1 Line 1 (Bagian 1) : Penyusup

Pagi hari, London, 28 Maret 1816.

"Kau dengar, katanya Ratu Elizabeth menaikkan harga bahan pangan lagi!"

"Apa?! Ratu sudah gila, ya?! Kalau harga terus naik, terus rakyat kecil seperti kita makan apa? Makan batu?!"

"Sssttt...! Bagaimana kalau bangsawan itu dengar?!"

Seharian ini, keluhan itu selalu terdengar di telinga Albert. Tidak hanya di gang yang tengah ia lewati, tetapi di beberapa gang sempit lain yang dipenuhi oleh rakyat jelata, dan juga kota yang mayoritasnya adalah rakyat dengan ekonomi menengah kebawah terus mengeluhkan hal itu.

Rintihan dan keluhan para rakyat jelata itu membuat dirinya merasa malu sebagai seorang bangsawan. Walaupun ia diberkati kelimpahan harta oleh Yang Maha Kuasa, ia tidak dapat berbuat banyak.

"Tuan bangawan..., kumohon berikanlah kami kemurahan hati Anda...." tiba-tiba saja seorang wanita berpakaian compang camping menghampiri Albert. Sepasang mata emerald wanita itu terlihat kosong, seakan-akan sudah kehabisan harapan. Sedangkan kedua tangannya yang kurus kering, mendekap seorang gadis yang hampir tidak sadarkan diri.

"Tuan... aku mohon...," wanita itu hampir terjatuh karena lemas, tetapi dengan sigap Albert menyangga wanita itu dengan tubuhnya. "Oh, Tuan, maafkan aku..., aku sudah mengotori pakaian Anda,"

"Sudah, jangan pikirkan hal itu," Albert menatap sedih wanita itu, dan tersenyum lembut kepadanya, "Lebih baik, kita pergi ke dokter dulu. Kelihatannya, anakmu juga membutuhkan perawatan intensif,"

"Ta-tapi... aku tidak punya...,"

"Tenang saja, aku akan mengurus semuanya," ucapnya ramah. Lalu, ia membawa wanita tadi dan anaknya ke kereta kuda pribadinya. Awalnya wanita itu merasa benar-benar sungkan untuk masuk, tetapi akhirnya wanita itu bersedia masuk, setelah Albert meyakinkannya.

"Tuk... tuk...." Albert mengetuk langit-langit kereta kudanya dengan tongkat berjalan miliknya, "Bawa kita ke klinik dokter Shawn,"

Setelah Albert memberitahukan tujuannya kepada kusir, kereta pun berjalan. Saat itu, suasana di dalam kereta menjadi hening. Baik Albert maupun wanita itu tidak mengatakan sepatah kata apa pun. Hingga sebuah suara yang lemah tetapi nyaring, memecahkan keheningan.

"Mama..., di mana ini?" tanya gadis kecil yang baru saja sadarkan diri itu, sembari merangkul erat lengan wanita yang merupakan ibunya.

"Kita ada di kereta Tuan ini," ucap wanita itu sembari mengarahkan tangan kanannya pada Albert, yang masih memerhatikan keduanya, dengan sebuah senyuman yang terpajang manis di bibirnya. Tetapi, mata biru pemuda itu tidak benar-benar tersenyum.

"Namaku Albert Clarence," ucap Albert sedangkan tangan kanannya yang terbalut sarung tangan hitam hendak membelai rambut berantakan gadis kecil itu. Tetapi, sebelum Albert benar-benar menyentuh kepala gadis itu, tangan kurus gadis kecil itu menepis tangan Albert dengan kasar.

"Ba-bangsawan..., kenapa orang jahat seperti...,"

"Richelle! Apa yang kau lakukan?!" dengan segera wanita tadi membungkam mulut putrinya, dan menundukkan kepalanya dengan malu. "Mohon, maafkan kelakuan anak ini, dia... dia hanya...."

"Dia takut kepadaku," senyuman di wajah Albert seketika lenyap, digantikan dengan sebuah seringai yang terlihat sedih, "Ternyata aku tidak bisa membohonginya dengan senyuman palsuku,"

"Se-senyuman palsu?" wanita itu mendekap gadis kecil itu, dan menatap Albert dengan waspada.

"Ha-ha-ha! Tidak, bukan begitu...." sebentar, Albert tergelak. Tetapi dengan cepat ekspresi wajahnya kembali terlihat kelabu. "Itu, memang senyuman palsu. Tapi, aku tidak berbohong saat bilang mau menolong kalian, hanya saja tersenyum terlalu berat untukku,"

"Terlalu berat?" wanita itu mengerjapkan mata emerald-nya beberapa kali karena bingung.

"Ada beberapa hal yang telah terjadi,"

"Maaf Tuan?" wanita itu masih menatap Albert kebingungan.

"Lupakan saja. Ngomong-ngomong, kau belum memberitahuku siapa namamu," ucap Albert mengganti topik pembicaraan.

"Namaku Lily," lalu wanita itu membelai rambut cokelat putrinya, "Gadis kecil ini Rechelle,"

Tiba-tiba Rechelle kecil menatap menerawang kepada Albert, lalu beralih pada ibunya—Lily, "Mama, apa bangsawan ini baik? Kenapa Mama bicara terus sama dia?" tanyanya lugu, sambil menunjuk-nunjuk wajah Albert.

"Tenang saja Rechelle, dia bangsawan yang baik. Dia malah mau membawa kita ke dokter,"

"Membawa kita ke dokter? Apa nanti kita juga bisa makan?" tanya Rechelle bersemangat.

Dengan lembut Albert membelai rambut berantakan Rechelle, "Tentu saja. Aku akan meminta Shawn membuatkan makanan untuk kalian," ucapnya tulus, walaupun wajah tampannya tetap terlihat datar.

"Albert... terima kasih,"

Albert mengerjapkan sepasang mata birunya karena kaget begitu mendengar Rechelle memanggilnya tanpa embel-embel Tuan. Sedangkan Lily, wanita itu dengan segera menutup mulut putrinya dengan tangan kanannya. Senyuman di wajahnya terlihat kusut. Terlihat jelas, jika ia takut jika Albert marah dengan perilaku putrinya.

"Ma-maafkan dia, Tuan... dia...,"

"Sudahlah," tiba-tiba saja Albert memotong perkataan wanita itu, "Tidak perlu khawatir, aku tidak marah. Aku hanya merasa senang, akhirnya ada yang memanggilku tanpa embel-embel Tuan," ucapnya, masih dengan wajah yang datar.

"Senang, ya? Tapi... wajah Anda masih seperti itu," ucap wanita itu sedikit kecewa.

"Sudah kubilang'kan, ada banyak hal yang sudah terjadi,"

"Ngomong-ngomong... kenapa Tuan berada di gang kumuh kota London? Apa yang membuat Tuan datang ke tempat seperti itu?" tanya Lily penasaran.

Albert memajang sebuah seringai, "Hanya melihat sarang para tikus,"

"Hmmm?"

Tidak lama setelah pembicaraan itu, mereka akhirnya tiba di depan sebuah bangunan tua yang memiliki dua lantai yang cukup besar. Di dekat bangunan itu terdapat sebuah tiang yang bertuliskan, "Klinik kesehatan dokter Johan Shawn". Tidak salah lagi, bangunan yang hampir mirip seperti gedung berhantu itu adalah klinik milik dokter Shawn.

"Maaf kalau agak mengerikan, tapi tenang saja, Shawn adalah dokter yang hebat. Dia sudah menjadi dokter pribadiku selama dua tahun." Ucap Albert kepada Lily dan Rechelle yang menatap bangunan tua di hadapan mereka dengan ragu.

Setelah berhasil meyakinkan Lily dan putrinya, Rechelle, Albert menggiring mereka masuk ke dalam gedung tua itu. Lantai pertama adalah ruang registrasi, dan beberapa ruangan praktik yang diisi oleh beberapa dokter lain.

Di sana mereka melihat ada banyak pasien yang tengah mengantre. Dan hampir semua pasien itu adalah rakyat jelata seperti Lily dan putrinya.

"Tuan Clarence," panggil Lily ragu.

"Ya?"

"Jika aku tidak salah lihat, di sini tidak ada...,"

"Bangsawan?" potong Albert, lalu ia—Albert mengalihkan pandangannya pada Lily, dan melanjutkan, "Kau pikir para bangsawan mau diperiksa oleh dokter yang sama dengan rakyat jelata? Aku pikir tidak,"

"Kalau begitu..., kenapa Anda mempekerjakan dokter yang melayani rakyat jelata?" tanya Lily dengan sorot mata yang berbinar penasaran.

"Soalnya...,"

"Klinik ini milik Tuan Muda...." tiba-tiba saja sebuah suara yang terdengar cempreng memotong perkataan Albert. Begitu ia—Albert—membalikkan badannya ke arah datangnya suara itu, ia melihat seorang pria berambut cokelat ikal yang mengenakan jas putih khas dokter datang menghampirinya. Dia adalah dokter Shawn, dokter pribadi Albert.

Shawn melambaikan tangannya pada Albert, lalu begitu berada di samping pemuda berambut pirang itu, Shawn menepuk-nepuk pundaknya, dan berkata, "Ada apa Tuan Muda? Apa kau sakit lagi?"

Albert menatap Shawn dengan kesal dan menyingkirkan tangan kanan Shawn yang masih terus menepuk pundaknya, "Tidak. Hari ini, aku membawa pasien untukmu,"

"Wah... untukku? Mana-mana...? Biar aku lihat...." ucap Shawn dengan jenaka sembari memandangi seluruh penjuru klinik.

Albert mengarahkan telunjuknya kepada Lily dan Rechelle. Lalu Lily memperkenalkan dirinya dan putrinya, Rechelle kepada dokter Shawn. Tidak lupa, wanita itu juga menceritakan kejadian saat ia bertemu dengan Albert.

"Jadi begitu, ya? Hmm... tidak aneh kok, kalau Rechelle takut dengan Tuan Muda. Wajahnya saja seram seperti itu," ucap Shawn sembari membelai lembut kepala Rechelle.

"Maaf saja, tersenyum itu pekerjaan yang rumit bagiku." Albert melemparkan sebuah lirikan tajam kepada Shawn. "Sudahlah. Lebih baik kau segera membawa mereka ke ruang pemeriksaan. Mereka juga harus segera makan," ucap Albert sembari berjalan lebih dulu menuju ruang pemeriksaan milik Shawn.

Sementara Albert sudah jauh dari Shawn, Lily, dan Rechelle, wanita itu—Lily—menatap Shawn dengan penasaran. Bagaimanapun, Shawn terlihat sangat dekat dengan Albert. Padahal dia hanya dokter pribadinya, dan juga, menurutnya pria periang seperti Shawn tidak cocok bersama dengan pemuda dingin seperti Albert.

"Dokter Shawn, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanyanya ragu.

"Tentu. Tanyakan saja," jawab Shawn ringan.

"Hmmm..., kenapa dokter sangat dekat dengan Tuan Clarence? Padahal, kelihatannya Tuan Clarence bukanlah orang yang cukup ramah, Tuan Clarence juga seorang bangsawan... eh, tunggu... dokter juga bangsawan ya, maafkan aku, aku...,"

"Bukan kok," potong Shawn tiba-tiba.

Lily pun mengerjapkan matanya karena kaget, "Bukan?"

Shawn tersenyum lembut, "Dulunya aku hanya seorang rakyat jelata biasa, sepertimu. Tapi, suatu hari ketika Tuan Muda mengunjungi kediaman Tuanku yang dulu dan bermain catur bersama, Tuan Muda memergokiku membantu Tuanku bermain. Setelah permainan berakhir, Tuan Muda berkata, "Kau punya bawahan yang hebat Baron, kau harus menjadikannya orang yang lebih berguna," seperti itu,"

"Lebih berguna? Apa Tuan Albert menganggapmu tidak berguna?" tanya Lily agak kesal.

Shawn menggeleng lemah, "Tidak, tapi... itulah yang dipikirkan Tuanku. Tepat setelah itu, Tuanku menghukumku habis habisan. Dia bahkan mencambukku berkali-kali."

"Oh, ya Tuhan!" pekik Lily.

Tetapi dengan cepat Shawn mengubah suasana dengan senyuman riangnya. Lalu dengan nada menenangkan ia berkata, "Tapi aku bersyukur, karena kejadian itu, Tuan Muda jadi membeliku dari Tuanku yang lama, dan membantuku masuk ke sekolah kedokteran, begitu ia tahu jika aku ingin menjadi dokter yang hebat,"

Akhirnya Lily mengerti, mengapa Shawn begitu menyayangi Albert. Tidak seperti yang ia pikirkan, ternyata bangsawan berwajah dingin itu memiliki hati sehangat sinar mentari.

"Syukurlah kalau begitu,"

***

"Kalian lama sekali. Kalian kira sudah berapa lama aku berdiri di sini?"

Albert berdiri tepat di depan pintu ruang pemeriksaan itu dengan tangan bersedekap di dadanya, sedangkan kaki kirinya mengetuk lantai berkeramik putih kusam itu dengan pelan.

Lily tergelak kecil melihat kelakuan pemuda itu. Lalu ia masuk ke dalam ruangan itu dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya, dan berkata, "Anda selalu saja bersikap dingin, padahal sebenarnya tidak begitu. Benar-benar lucu,"

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada, Tuan Clarence," jawab Lily sembari sepasang mata emerald-nya menatap Shawn dan Rechelle yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu. Sepasang mata biru milik Albert pun mengikuti gerakan mata Lily, dan ikut menatap kedua orang yang baru saja memasuki ruangan itu dengan ekspresi bingung yang tidak dapat disembunyikannya. Tetapi dari pada menghilangkan rasa bingungnya, pemuda itu lebih memilih untuk meminta Shawn untuk segera memeriksa Lily dan Rechelle.

"Shawn, cepat periksa mereka. Jangan main-main, kalau terlalu lama mereka bisa mati kelaparan," ucap Albert dingin, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Kemudian, ia menghempaskan dirinya ke sebuah sofa tua yang ada di dalam ruangan itu, untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Shawn menatap Albert keheranan karena pemuda berambut emas itu hanya membaringkan dirinya di sofa. Padahal, biasanya setiap pemuda itu datang ke kliniknya, ia selalu tertidur di sana.

"Hmmm? Kau tidak tidur, Tuan Muda?" tanya Shawn sembari ia sibuk memeriksa keadaan Rechelle. Albert hanya menatapnya dengan malas, sebagai jawaban.

"Hah? Diam saja? Dingin sekali... padahal aku menghawatirkanmu, Tuan Muda. Kalau kau kurang tidur terus, nanti pertumbuhanmu terhambat loh, Tuan Muda...." goda Shawn dengan seringaian nakal di wajahnya.

Albert merasa kesal dengan ucapan Shawn, dan akhirnya ia bangkit dari sofa tempat ia berbaring, dan menghampiri dokter pribadinya itu dengan wajah yang kusut. "Kuingatkan lagi Shawn, aku baru berumur delapan belas tahun. Dan aku akan tumbuh lebih tinggi darimu!"

"Oh, benarkah? Aku akan menantikannya, Tuan Muda,"

"Ahk...," tiba-tiba saja Albert merasakan pening di kepalanya. Untuk sesaat, pandangannya pun terlihat kabur. Dengan segera, ia mencari sesuatu untuk diraih, agar ia tidak terjatuh.

Shawn menyadari ada yang tidak beres dengan kelakuan Albert. Tanpa berpikir panjang, ia meninggalkan Rechelle yang masih berbaring di atas ranjang, dan meraih tangan kanan Albert, untuk membantu pemuda itu agar tetap berdiri.

"Tuan Muda?!" pekiknya khawatir.

Albert menggeleng pelan, lalu mengangkat tangan kirinya dengan lemah, untuk menghentikan perkataan Shawn, "Aku hanya lelah. Jangan berteriak seperti itu, kau bisa membuat mereka ketakutan," Albert melemparkan sebuah lirikan ke arah Lily dan Rechelle, yang juga menatap mereka dengan bingung.

"Baiklah, tapi setelah memeriksa mereka, aku akan memeriksa keadaanmu, Tuan Muda," ucap Shawn sembari menggiring Albert menuju sofa tua tadi. "Tunggu sebentar,"

Shawn pun kembali berposisi di hadapan ranjang Recelle, dan melanjutkan pemeriksaan. Di tengah pemeriksaan itu, tiba-tiba saja Rechelle turun dari ranjang, dan menatap Shawn sungkan, dengan sepasang mata emerald-nya yang serupa dengan milik ibunya. "Dokter, aku sudah sehat! Jadi sekarang giliran Albert,'kan?" ucap gadis kecil yang baru saja menginjak tahun kesepuluhnya itu.

"Aku?" Albert mengarahkan ibu jarinya pada dirinya sendiri, "Kau lihat'kan, kalau aku ini baik-baik saja. Lanjutkan saja...,"

"Tidak! Wajah Albert terlihat lebih pucat dari pada aku dan Mama! Lihat saja di cermin!"

"Sssttt...! Rechelle, jaga ucapanmu!" marah Lily kepada anaknya. Rechelle pun merasa kesal dengan ucapan ibunya dan berlari ke arah Albert dengan wajah manisnya yang terlihat kesal.

"Albert...," pinta Rechelle, masih dengan wajah kesalnya. Tetapi kali ini sepasang mata emerald miliknya di hiasi oleh air mata.

"Huh!" Albert menghela nafasnya dengan kasar, lalu ia berjalan menuju ranjang pemeriksaan. Sebelum pemuda itu berbaring di atas ranjang, ia melepaskan coat hitamnya, dan mengeluarkan sebuah amplop besar yang cukup tebal. "Shawn, simpan ini," Albert menyerahkan amplop tadi kepada Shawn.

"Tapi... apa isi amplop ini? Hmm... mencurigakan," goda Shawn.

"Aku akan memberitahumu nanti," lalu ia melemparkan sebuah lirikan kepada Lily dan Rechelle yang menatapnya dengan khawatir, "Lebih baik, kau tutup mata gadis itu," ucap Albert dengan lirih. Lalu, dengan segera Lily melakukan perintah Albert.

Setelah memastikan mata Rechelle tertutup, Albert kembali melepaskan pakaian atasnya, hingga akhirnya tubuh bagian atas pemuda itu tidak tertutupi oleh selembar kain apa pun, kecuali perban putih dengan bercak darah yang melilit pinggangnya.

"Sudah puas?"

avataravatar
Next chapter