9 0009 Lamaran

"Alisha mau cerita sama tante, ada apa?" tanya Laras, mengambil posisi duduk di sebelah Alisha.

"Alisha mencintai Hilman, Tante," jujurnya. Membuat Laras terkejut. Tatapan sendu mata Alisha, membuat Laras paham, keponakannya bimbang. Sebagai anak perempuan satu-satunya, dan sudah ditinggal ibunya sejak usia belia, tentu tidak memiliki tempat untuk mengadukan tentang perasaannya sebagai wanita. Apalagi untuk menentukan pilihan hatinya.

Salahnya juga, kala mencoba membantu mencarikan calon suami untuk Alisha, Laras tidak bertanya terlebih dahulu tentang perasaannya. Dipikirnya, Alisha tertarik pada Adrian, sebagaimana Adrian tertarik padanya. Karena selama ini Alisha memang tidak pernah membahas hal ini.

"Alisha mau menolak lamaran Adrian, itu hak Alisha. Tante rasa, tidak apa-apa. Tho, ini baru awal, belum sampai menikah. Belum terlambat untuk mundur," tutur Laras, mencoba menenangkan Alisha dengan memberinya pilihan. Namun, Alisha menggeleng.

"Al gak bisa menolak, Tan," jawab Alisha lirih.

Terdengar suara ketukan dua kali di pintu.

"Maaf," ucap suara pria, membuat Alisha dan Laras membalikkan badannya, mencari tahu siapa yang mendatangi mereka.

"Boleh saya bicara dengan Alisha empat mata, Tan?" tanya suara itu.

"Boleh. Tapi jangan di kamar ini. Kalian bicaralah di halaman belakang, lebih terbuka," jawab Laras, kemudian membiarkan Alisha keluar dari kamar bersama pria itu.

***

"Alisha bintu Yahya. Kamu ingin mundur?" tanya Hilman kala mereka telah berada di halaman belakang. Duduk bersisian di sebuah gazabo kecil. Hilman sengaja memanggil Alisha dengan nama lengkapnya, memberi kode, bahwa tante Laras memperhatikan mereka dari jauh, percakapan mereka harus menggunakan kode juga.

Mata Alisha seketika berkaca-kaca. Menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak perasaannya. Perasaan yang sesungguhnya, bukan bagian dari penyamarannya. Karena hatinya tidak pernah bisa berbohong.

Jika Alisha maju, maka kesempatan memperjuangkan cintanya berakhir. Alisha tidak mungkin mengkhianati suatu ikatan suci antara dirinya dengan Adrian kelak. Bakal menjadi ujian yang berat, karena ia masih harus terus terhubung dengan Hilman. Setidaknya hingga misi selesai dijalankan. Berhasil atau tidak, Alisha tetap harus berhubungan dengannya. Apakah Alisha sanggup?

Jika mundur, maka selesai sudah tugasnya, yang bahkan dimulai saja belum. Tetapi, ia bisa terus berjuang untuk cintanya. Membuat Hilman jatuh cinta padanya. Menikah dengannya.

"Al, aku tau ini berat. Tapi kamu harus memilih, dan aku berharap kau memilih untuk tetap maju. Adrian lelaki yang baik. Percayalah padaku. Aku yakin kamu akan bisa mencintainya satu saat nanti," tutur Hilman.

"Apa tidak ada perasaan sama sekali dalam hatimu, Man?" tanya Alisha, satu bulir bening lolos dari sudut matanya. Dirinya tak mampu menahan emosi lagi.

"Please. Jangan menangis, Al. Aku yang akan mundur dalam 'urusan' ini. Agar kau tenang menjalankan 'pernikahanmu'," ucap Hilman seraya berdiri, mengabaikan pertanyaan Alisha. Mengakhiri percakapan. Keluarga mereka tengah menanti.

"Jangan. Jangan, kumohon," ucap Alisha seraya meraih tangan Hilman dengan kedua tangannya. Menggenggam tangan Hilman seperti ini mengalirkan sebuah rasa. Rasa itu menggelitik di jari jemarinya, menghangatkan hatinya. "Aku akan terima 'lamaran' kakakmu. Tapi kau jangan 'menjauhiku'," lanjut Alisha. Mengucapkannya dengan air mata yang sudah tak terbendung. Sekali lagi, ini bukan akting, tapi luapan perasaannya yang sesungguhnya.

"Berhenti menangis dan hapus air matamu. Kita kembali ke dalam," ucap Hilman, melepas genggaman tangan Alisha, kemudian melangkah memimpin di depannya.

Alisha dan Hilman berjalan menuju tempat Laras menunggu mereka, di depan pintu menuju ruang tamu, tempat para keluarga mereka tengah menanti jawaban Alisha. Laras kemudian merangkul keponakannya itu. Memberinya kekuatan.

Laras merapihkan terlebih dahulu penampilan Alisha, agar mata sembabnya tidak terlalu terlihat. Kemudian mereka masuk menuju ruang tamu. Hilman sudah bergabung kembali bersama keluarganya.

"Bagaimana?" tanya Dzakaria bertanya pada Laras, istrinya. "Kita lanjutkan?" Laras tersenyum mengangguk. Alisha duduk tepat di sebelahnya.

"Alisha bintu Yahya, om tanya sekali lagi, apakah Alisha mau menerima lamaran Adrian Aditya Pratama bin Yunus Pratama?" tanya Dzakaria mengulang pertanyaannya.

"Ya. Alisha terima lamarannya Adrian, Om," jawab Alisha lirih. Netranya menatap Adrian, yang sedang menatapnya juga, seraya tersenyum. Senyumnya menular, membuat Alisha pun turut tersenyum. Senyum yang tulus.

"Alhamdulillaah," jawab kedua keluarga mendengar jawaban Alisha.

Laras kemudian memeluk Alisha, merasa lega Alisha tetap memilih Adrian. Yang tidak diketahuinya, Alisha menangis dalam hati.

Acara kemudian dilanjutkan dengan membahas kapan dan di mana, hari pernikahan akan digelar.

Keputusannya, pernikahan akan dilangsungkan sebulan lagi. Memilih tempat pernikahan di sebuah ballroom di Puri Begawan, Bogor, yang merupakan sebuah gedung pertemuan dengan kombinasi gaya arsitektur Eropa yang sangat elegan dan mewah. Terletak di jantung kota Bogor, lokasi yang strategis dan dapat dijangkau hanya 30 menit dari Jakarta melalui jalan tol.

Tim Hilman sudah bersiap siaga di sana. Menunggu perintah dijalankan. Sesaat setelah mengetahui Alisha memutuskan menerima lamaran Adrian, dengan cekatan mereka mengatur tempat dan posisi, agar gedung itu aman dipergunakan. Menempatkan beberapa mata-mata yang sudah terlatih dalam hal penyamaran sedari awal, agar tidak terlihat mencolok dengan muka-muka baru yang tiba-tiba muncul di sekitar lokasi. Agar tidak kecolongan seperti hari ini. Mereka sepertinya sudah tidak segan-segan mulai menampakkan taringnya untuk menyerang Adrian.

"Abis ini, kita bahas undangan ya? Alisha dan Adrian sudah punya gambaran?" tanya Laras, tante Alisha memang sengaja ditunjuk untuk mengurus pernak pernik untuk pernikahan keponakannya. Termasuk menentukan model undangan.

"Yang sederhana aja, Tan. Yang penting, nama pengantin, tanggal, dan tempatnya jelas. Bagaimana, Al?" tutur Adrian, mencoba mencairkan suasana antara dia dan Alisha. Adrian tahu, Alisha merasa gugup hari ini.

"Iya. Apa aja, Al ngikut," jawab Alisha sekenanya, dirinya hampir hilang fokus lagi.

"Kalian berdua mau pilih warna apa?"

"Hijau,"

"Tosca,"

Jawab Adrian dan Alisha berbarengan. Membuat mereka saling melirik. Laras tersenyum melihatnya.

"Ya, udah, kita ambil hijau tosca aja, ya? Tante langsung pesen online, niy," ucap Laras, seraya menunjukkan design undangan dari katalog yang ada di website undanganunique.com

"Ya, boleh,"

Lagi-lagi, Adrian dan Alisha menjawab berbarengan. Membuat Hilman mendengus, geli, dan seketika Adrian dan Alisha menoleh ke arahnya. Tampak mereka berempat tertawa kecil.

'Satu langkah sudah berhasil dilewati,' batin Adrian.

"Oh, iya, cincin nikah. Ian udah siapin?" tanya Laras.

"Tinggal milih design dan ukurannya aja, Tan. Besok, kita ke sana," jawab Adrian enteng. Membuat Alisha terkesima. Adrian ternyata begitu yakin, bahwa hari ini lamarannya diterima Alisha. "Besok, kamu bisa, 'kan, Al?" tanya Adrian.

"Iya, bisa," jawab Alisha, mencoba tersenyum semanis mungkin, diliriknya Hilman sekilas, yang tengah sibuk memainkan ponselnya. Ntah hanya akting, atau memang bermain dengan ponselnya lebih menarik, ketimbang ikut dalam percakapan.

Urusan lamaran dan rencana pernikahan selesai, termasuk menentukan menu katering, yang dibahas antara Laras dan Regina, mereka berdua lebih ahli dalam menentukan menu yang akan dihidangkan untuk para tamu. Untuk pakaian pengantin, Adrian berencana akan memilihnya sekalian besok beserta cincin pernikahan. Setelah itu, mereka pun pamit dan pulang ke apartemen Hilman di Jakarta.

***

avataravatar
Next chapter