16 0016 Elegi Hilman

Alisha memandangi cincin yang melingkar di kedua jari manisnya. Memutar-mutar cincin itu, menghilangkan kegugupannya. 'Duh, ini orang tadi ngajakin ke kamar, udah di kamar malah dianggurin,' batin Alisha.

Adrian melirik sekilas Alisha, ia sama gugupnya dengan Alisha, ingin memulai percakapan, tapi apa? Adrian bingung. Dia pikir akan lebih mudah akrab dengan Alisha, setelah tadi di bawah, saat mereka makan sore bersama, suasana terasa hangat.

Apakah karena ada Hilman di sana? Tiba-tiba hatinya terasa panas. Apakah Alisha masih menyimpan perasaan untuk adiknya itu? Pikir Adrian.

"Al,"

"Ian,"

Ucap mereka berdua bersamaan, pada akhirnya.

"Kamu dulu,"

Lagi-lagi ucap mereka berbarengan. Tampak Adrian menghela napas. Sementara Alisha memutuskan untuk pergi ke kamar mandi.

"Al, mau ke kamar mandi dulu," pamit Alisha, dan buru-buru beranjak dari ranjangnya. Pergi keluar kamarnya, menuju kamar mandi di luar. Tak lupa menutup kembali kamarnya. Meninggalkan Adrian sendirian. Alisha menarik napas dan membuang napas sejenak, setelah menutup pintu kamarnya. Berat!

Sepeninggal Alisha, Adrian lantas mematut dirinya di cermin yang menyatu dengan meja rias Alisha. Memandang pantulan dirinya di cermin. Bergaya so cool, menyugar rambutnya. Memasang senyum tiga jarinya. Berbicara sendiri, seolah-olah sedang berbicara berhadapan dengan Alisha.

Apapun Adrian kerjakan, untuk menghilangkan kegugupannya. Meski terlihat absurd. Ini yang pertama untuknya, tentu saja. Tiga puluh tiga tahun, memilih melajang, hingga tiba saat yang tepat, untuk melamar gadis pujaan hatinya.

Sepuluh menit, tidak terasa telah berlalu, terdengar suara knop pintu kamar Alisha diputar. Adrian buru-buru duduk kembali di ranjang. Seolah-olah dari tadi ia hanya duduk diam di sana. Memainkan kedua jempolnya. Napasnya masih memburu, karena tiba-tiba harus kembali ke posisi semula.

Wajah Alisha terlihat cerah sekembalinya dari kamar mandi. Duduk di depan meja riasnya, kemudian dengan santai, melepas anting-anting dari telinganya, sengaja mematikan alat komunikasinya, sebelum menaruhnya ke dalam kotak perhiasan. Adrian tiba-tiba sudah berada di belakang punggungnya.

Memegang kedua bahu Alisha dengan kedua tangannya. Turun perlahan ke lengannya. Menikmati sentuhan pada permukaan kulitnya. Wajahnya ia dekatkan ke wajah Alisha, hingga pipi mereka bersentuhan. Memperhatikan bayangan mereka berdua di dalam cermin, beberapa saat. Alisha dibuat diam mematung. Pikirannya menjadi liar.

Adrian lalu membisikan sesuatu di telinga Alisha, "Kau milikku mulai malam ini," dengan suara lirih, yang terdengar sensual. Membuat Alisha menegang dan susah sekali menelan salivanya. Jantungnya berdebar-debar.

ooo

"Matikan semua alat komunikasi," ucap Hilman lirih. Ia kini sedang berada di ruang kendali, di markas BIN sekarang. Memantau Alisha dan Adrian dari alat penyadap, yang sejak awal pertemuannya dengan Alisha, sengaja Hilman masukkan ke dalam tas Alisha, tanpa disadarinya hingga hari ini.

Hilman tahu, Alisha telah mematikan alat komunikasi di dalam antingnya. Tapi ia tidak mengetahui bahwa alat penyadap di tasnya akan selalu aktif, jika tidak dimatikan dari ruang kendali.

"Bapak yakin?" tanya Mia.

"Ya, beri mereka privasi," jawab Hilman, kemudian melangkah keluar dari ruang kendali.

Mia menyadari kegundahan hati bosnya, dan memberi kode kepada Arya, suaminya untuk membuntuti Hilman.

Hilman tampak keluar dari gedung kantor percetakan dan penerbitan, yang selama ini dijadikan kamuflase, sebagai markas BIN bagi timnya.

Hilman, setelah tiba di apartemnnya, kemudian berpamitan kepada ibunya, Regina, dengan alasan pergi ke kantornya, meski di akhir pekan. Karena ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda. Setelah mandi dan berpakaian, Hilman meluncur menuju markas.

Berjalan menyusuri trotoar di malam yang sepi. Langit malam yang tampak gelap, tanpa bintang, hanya rembulan yang menemani langkah Hilman, menuju sebuah kafe, yang letaknya tak jauh dari gedung kantornya.

Hilman masuk ke dalam sana, memesan minuman bening. Kemudian duduk menanti minumannya, di salah satu pojok kafe. Alunan musik jazz, menemani malamnya.

Tak lama, pelayan menghampiri Hilman dan menyuguhkan pesanannya di meja. Hilman menyesap sedikit minumannya. Mengurut dahinya.

"Aku tidak tahu, kalau Bapak minum sekarang," ucap suara pria, membuat Hilman mendongak.

"Ya, aku butuh minum. Mau menemani?" tawar Hilman.

Arya tertawa, kemudian berkata, "Dan beresiko diusir istriku, karena minum-minum?"

Hilman mendengus. "Aku lupa, bawahanku sudah menikah, dan sebentar lagi akan menjadi ayah." Hilman kembali menyesap minumannya.

"Betapa beruntung kau Arya, memiliki seorang istri, kemudian akan menjadi ayah. Lengkap sudah kebahagiaanmu, saat anakmu lahir nanti."

"Tapi, lihatlah aku. Aku atasanmu. Lebih tua darimu. Tapi kau ... melangkahiku, dengan menikahi Mia. Sungguh, kalian ini, bawahan tidak tahu diri." Hilman mulai meracau. Arya memilih diam dan mendengarkan.

"Hari ini, bawahanku yang lain, lagi-lagi melangkahiku. Wanita yang kucintai, harus kukorbankan. Ah, tidak, tidak, tapi kurelakan untuk kakakku satu-satunya. Demi sebuah misi konyol!" Tangannya terkepal dan memukul meja dengan keras.

"Padahal Alisha mencintaiku juga. Dia mengatakannya sendiri, kamu pasti tau. Tidak ada rahasia antara kau dan Mia. Saat aku di rumah sakit, karena ulahnya mematahkan hidungku, dan tanpa malu menyatakan perasaannya."

"Tapi apa yang aku ucapkan saat itu? Kamu tau Arya? Aku menolaknya!! Dan aku benci saat itu. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Alisha sudah lama dipersiapkan untuk misi ini! Tidak mungkin untuk mundur. Kakakku sudah lama mencintainya."

Hilman lantas beranjak. Dengan langkah gontai. Membuat Arya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Namun, Hilman menolak. Ia mengatakan akan kembali ke kantornya dan bermalam di sana.

Arya penasaran, jenis minuman apa yang diminum Hilman, sampai bisa membuat bosnya yang terkenal irit dalam berbicara, meracau seperti itu, padahal hanya satu gelas sloki saja. Itu pun tidak habis diminum. Apakah ini gelas kesekian?

Diambilnya gelas itu, Arya mengendus aroma minuman itu. Dengan melalukannya di bawah hidungnya. Tidak tercium bau alkohol. Penasaran, Arya menyelupkan jarinya ke dalam sisa minuman itu. Mengecapnya sedikit. Membuatnya tercengang.

Air mineral. Bosnya tidak mabuk. Hanya butuh berpura-pura mabuk agar bisa mengeluhkan perasaannya.

ooo

Hilman sudah kembali ke kantornya. Masuk ke dalam ruangan khusus untuknya, tempat ia biasa bermalam, jika ada kasus yang harus dipantau dua puluh empat jam.

Ruangan yang cukup nyaman, dengan single bad, satu lemari pakaian ukuran kecil. Nakas di sisi ranjang. Dan terdapat kamar mandi di dalam.

Hilman duduk di tepi ranjang. Menopang kepalanya. Ucapan Adrian kepada Alisha, kembali terngiang di kepalanya.

"Kau milikku mulai malam ini."

Hilman mematikan alat penyadap itu, bukan ingin memberi privasi bagi kakaknya dan Alisha. Namun, lebih kepada, ia tidak ingin tahu atau mendengar, apa yang terjadi pada malam pertama wanita yang ia cintai.

Membayangkan Alisha melewati malam pertamanya dengan Adrian, membuat hatinya panas. Hilman lalu beranjak ke kamar mandi. Membuka keran pancuran air. Dan membiarkan air itu membasahi seluruh tubuhnya. Air matanya meleleh.

Hilman, pria terkuat dalam agensi, jika bertarung tidak pernah kalah dari lawannya, ternyata bisa terkalahkan juga, oleh seorang wanita, bernama Alisha. Anak seorang Kapolri Jendral Yahya. Istri dari Adrian, kakaknya.

avataravatar
Next chapter