1 Ingat, dia sahabatmu, Sakura

"Berpura-pura tak mencintai seseorang itu lebih menyiksa, ketimbang bersikap seolah mencintai."

Sakura Haruno

---

"Buuu, Sakura berangkat," pamitku pada Ibu sambil berlari keluar gerbang rumah.

Ya ampun, aku pasti terlambat. Ini semua karena Sasuke yang mengajak begadang dengan meminta menemaninya belajar di telepon semalaman. Akibatnya, aku telat bangun tadi pagi.

Seperti dalam cerita novel saja, mengawali hari dengan berlari ke sekolah karena takut terlambat. Aaargh, awas kau, Sasuke!

---

Setelah bus berhenti di halte sekolah, aku segera berlari keluar menuju sekolah. Ya ampun, sepertinya aku sedang sial sekarang, gerbang sekolah sudah ditutup. Huft, pantas saja. Saat aku melihat jam di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul setengah delapan lebih. Bagus, Sakura, rekor baru untukmu.

"Terlambat, eh?" seru seseorang dari arah sampingku.

Suara ini ....

"Sasuke? Kenapa kau ada di sini?"

Dia bersandar di pembatas gerbang sambil menyilangkan kedua tangannya di dada sambil memasang wajah datar. Dia Sasuke, tetangga komplek sekaligus sahabat kecilku. Aneh, seharusnya ia tak terlambat 'kan, biarpun iya, pasti dia bertemu denganku di jalan, atau dia diantar Ayahnya naik mobil? Atau diantar Kakak lelakinya naik motor? Ya, mungkin saja, tidak mungkin 'kan dia--

"Menunggumu," jawabnya dengan wajah datar. "Kau lama sekali."

Menungguku? Apa? Serius? Dasar gila! Dia memilih terlambat dan membuat namanya ada di daftar peringatan demi menungguku? Aneh.

"Menungguku?" Aku heran padanya, sebenarnya isi dari kepalanya itu apa sih? Selain otak dan jaringan lain tentunya. "Kau gila? Jika ingin menungguku, di dalam saja."

"Aku khawatir kau tak datang, jadi aku menunggumu di sini."

"Kau curiga aku akan membolos?"

Ada-ada saja dia ini. Aku hanya mengembungkan pipiku sambil menatap tepat di kedua matanya.

Ooh, itu benar. Aku berkacak pinggang seolah menantangnya, teringat penyebab kenapa aku bisa sampai terlambat hari ini dan membuat hatiku kesal.

"Lagipula Sasuke, aku harusnya marah padamu."

Dia mengangkat alisnya, masih dengan wajah datarnya. "Kenapa?" tanyanya heran yang kini mengerutkan kening, "Apa salahku?" lanjutnya.

"Kau yang membuatku terlambat bangun, kemarin aku begadang karena menemanimu belajar di telepon."

"Itu bukan salahku, kau saja yang tidak tahu waktu."

"Apa? Jelas--jelas ini salahmu."

Aku menunjuk dengan telunjukku tepat di depan wajahnya.

Dia meraih telunjukku lalu menurunkannya. Masih dengan memegang jariku, ia berkata, "Dengar Sakura, menyalahkan orang lain itu tak baik."

"Siapa yang menyalahkan orang lain? Aku berkata yang sebenarnya."

Aku memanyunkan bibirku, dia itu ya, selain dingin, cuek, juga tak peka. Siapa yang tidak kesal coba dengan sikapnya. Untung aku penyabar.

"Kalau saja kau tak memintaku untuk menemanimu, pasti aku tak akan begadang."

"Lalu, kenapa kau mau?"

Tuh 'kan, selain sifatnya yang dingin, cuek, dan apalah itu, dia juga pintar bicara. Seolah aku yang salah di sini.

"Lagipula, kenapa kau menungguku di sini sih?"

Aku menggerutu heran dengan sikapnya yang kadang membuat kepalaku tak bisa mengartikannya, eh, bukan kadang, tapi sering malah setiap hari.

Dasar aneh, dia malah tertawa mendengar gerutuanku. Memang apanya yang lucu? Aku sedang marah padahal.

---

Dia Sasuke Uchiha, lelaki kelas 1 SMA yang langsung populer di kalangan para siswi karena wajah tampan dan harta kekayaannya. Meski begitu, dia bersikap seolah mereka angin lalu, tak mempedulikan mereka, dan bersikap tak acuh. Anehnya, para siswi yang mengidolakan Sasuke semakin banyak dan bertambah setiap waktu.

Sahabat kecil yang kukenal karena kami bertetangga. Lelaki yang menemani keseharianku, mendengar curahan hatiku saat aku galau, membujukku dengan cara apapun saat aku merajuk. Dia lelaki yang membuat duniaku berubah, termasuk hatiku.

---

"Berhenti menggerutu, telingaku panas, Sakura," omel Sasuke tanpa melihat ke arahku.

Aku semakin memanyunkan bibirku. Menatap ke arahnya yang sibuk mengepel lantai aula. Tak ada niat sedikit pun untuk menggerekan alat pel di tanganku ini. Ya, kami berdua dihukum mengepel lantai aula yang luasnya sama seperti lapangan sepak bola. Berlebihan? Tapi, itu kenyataan.

Tadi pagi sebenarnya kami berniat masuk lewat gerbang belakang yang sepi dan tak ada penjaga. Sialnya, Guru Tsunade entah kenapa bisa ada di hadapan kami saat kami berhasil mendarat dengan selamat setelah memanjat gerbang. Alhasil, kami berakhir di sini, dengan alat pel dan ember berisi air.

"Seharusnya tadi kita tidak lewat gerbang belakang."

"Terus saja salahkan aku, Sakura. Terus saja, sampai kamu puas." Sepertinya Sasuke jengkel dengan ocehanku.

"Aku tak menyalahkanmu."

Tanpa berniat melihat ke arahku. Dia mengomel, "Terus saja kamu menyangkal itu semua."

Apa-apaan dia, aku tak mengalahkannya. Aku hanya mengutarakan penyesalanku karena melewati gerbang belakang. Seharusnya tadi aku membolos saja.

Dia masih fokus dengan pekerjaannya, tidak denganku yang malah melamun sambil melihat ke arahnya. Entah sejak kapan hatiku berbeda padanya. Perasaan ini tak lagi sama seperti dulu.

TUK

"Aw!"

Dia menyentil dahiku dengan telunjuknya. Tak tahu 'kah dia, ini sakit sekali.

"Kau malah melamun dibanding menyelesaikan tugasmu," gerutunya masih dengan wajah datarnya. "Kau ingin aku yang mengepel aula ini sendirian? Dasar tak berperasaan," lanjutnya yang malah terdengar lucu.

"Hihi ...."

"Kenapa kau malah tertawa?"

"Tak apa, hanya saja ekspresimu lucu."

Dia mengerutkan dahinya tak mengerti. "Lucu apanya?"

"Kau menggerutu dengan wajah datarmu. Itu sama sekali tidak cocok."

Aku terus tertawa membayangkan ekspresinya tadi. Ayolah, coba kalian lihat wajahnya sendiri. Bahkan aku tidak tahu dia itu marah, kesal, atau tak acuh. Sama sekali tak terlihat.

Aku langsung berhenti tertawa saat kedua tangannya menangkup wajahku. Apa? Kenapa dia melakukan ini?

"Apa aku harus menciummu dulu baru kau akan berhenti tertawa?"

Meski ia mengatakan itu dengan wajah tanpa ekspresi, tapi sukses membuatku diam membeku.

"BAGUS KALIAN BERDUA! MALAH BERNIAT BERCIUMAN DI SINI!" teriak seseorang dari arah pintu masuk aula.

Kami langsung menoleh ke arah pintu masuk dengan kedua tangan Sasuke yang masih menempel di wajahku.

"Guru Tsunade?"

Matilah kami!

---

Huft, karena kejadian tadi, Guru Tsunade jadi salah paham pada kami. Salah siapa coba? Tentu saja Sasuke. Kalau saja tadi dia tak memegang wajahku, hukuman tambahan ini tak akan didapat. Ya, itu benar.

Aku ... maksudku kami, diberi hukuman lagi harus membersihkan toilet dengan alasan kami akan berbuat asusila. Asusila apanya? Dia 'kan ... eh, jika dipikir-pikir Sasuke berniat menciumku, itu berarti ... kyaaa, dia berusaha melecehkanku. Seharusnya aku menjadi korban di sini. Kenapa aku juga dihukum? Ini tidak adil. Aku ingin menangis.

Tak ada niat sedikitpun untuk mengepel lantai toilet perempuan ini. Aku lebih mengasihani nasib sialku.

Lalu terdengar suara pintu toilet terbuka dan langkah kaki yang mendekat.

"Sakura? Kau sedang apa di sana?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Ino, dia teman sekelasku. Bisa dibilang dia sahabatku di sekolah ini, mungkin bisa dibilang seperti itu.

"Kenapa berjongkok di depan bilik?" tanyanya keheranan, terlihat dari keningnya yang berkerut. "Jangan bilang ...."

Wajahnya berubah mengerut jijik, apa yang dia pikirkan? Aku hanya berjongkok di depan bilik wc dengan ember berisi air dan alat pel di sampingku.

"Kau buang air di celana?" tebaknya asal.

Aku langsung berdiri, dan berteriak, "Hei, jangan bicara sembarangan."

"Habis ... kau malah berjongkok di depan bilik. Aku 'kan jadi curiga."

"Hanya otakmu saja yang akan berfikir seperti itu." Aku sengaja berucap kasar bermaksud menyindirnya. "Lagipula, kau tak lihat ada ember dan alat pel di sampingku?"

"Ooh, lalu? Apa hubungannya?"

Aku refleks menepuk keningku, saking kesalnya pada Ino. Sialnya itu terlalu keras, itu sakit sekali ....

"Ya ampun, sudahlah lupakan. Lebih baik aku mengepel saja."

Aku langsung mengambil alat pel, memasukkannya ke ember yang sudah berisi air, lalu memerasnya agar tidak terlalu basah, dan langsung mengepelkan pada lantai yang ingin dibersihkan.

Itulah cara mengepel yang baik dan benar. Jika ingin lebih bersih dan wangi, kalian bisa mencampurkan cairan pembersih lantai secukupnya ke dalam ember berisi air. Alasan aku tidak pakai cairan itu, karena malas saja, jika sedang rajin aku selalu mencampurkannya. Sekian tips dariku.

IKLAN MACAM APA INI???

"Sejak kapan kau jadi cleaning service?"

Abaikan dia, Sakura ... abaikan dia ....

"Hei, jawab aku. Jangan mengacuhkanku." Dia berjalan menghampiriku. "Hei, Sakura,"

"Kenapa kau ada di sini, Ino? Kenapa tidak di kelas? Kau membolos?"

Aku berusaha mengalihkan topik sebelumnya sambil terus mengepel lantai toilet tanpa melihat ke arahnya. Bisa-bisa obrolan tadi tidak akan ada habisnya karena otak lemotnya.

"Ooh, itu benar, aku mau pipis, hehe," jawabnya enteng seolah yang ia katakan itu wajar.

Pipis? Kenapa dia tak lakukan dari tadi? Kenapa ia harus membicarakan hal konyol dulu padaku? Aaargh, aku baru ingat, selain Sasuke, ada Ino yang selalu membuatku kesal.

"Sudah selesai," serunya saat ia keluar dari bilik wc di ujung. "Aku duluan, Sakura," pamitnya dan langsung beranjak keluar.

Apa--apaan sikapnya itu? Dia bersikap seolah tadi tidak terjadi apa--apa. Mudah sekali dia lupa. Dasar!

Tak lama setelah kepergian Ino, pintu toilet kembali terbuka. Dia bukan siswi lain apalagi Ino yang kembali. Orang itu Sasuke, dengan membawa ember dan alat pel di tangan kirinya.

"Sakura, kau sudah selesai?" tanyanya saat ia menatap tepat ke arahku.

Tidak tahu kenapa aku merasa perhatian kecilnya yang entah ia sadari atau tidak, selalu berhasil membuat hati dan yakinku goyah.

avataravatar
Next chapter