1 1. Kematian (1)

"Ahhh, akhirnya selesai juga."

Aku menjatuhkan pantatku di kursi belakang mobil. Sekretarisku, Lana, ikut masuk kedalam mobil dan duduk disebelahku. Tommy, supirku yang sudah siap dibelakang kemudi, menoleh dan memanggilku.

"Kembali ke hotel, pak?"

"Ya, langsung ke hotel. Aku tak mau berlama-lama disini." Aku melonggarkan kerah kemejaku. Lana mengambilkan air dingin dari freezer mobil untuk kuminum.

Aku baru saja menghadiri pemakaman ayahku. Seorang pemilik korporasi terbesar di dunia, Cloud One, yang juga merupakan seorang filantropis. Joseph Sigret, nama yang sudah sangat familiar di telinga hampir semua manusia di bumi. Namanya senantiasa menghiasi puncak daftar orang-orang terkaya di dunia setiap tahunnya, tanpa tergoyahkan. Sumbangan finansial yang diberikannya untuk alasan kemanusiaan pun selalu berjumlah fantastis. Dan tokoh sebesar itu baru saja meninggal. Sudah tentu pemakamannya sangat megah, dengan banyak media yang meliput setiap prosesinya.

"Selamat, Tuan Ephraim. Dengan ini anda resmi mewarisi Cloud One," ujar Lana sembari mengulurkan air dingin padaku.

"Jangan bercanda," aku meraih air dingin dari tangan Lana dan menenggaknya habis. "Kau tahu aku tidak pernah menginginkan Cloud One. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa kekangan si tua itu lagi."

Lana hanya tersenyum mendengar responku, mengingat keluhan itu sudah berkali-kali aku sampaikan padanya. Dan dia pun satu-satunya orang yang kupercaya untuk menerima keluh kesahku, karena orang-orang disekelilingku dipenuhi mata-mata ayahku.

Keluhanku bukannya tidak berdasar. Lahir di keluarga terpandang, segala gerak-gerikku dikontrol dan diawasi. Sejak kecil, aku tidak pernah memiliki kebebasan. Ayahku, Joseph Sigret, selalu mengatur jadwalku dengan sangat ketat. Aku dituntut untuk mengikuti semuanya. Bagaimanapun aku adalah putra pewaris satu-satunya kerajaan korporat Cloud One, jadi aku harus memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan untuk bisa mengelola Cloud One dengan sempurna. Sejak aku ditakdirkan lahir sebagai putra Joseph Sigret, aku tak lagi memiliki kehidupan pribadi.

Obsesi ayahku terhadap pertumbuhanku tidak cukup sampai disitu. Dia menetapkan sepuluh bodyguard hanya untuk memastikan aku mengikuti semua jadwal yang telah dia susun. Dia juga memperbolehkan para bodyguard itu untuk menggunakan kekerasan jika aku memberontak. Hidup dalam tekanan hebat seperti itu membuatku tumbuh dengan ketakutan alami terhadap ayahku. Aku tidak pernah bisa melawan kehendaknya. Tidak sekalipun.

Kecuali kematiannya.

Kematian Joseph Sigret, tokoh nomor satu di dunia bisnis, bukanlah kematian natural sebagaimana yang diberitakan media. Adalah aku, yang bertanggung jawaba atas hilangnya nyawa orang tua itu. Selama bertahun-tahun aku telah memberinya racun dalam dosis kecil, hampir setiap hari, melalui banyak cara. Kucampurkan dalam makanan dan minumannya. Kuoleskan pada alat makannya. Kutebarkan pada sikat giginya. Kukocok dalam botol obat tidurnya. Dan banyak lagi metode yang kugunakan untuk memasukkan racun kedalam sistem organnya. Aku hanya menggunakan dosis yang sangat kecil setiap kali, sehingga tidak terdeteksi tanpa pemeriksaan menyeluruh. Sedikit demi sedikit, racun itu mengganggu fungsi organ didalam tubuhnya, memperburuk kesehatannya, dan melemahkan sistem imunnya. Pada akhirnya, dia menderita komplikasi beberapa jenis penyakit akibat beberapa organnya gagal berfungsi. Dokter memvonis penyakitnya akibat pola makan yang tidak seimbang dan karena usia. Dan tak lama setelahnya, dia kehilangan nyawanya.

Lana, tentu saja, tahu akan semua rencanaku. Dia bahkan membantuku mengeksekusi sebagian diantaranya. Di mataa orang lain, dia hanya sekretarisku, namun bagiku, dia adalah tangan kananku, partner in crime-ku, dan kekasihku.

Setelah menyingkirkan botol bekas air minumku, Lana membuka berkas yang dibawanya dan mulai membacakan agendaku untuk hari ini.

"Nanti malam akan ada pertemuan direksi untuk membahas kepemilikan Cloud One. Meski hanya sekedar formalitas, anda masih harus menghadirinya. Setelah itu akan ada konferensi pers, yang dilanjutkan dengan makan malam bersama Nyonya Ziba."

"Batalkan makan malam dengan wanita itu. Si tua Joseph sudah pergi, aku tak perlu lagi berpura-pura bahagia dengan kehidupan pernikahanku," kataku sembari merangkulkan tanganku ke pundak Lana.

"Tuan Ephraim, tolong..." Lana menyingkirkan tanganku dengan sopan dan melirik kearah Tommy yang sedang menyetir.

"Hah, ayolah, si tua itu sudah pergi. Tak ada lagi yang kutakuti di dunia ini," kataku tanpa malu. Aku menggeser dudukku lebih dekat kearah Lana dan meletakkan tanganku di pahanya. Lana tersenyum kecil dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Tommy, kau bisa menutup mulut, kan?"

"Ah, ya, tentu saja bisa, Tuan," Tommy melirik ke kaca tengah dan menganggukkan kepalanya cepat. "Apa yang terjadi di dalam mobil ini tetap berada di dalam mobil."

"Bagus," aku tersenyum senang, "lagipula ini bukan hal besar. Hanya masalah rumah tanggaku saja. Kau cukup memalingkan muka untuk bisa membawa pulang bonus tambahan setiap bulan."

"Terimakasih Tuan, terimakasih," Tommy terdengar sangat gembira. "Saya sangat paham Tuan, saya sendiri kadang mencari gadis panggilan jika bosan dengan istri saya."

"Hahaha! Kau betul-betul paham rupanya," aku tertawa. Supirku ternyata cukup nakal juga. Aku tersenyum menatap Lana. Namun alih-alih menatap mataku, pandangan Lana malah tertuju keluar mobil, tepatnya di perempatan yang akan kami lalui.

"Lana, apa yang..." kalimatku terputus saat melihat apa yang datang dari arah kanan jalan. Sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi kearah mobil kami.

"Tommy!"

Tommy yang kemudian sadar akan keberadaan truk tersebut segera menginjak rem. Namun seolah ingin menabrak kami, truk tersebut berbelok tepat kearah mobil kami yang mulai berhenti.

Tubuhku terlempar kesamping dan kursi di bagian depan mobil menggencet tubuhku dengan kuat. Tubuhku terombang ambing seiring dengan mobil yang berputar tak terkendali akibat hantaman dari truk itu. Entah berapa tulangku yang patah, entah berapa kali kepalaku terbentur. Yang kutahu selanjutnya adalah aku terbaring tak berdaya dengan tubuh penuh rasa sakit. Pandanganku berkunang-kunang, mencoba melirik kesana kemari karena aku tak bisa menggerakkan kepalaku. Sekilas kulihat tubuh Tommy yang remuk, dan interior mobil yang sudah tak berbentuk. Anehnya aku tidak melihat Lana disampingku.

"Lana..." aku merintih memanggil sekretarisku itu. Sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki mendekat.

"Kau masih hidup?" suara Lana terdengar dari luar mobil. Dengan susah payah aku mencoba melihat kearah suara tersebut berasal.

"Kau... Apa yang terjadi?" Rintihku. Bagaimana bisa Lana ada diluar mobil?

"Wow, refleks Tommy bagus juga. Berkatnya kau masih hidup, dan mungkin masih bisa diselamatkan, walaupun Tommy sendiri harus mati mengenaskan."

Pikiranku masih kabur, jadi aku belum benar-benar bisa mencerna apa yang dikatakan Lana. Aku hanya bisa mencoba mengulurkan tanganku keluar, meraih Lana yang terlihat di sudut mataku.

"Lana... Tolong..."

"Untuk apa?" Lana tersenyum simpul. "Tidak sadarkah kau aku mencoba membunuhmu?"

Kepalaku terasa sangat sakit. Bukan hanya dari luka yang kualami, namun juga dari usahaku memikirkan apa yang saat ini sedang terjadi.

Tepat sebelum truk itu menghantam kami, fokus Lana ada pada truk tersebut. Namun alih-alih memperingatkan Tommy, Lana justru diam saja. Dan sekarang, saat truk menghantam mobil, Lana sudah tidak lagi berada di dalam mobil. Itu berarti Lana melompat keluar dari mobil tepat sebelum truk menabrak mobil kami.

"Ke... napa...?" Aku benar-benar merasa bingung. Lana mencoba membunuhku?

"Kau benar-benar tanya kenapa? Coba kau lihat lagi apa yang sudah diperbuat oleh ayahmu. Apa yang sudah diperbuat oleh Cloud One."

Aku meringis kesakitan. Apakah ini semua tentang sisi buruk Joseph Sigret, tentang sisi buruk Cloud One yang tidak banyak orang mengetahuinya?

"Kalian mengeksploitasi manusia demi kekayaan pribadi, demi harta. Semua kemewahan yang kau nikmati berasal dari darah mereka yang kalian manipulasi, yang kalian manfaatkan, yang kalian tindas! Sudah bagus manusia laknat biadab itu mati, menyisakan kau sebagai satu-satunya keturunan. Aku memutuskan untuk melenyapkan kau juga, memutus garis kuturunan Sigret dari muka bumi ini. Kalian hanya membawa bencana bagi kemanusiaan. Sudah waktunya kalian enyah dari dunia ini!"

Aku merasakan kebencian yang amat sangat dari teriakan Lana. Hatiku teriris sakit, dikhianati satu-satunya orang yang kupercayai, namun aku juga paham darimana kemarahannya berasal.

Cloud One bukanlah korporasi yang baik, sebagaimana imej yang berusaha dibangunnya. Cloud One banyak melakukan praktik-praktik ilegal untuk mencapai tujuannya.

Eksploitasi sumber daya manusia untuk menekan biaya produksi.

Menjatuhkan perusahaan saingan dengan fitnah dan kampanye hitam untuk memastikan monopoli.

Melepaskan senjata biologis untuk meningkatkan penjualan obat.

Memelihara konflik di beberapa negara yang terlibat perang untuk menjaga pendapatan dari jual beli senjata api.

Dan masih banyak lagi hal-hal keji yang dilakukan Cloud One dan Joseph Sigret. Tidak terhitung berapa kali kami berusaha menutup mulut orang-orang yang mengetahui rahasia Cloud One. Kami bahkan memiliki divisi rahasia yang satu tugasnya adalah untuk berurusan dengan orang-orang yang mengetahui keburukan Cloud One.

"Sudah terlalu banyak yang telah menjadi korban kejahatan kalian. Ephraim Sigret, aku telah menyamar dan bekerja sebagai sekretarismu selama 7 tahun. Aku sangat tahu bagaimana kau tidak berdaya melawan ayahmu. Aku juga tahu kau tidak selicik ayahmu dalam berbisnis. Tapi aku tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkanmu hidup dan melanjutkan garis keturunan Sigret. Terimalah kematianmu dengan tenang dan nikmati kebebasan yang akan segera kau dapatkan."

Setengah sadar aku mendengar kalimat terakhir Lana. Memang benar apa katanya, kematian adalah salah satu bentuk kebebasan. Namun, apakah ini benar-benar kebebasan yang aku inginkan?

Dengan satu pertanyaan terakhir itu melintas di kepalaku, kesadaranku pun hilang dan semuanya menjadi gelap.

avataravatar
Next chapter