepenggal slogan Badan Intelijen Negara.

Badan Intelejen Negara (BIN), memang sengaja dibuat dan dirancang untuk tertutup, bahkan kepada pejabat negara sekali pun.

Sebagaimana fungsi intel, adalah sebagai agen yang harus mempertahankan kerahasiaan identitas dan tugas mereka, untuk itulah para intel ini direkrut justru dengan penampilan biasa saja—seperti Alisha yang hanya bekerja paruh waktu sebagai penulis, sama sekali tidak ada yang istimewa—,bahkan mereka yang terlihat 'biasa saja' ternyata menduduki posisi atau jabatan yang tidak semua orang akan menduganya.

Fungsi dari kerahasiaan dan tertutupnya BIN atau intel ini adalah untuk menjaga kerahasiaan informasi yang mereka dapat atau mereka sandang, dan demi keselamatan mereka juga.

Membayangkan jika dirinya terlibat dalam suatu misi berbahaya, lalu mertuanya tahu, pastilah bakal merasa khawatir setiap saat. Khawatir anaknya bakal menjadi duda, misalnya.

Bisa saja dirinya gagal dalam misi, kemudian tewas, dan tidak diketahui rimbanya, bukan? Yeah, meski mungkin suaminya nanti, bisa saja menikahi wanita lain sebagai pengganti dirinya, setelah dinyatakan meninggal atau hilang dalam tugas. Ah, terlalu jauh ternyata Alisha berpikir soal perjodohan ini. Belum apa-apa sudah merasa cemburu.

Bekerja di Badan Intelijen Negara sebetulnya, kalau Alisha mau jujur, merupakan salah satu pekerjaan yang bergengsi memang. Mertuanya pasti bakal bangga, jika tahu.

Bagaimana tidak, selain menyandang status sebagai agen rahasia atau intelijen negara, gaji yang diterima juga cukup besar. Itulah mengapa Alisha mencukupkan kerja sampingan sebagai penulis lepas saja, ketika dirinya tiba-tiba mendapat tawaran dari BIN—melihat potensi yang ada pada diri Alisha.

Tho, waktunya bakal banyak tersita untuk pekerjaan utamanya. Seperti hari ini. Akhir pekan yang seharusnya menjadi waktu baginya untuk menyenangkan diri sendiri, sebagai wanita lajang, yang belum terikat dengan lelaki manapun, mau tidak mau, dia harus berurusan dengan 'klien' yang ternyata malah tidak tampak batang hidungnya.

Tidak cukup di situ, kenapa hatinya tergerak pada sosok Hilman di hadapannya ini? Setiap kata yang diucapkannya bagai alunan syair yang melenakan dan membuai telinga.

Suaranya yang dalam dan berat. Ekspresinya yang datar malah membuat nilai plus sosok lelaki idaman. Semuanya tampak indah di netra Alisha. 'Ah, andai Hilman adalah Adrian, gue gak akan nolak perjodohan ini,' batin Alisha.

"Al?" Tiba-tiba suara dalam dan rendah itu memanggil namanya. Membuyarkan lamunannya. Disadarinya semua mata tertuju padanya. 'Waduh. Tadi lagi bahas apa, ya?' batin Alisha. Menyesal dirinya sedari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ya?" jawab Alisha spontan. Berharap mendapat clue, kenapa dirinya dipanggil tadi.

"Kita mau jalan di mall, kamu masih mau ikut, 'kan? Atau mau langsung pulang ke Bogor?" tanya tante Laras. Sepertinya menyambung panggilan Hilman tadi.

"Ikut aja, ya. Siapa tau, nanti Adrian bisa nyusul ke sini. Bagaimana?" ujar tante Regina, ikut menimpali, agar Alisha bersedia turut serta bersama mereka.

Alisha menatap sepupunya, Sari. Meminta pendapat. Meski seharusnya Alisha tetap ikut, agar misinya hari ini berhasil.

"Udah. Ikut aja, sih. Kapan lagi bisa jalan bareng kaya gini. Kan, belum ketemu juga sama Adrian." tutur Sari.

Mereka pun jalan dari food court menuju mall. Alisha sengaja berjalan bersama Sari. Dirinya masih berasa berdebar-debar jika beriringan dengan Hilman. Ada hati yang harus dijaga, untuk calonnya, yang baru ia lihat lewat foto profile.

Sungguh, pas foto ukuran 4R sekali pun, tidak bisa menunjukkan sisi fotogenik seseorang, kecuali beberapa. Alisha termasuk yang umum, tidak suka dengan pas fotonya, selalu berakhir datar, kaku, dan aneh.

Adrian dalam profilenya pun digambarkan sosok yang culun, kaku, dan seperti takut pada kamera. Di mata Alisha, Adrian tidak setampan Hilman. Tapi, entahlah jika nanti dia bertemu langsung dengan Adrian. Mungkin, penilaiannya akan berubah.

Sekitar dua puluh menit mereka mengitari mall di Paris Van Java Mall itu. Alisha sudah mengantongi dua stel pakaian. Kemudian mencari tempat duduk bagi pengunjung mall, bersama dengan Sari dan Hilman, sambil menanti tante Laras dan tante Regina menyelesaikan belanjanya.

"Maaf, terlambat datang," ujar seseorang. Seorang pria, tepatnya. Terdengar dalam dan berat. Serupa suara Hilman, namun sedikit berbeda dari aksennya.

Alisha spontan menoleh, mencari sosok pemilik suara tersebut. Adrian.

***

avataravatar
Next chapter