webnovel

Ada apa dengan Louis?

Louis, seorang manusia tanpa identitas itu, menyipitkan matanya. Tubuhnya gemetar di balik jubah. Parasnya yang kemarin mulus dipenuhi oleh luka bakar. Sementara Senika yang menyaksikan itu tersentak.

"Louis, bisa kau buka matamu?" cemas Senika, sambil menggolengkan leher Louis.

Ia pun mendekatkan jarinya ke lubang hidung Louis. Selepas itu, tangannya beralih ke sisi leher. Denyut nadinya teraba tak beraturan.

"Sebenarnya ada apa denganmu?"

Tak ada jawaban. Hanya deruan napas cepat yang terdengar.

"Sebentar, aku ambil air dulu!"

"Jangan!" cegat Louis. Ia menahan gaun Senika dan memohon, "Tolong ... di sini saja!"

"Tapi nanti akan lebih perih kalau dibiarkan!"

"Hah ... tidak ... butuh."

Rasa iba menahan Senika agar tetap tinggal. Ragu-ragu, ia melepaskan jubah Louis dan melonggarkan bajunya.

Ketika ia membukanya, penampakan mengenaskan terekspos. Luka bakar tadi terukir menyambung di sekujur tubuhnya: pada sepanjang lengan, kedua kaki, dada, dan perut. Anehnya, luka itu bukanlah luka biasa. Goresannya berkedut dan menyala-nyala. Nyalanya merah terang, layaknya api yang sedang melalap badannya.

"A-apa ini?!" sentak Senika. Seumur hidupnya, baru pertama kali ia melihat penyakit itu.

Louis megaduh, "Panas! Ah ... huh."

Menyadari situasi, Senika menyambar sekantong kecil karung goni. Ia mencari tanaman yang ternyata terbawa olehnya. Senika tak menyadari adanya kantong itu karena terlalu fokus berlari tadi.

"Sedang apa?"

Senika mengambil salah satunya dan mendesis, "Sssh, sebentar."

Dibelah kupasnya tanaman hijau yang pinggirnya berduri itu. Kala terbelah, terdapat jelly bening yang mengisi daunnya. Jelly itu bertekstur kenyal dan berlendir basah. Senika pun mengoleskan gel itu ke permukaan kulit Louis, sedangkan Louis menahan diri.

"Aww!"

Selesai mengoleskannya ke permukaan kulit, Senika menghindarkan tangannya dari Louis.

"Nah sudah. Ini adalah getah lidah buaya yang berkhasiat untuk luka bakar," jelasnya.

Louis tidak menanggapi Senika. Tubuhnya masih terbaring kaku.

"Arsy," panggilnya.

Gadis bermata biru itu mendengarkan. "Ya?"

"Bisa kau pegang aku sebentar lagi? " pintanya.

Senika menghela napas. Andai saja ia tidak sedang sakit, Senika tidak akan mau melakukannya. "Oke. Dimana?"

"Pipi."

Deg

Nguung

Sekelebat kilauan mengusik Senika. Kepalanya menjadi pusing seolah ada yang mengguncangnya.

"Sen, tolong aku! Panas! Aaah! "

" Lou ... aku akan menolongmu bertahanlah!" ngiangan suara Senika tidak jelas.

"Berikan tanganmu!" sosok itu menyentuhkan tangan Senika ke pipinya.

" ... sakit?"

Meskipun parasnya pucat, sang sosok tersenyum tipis, "Pelan-pelan, tidak lagi."

Senika mencoba mengangkat telapak tangannya.

"Jangan!" cegatnya.

"Hanya dirimu ... hanya kau harapanku."

"Aduhh!" Senika mengaduh. Diremasnya mahkota yang mengakar di kepalanya.

"Arsy?"

Panggilan Louis menyadarkan Senika. Lantas, Senika menyentuhkan tangannya ke pipi kanan Louis.

"Di sini!"

Louis meraih jemari Senika. Tangannya menggenggam lembut punggung tangan Senika. Lantas, ia mengarahkan tangan Senika ke tengah pipinya.

"Ugh!"

Ringisan Louis membuat Senika terenyuh. Dilihat-lihat, ia makin mirip dengan pengemis jalanan yang sakit keras. Betapa mengerikannya wujudnya. Penyakit aneh itu mengubahnya menjadi sosok makhluk lain.

Apakah orang-orang menjauh mendapati penampilannya seburuk ini?

"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" tanya Senika, seraya meraba-raba dahi Louis. Tanpa ia ketahui, telapak tangannya memancarkan hawa dingin yang mampu meredakan nyeri.

Louis yang terlarut nyaman berkata, "Iya, teruslah begini."

Senika membatu beberapa detik. Menyadari sesuatu, Senika cepat-cepat menarik lengannya. Dengan sarkas, ia membentak Louis. "Sempat-sempatnya mengambil kesempatan dalam kesempitan!"

"Apa? Tidak! Aku benar-benar sakit! Lihat?"

Louis mencondongkan dadanya ke Senika. Lengkungan luka yang tercetak di sana masih menyala jelas. Louis nampaknya tak berbohong dengan kata-katanya.

Memandang itu, Senika mendengkus, "Hah, sudahlah!"

Perlahan, Senika mengibaskan roknya yang berpasir sambil menjauhi Louis. Ia kemudian mengambil kantongnya.

"Ini!" Senika menyodorkan kantong itu ke Louis.

Louis yang kebingungan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia melontarkaan pertanyaan, "Untuk apa?"

"Seperti yang kulakukan tadi, oleskan saja getahnya ke luka itu. Perlahan, semua akan sembuh seperti sedia kala."

"Aku tidak butuh. Bukankah ini milikmu?"

Senika menatapnya kasihan, seolah ia tunawisma yang menolak bantuan.

"Sudah, ambil saja! Kau harus mencobanya. Itu manjur!" perintah Senika.

"Tapi-"

"Perlu kuantarkan ke dokter?" tawar Senika, sembari mengulurkan tangan.

Lelaki remaja di depannya tak mengindahkan. Ia memalingkan muka tanpa menjawab apapun.

"Kau harus dibawa ke dokter!"

"Tidak perlu. Mereka tidak bisa menyembuhkanku!"

"Tidak boleh begitu. Ayo!"

"Kubilang tidak bisa! Bahkan penyihir pun tidak akan bisa!"

"Kenapa kau yakin seperti itu?"

" .... "

"Kau tidak bisa menjawabnya?"

" .... "

"Kalau begitu suka tidak suka, aku akan .... "

"Dokter juga tidak mau mengobatiku!" teriak Louis.

"Mengapa?"

Senika yang keras kepala terus memaksa Louis sampai Louis mau menjelaskan. Ia merupakan tipikal orang yang tidak bisa meninggalkan anak kesakitan sendirian.

Louis yang bangkit dengan gontai memegangi bahu Senika. "Kau lihat?" rintihnya.

Sambil menahan napas, Louis menegaskan dengan lantang, "Aku mengerikan, Arsy! Aku ini monster!"

Louis refleks menutup matanya. Tak terasa, buliran air menetes dari pelupuk matanya. Rasa tercabik-cabik, perih luka yang menyayat hati, penderitaan; segalanya memuncak mengalahkan harga dirinya. Ia meluapkan emosi yang ia pendam sejak lama.

Jangan salah, jangan berasumsi bahwa lelaki itu harus selalu kuat. Bahkan lelaki sepertinya, yang kelak menjadi pemimpin pun juga bisa menangis. Tidak selamanya lelaki bisa menanggung beban berat. Lelaki juga ingin dimengerti.

"Selain kau. Selain dirimu tidak ada lagi yang mau mengobatiku," tutup Louis parau.

Louis menyembunyikan diri dengan kedua tangannya. Sedih, perih, bercampur malu, perasaan itu menjadi bersatu padu. Louis juga sedikit menyesal memperlihatkan sisi lemahnya di depan Senika-- yang notabene-nya seorang gadis yang lebih muda darinya.

Tanpa bertanya apa-apa, Senika menepuk bahu Louis . Sepasang mata berliannya berkaca-kaca. Senika seolah ikut merasakan apa yang dirasakan Louis. Perlahan, ia menyandarkan kepala Louis ke bahunya.

"Ya, aku mengerti," balas Senika dengan nada gemetar.

Senika pun mengelus lembut rambut legamnya. "Tapi sesungguhnya, kau itu bukan monster."

Keduanya pun berbagi penderitaan sore itu, di bawah pohon yang daunnya sedang melayu.

***

"Senika, kau habis menangis?"

Senika yang sudah duduk di depan Serena menjawab, "Ini alergi. Tadi aku bersin-bersin karena udara musim gugur."

Detik ini, keduanya sedang melakukan perjalanan pulang. Keretanya sudah selesai diperbaiki sehingga mereka dapat menggunakannya.

"Memangnya hal itu ada?"

"Haha, tentu saja," kekeh Senika.

Senika memandang jauh langit biru di luar jendela. Namun, pikirannya terpusat pada hal lain. Mungkin itu tentang Louis yang baru saja ditemuinya. Ia masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Louis. Penyakit aneh apa yang dideritanya. Tadi, ia tak bisa bertanya lebih jauh karena situasi yang tidak mendukung.

Terdapat rahasia juga mengenai Louis. Sepertinya Louis memiliki hubungan dengan Senika. Di tengah-interaksi tadi, tiba-tiba terlintas di benak Senika kejadian yang serupa.

Apakah sebelum Senika koma mereka pernah bertemu?

Berbagai misteri terpatri di dalam otaknya.

***

Keesokan paginya, Senika menyelinap masuk ke kamar Orwen.

"Ayah, sudah bangun?" tanya Senika.

Orwen yang masih setengah sadar mengerlingkan mata. Ia pun menyandarkan punggungnya ke bantalan. "Ada apa?"

"Ayah hari ini libur kan? Aku sudah bertanya pada Sir Rick."

Sir Rick adalah Pria tua berkacamata yang menjadi ajudan Orwen. Dialah yang memanggil dokter keluarga saat Senika baru siuman.

"Ayah sebenarnya meliburkan diri karena ...."

"Karena apa, Yah?" Senika bertanya.

"Pokoknya begitu," tegasnya.

Dalam hati Orwen, sebenarnya ia mengambil cuti agar bisa tidur panjang. Akhir-akhir ini atasannya di istana, Kaisar Brade Carlyle Dawnell, memeras seluruh tenaganya untuk bekerja. Pria tua bangka itu seperti diktator yang terus memerintahnya melakukan apa saja.

"Ayah tidak lupa kan dengan janji kita?"

Orwen yang kebingungan berusaha memilah kata. "Tentu saja," dustanya, yang padahal tidak tahu apa-apa.

"Bagus. Hari ini adalah hari spesial berkumpulnya keluarga kita. Maka dari itu, nanti kita piknik bersama, ya?"

Mata Orwen sontak terbelalak. Mulutnya menganga lebar. Saking tercengangya, kesadarannya meningkat sampai seratus dua puluh persen.

"Apa?!"

***