8 0008 Gundah Sebelum Perang

Tiga hari sebelumnya ....

"Maaf," ucap Alisha.

Hari itu, Alisha ditemani Mia, mengunjungi Hilman di rumah sakit. Dua hari setelah insiden di ruang rapat itu.

Hilman, baru saja meminum obat pereda sakit, kala ada yang mengetuk pintu tempat ia dirawat. Hari itu Hilman sudah diperbolehkan pulang, hanya tinggal menunggu administrasi rumah sakit selesai. Kesempatan ini dipergunakan Alisha untuk bergegas datang, dan meminta maaf. Atas kesalahpahamannya. Tidak mungkin bagi dirinya berkunjung ke apartemen Hilman, lagipula Alisha pun tidak mengetahui alamat tempat tinggal supervisornya itu.

Berdasarkan tes pencitraan, dengan computerized tomography scan (CT scan), Hilman disarankan dokter, menjalani operasi untuk mengembalikan bentuk dan fungsi hidung seperti semula—bedah rekonstruksi yang disebut septorhinoplasty. Jenis pembedahan ini biasanya akan dilakukan secara rawat jalan. Namun, setelah melakukan hal ini, hidung Hilman menjadi tampak bengkak dan memar. Alisha yang melihat kondisi atasannya seperti itu, makin merasa bersalah.

"Apakah sakit?" tanya Alisha, karena permintaan maafnya belum juga direspon.

Hilman duduk di ranjangnya. Sementara Alisha dan Mia duduk di kursi tamu.

"Kamu pikirkan saja sendiri!" jawab Hilman ketus.

"Apakah ini artinya saya ditarik dari misi, Pak?" tanya Alisha lirih, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kita di luar jam kerja. Apa harus menggunakan panggilan 'pak'?" protes Hilman, masih dengan nada ketus.

"Jika tidak ditarik. Aku yang mundur, kalau begitu," ucap Alisha, mengabaikan ucapan Hilman.

Hilman dan Mia tercengang dengan keputusan Alisha, padahal misinya dimulai pun belum. Semua yang sudah direncanakan dengan matang, akhirnya harus diatur ulang.

Pertama, karena insiden di Bandung, yang menyebabkan target terluka. Kedua, Hilman sebagai kepala misi juga terluka. Misi ini harus tetap dijalankan bersama Alisha di dalamnya, karena hanya Alisha kandidat yang cocok untuk misi kali ini, menggantinya dengan kandidat lain, butuh waktu lagi, dan belum tentu target mau menerimanya sebagai pendamping hidupnya. Hilman tahu, Alisha adalah tipe wanita yang akan mudah disukai Adrian, kakaknya. Hingga para petinggi, kemarin, memberinya kesempatan kedua, untuk tetap ikut dalam misi.

"Aku gak bisa, kalau sampai harus menikah dengannya," tutur Alisha jujur, membuka percakapan. Menarik kembali ucapannya tempo hari, karena emosi sesaat.

Hilman lalu memberi kode kepada Mia, agar meninggalkan mereka berdua, namun Mia terlihat enggan. Khawatir, Alisha akan lepas kendali lagi. Akhirnya Mia tetap berada di ruangan itu. Demi keselamatan rekannya.

"Alisha, kau tahu, saat mereka merekutmu, dan kamu menerimanya, maka detik itu juga, artinya kamu sudah siap menerima atas segala konsekuensi dari tugas yang akan diberikan. Apapun itu, meski berat, dan harus mengorbankan semua milikmu, termasuk perasaanmu, bahkan keluargamu sendiri." tutur Hilman.

"Apakah harus sampai menikah?" Alisha mengulangi pertanyaannya.

"Ya," jawab Hilman.

"Apakah harus sampai berhubungan badan juga?" tanya Alisha dengan sengit. Sorot matanya tajam menatap tepat iris mata Hilman, yang terkena seberkas sinar terlihat berwarna hazel. Sorot mata yang telah menghipnotisnya sejak awal perjumpaan mereka, selain kumis tipisnya yang kini tercukur habis, mungkin karena operasi yang harus dijalaninya kemarin .

"Pertanyaan macam apa itu? Kalian menikah, tentu saja akan berhubungan badan, kalau tidak, Adrian bakal curiga," jawab Hilman.

"Apakah harus seperti itu?" tanya Alisha mulai frontal seraya berdiri. Kedua tangannya terkepal di samping. Seketika Hilman dan Mia, waspada.

"Alisha," ucap Hilman, tidak tahu harus berkata apa, mencoba terdengar tenang dan tidak menyulut emosi Alisha.

"Apakah tidak ada cara lain?" sungut Alisha.

"Tidak. Alisha, dengar—," jawaban Hilman terpotong ucapan Alisha.

"Atau, apakah aku boleh bercerai dengannya setelah misi ini selesai?" Lagi-lagi, Alisha menuntut jawaban lebih dari Hilman. Sementara Mia, yang sedari tadi hanya duduk diam di pojokan, waspada siaga satu, menonton mereka berdua, mulai gelisah.

"Alisha!" bentak Hilman, ikut berdiri. Kesabarannya mulai habis. Mia yang mendengar bentakan Hilman ikut terkejut.

"Aku cinta kamu, Hilman!" ucap Alisha jujur terdengar meninggi, membuat Hilman dan juga Mia terperangah untuk yang kedua kalinya. Alisha tidak bisa membohongi perasaannya lagi. "Meski kamu melecehkanku kemarin, tapi akhirnya aku tau, kalau kamu lakuin itu hanya pura-pura, agar aku mau menikah dengan kakakmu," lanjutnya. Membuat Mia yang masih mengawasi di sana, tertegun. Menunggu tanggapan Hilman.

Hilman menoleh dan menatap Mia tajam, seolah bertanya, 'Apakah kamu yang membocorkan informasi?' Spontan Mia menggeleng pelan. Alisha paham bahasa tubuh Hilman dan Mia, kemudian melanjutkan perkataannya.

"Aku menyimpulkannya sendiri, kemarin. Aku banyak merenung," ucap Alisha cepat mengonfirmasi dari mana dia tahu trik Hilman agar Alisha bersedia menikah dengan Adrian, kakaknya.

"Aku udah usaha buat kamu benci sama aku, tapi ternyata kamu keras kepala," ucap Hilman.

"Ya! Aku memang keras kepala!" seru Alisha semakin sengit.

Hilman menghela napas berat, memejamkan mata seraya memijat pelipisnya.

"Tapi aku gak tertarik sama kamu!" jawab Hilman akhirnya.

"—" Alisha terdiam menunduk, bulir bening dari kelopak matanya meluncur membasahi pipinya.

"Kamu bohong!" ucap Alisha setengah berteriak.

"Alisha! Ini rumah sakit. Pelankan suaramu!" tegur Hilman.

"Aku mundur!" Alisha masih bersikeras dengan pilihannya dan ingin beranjak dari ruangan itu.

"Tidak bisa!" balas Hilman, Alisha tertegun.

"Kenapa?" tanya Alisha mulai menuntut.

"Karena kamu harus patuh dengan perintah atasan. Aku adalah atasanmu. Dan ini adalah perintah!" tutur Hilman emosi.

"Kamu, 'kan, adiknya. Apa susahnya meretasnya langsung. Kenapa harus melibatkan orang luar?" Alisha masih bersikukuh.

"Jika semudah itu, sudah kudapatkan dari dulu. Adrian cukup lihai menaruh dokumen-dokumen penting miliknya. Karena itu, kami butuh orang luar untuk melakukannya," jelas Hilman, kembali duduk di ranjangnya. Berdebat dengan Alisha membuatnya lelah dan nyeri di hidungnya terasa lagi.

"Al, tolong bantu kami. Demi negara," ucap Mia akhirnya. Mencoba membantu, membujuk Alisha.

"Baik. Tapi, begitu misi selesai aku ingin bercerai!" jawab Alisha akhirnya.

***

Tiga hari kemudian ....

Lamunan Alisha saat pertemuan terakhir dengan Hilman, seketika buyar kala Dzakaria, pamannya memanggil nama lengkapnya.

"Alisha bintu Yahya, keponakan om yang cantik. Apa mau menerima lamaran Adrian?" tanya Dzakaria mengulang pertanyaannya, karena Alisha masih belum merespon.

Hilman menatap Alisha dan berharap Alisha menerima lamaran Adrian, kakaknya. 'Lupakan tentang perasaan, ingat akan tugas,' batin Hilman, berharap Alisha bisa mendengarnya.

"Alisha ...," ucap Alisha lirih.

"Ya, sayang?" ucap Laras, tantenya.

"Alisha mau ke kamar mandi dulu. Permisi semuanya," jawab Alisha seraya berdiri dan meninggalkan dua keluarga itu dalam keadaan syok dan bingung dengan jawaban Alisha.

Alisha tidak pergi ke kamar mandi, namun masuk ke kamarnya, yang berada di lantai dua. Duduk di ranjangnya, menghadap ke jendela yang menampakkan pemandangan gunung Salak yang tertutup awan, meski cuaca cerah. Pandangan matanya kosong. Bingung. Hatinya gundah. Tidak ada yang tahu posisinya sekarang, antara tugas dan perasaannya. Dirinya enggan, menikah dengan orang yang tidak dicintainya, dan melepas orang yang dicintainya.

"Al?" panggil seseorang dari pintu kamarnya yang sengaja ia biarkan terbuka.

Alisha memutar badannya, dilihatnya tante Laras berdiri di pintu masuk.

"Boleh tante masuk?" tanya Laras meminta ijin. Alisha mengangguk memberi jawaban, dan kembali menatap keluar jendela.

"Alisha mau cerita sama tante, ada apa?" tanya Laras.

"Alisha mencintai Hilman, Tante," jujurnya. Membuat Laras terkejut.

***

avataravatar
Next chapter