1 AWAL CERITA: CUCUKU SEDIKIT LEBIH MUDA DARIKU

Keluarga adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan yang erat sekali. Bisa juga dalam arti orang-orang yang memiliki hubungan darah atau garis keturunan walau hubungannya tidak erat. Dalam keluarga, ada berbagai macam jabatan atau disebut posisi. Seperti kakek, nenek, ibu, bapak, saudara, paman, bibi, kakak, adik, dan sebagainya. Posisi kakek atau nenek akan didapatkan apabila memiliki seorang cucu. Posisi bapak atau ibu akan didapatkan apabila memiliki seorang anak. Posisi kakak atau adik akan didapatkan apabila memiliki saudara yang lebih tua atau muda. Dan beberapa syarat lainnya agar mendapatkan posisi yang disebutkan di atas.

Biasanya, posisi yang identik dengan seorang kakek atau nenek adalah orang yang umurnya sudah tua sekali. Bahkan penampilan mereka sudah bisa memberikan cerminan berapa usia mereka. Tapi, melihat kembali lebih dalam artinya. Posisi menjadi kakek atau nenek bisa didapatkan bukan hanya dari umur, tapi dari posisi silsilah keluarga. Punya anak, anaknya ini punya anak sehingga dianggap menjadi cucu.

Selain itu, ada satu syarat yang kuketahui agar bisa menjadi seorang kakek atau nenek. Saudaranya, kakak atau adik punya anak yang disebut keponakan. Lalu, keponakan ini memiliki anak sehingga bisa dianggap cucu. Otomatis, anak ini akan memanggil ke saudara ayah ayahnya dengan kakek atau nenek.

"Kakek, ayo bangun!" ucap seseorang berusaha membangunkanku. "Sarapannya sudah siap!" lanjutnya sambil menggoyang-goyang tubuhku dengan lembut.

"Lima menit lagi," balasku masih menutup mata.

"Kakek harus bangun sekarang! Kalau tidak cepat, nanti bisa telat!"

"Tiga menit…"

"Tidak, harus sekarang!"

Selimut yang sedari tadi melindungiku dari hawa dingin sekarang langsung ditarik oleh orang yang membangunkanku ini. Aku pun terpaksa membuka kelopak mata ini, karena kehangatan yang menyelimutiku hilang dan digoyang-goyang sedikit lebih keras dan cepat.

"Iya aku bangun sekarang," ucapku membangunkan tubuh sambil menggosong kelopak mata.

"Nah, begitu dong. Aku duluan ke bawah, ya!"

Setelah selesai menggosok kedua kelopak mataku, aku membukanya dan melihat seorang gadis berambut hitam pendek dengan seragam putih dan rok abu-abu selutut, berlari kecil keluar kamarku tanpa menutup kembali pintunya.

Gadis itu adalah cucuku, dalam arti silsilah, bukan berarti aku punya anak dan memiliki cucu. Namanya Rani Purnama. Dia sedikit lebih muda dariku, yaitu 16 tahun. Sekarang dia menginjak kelas 10 atau 1 SMA. Sedangkan aku, 17 tahun, tepatnya kelas 11 atau 2 SMA.

Aku bisa menjadi kakeknya karena, ibuku, yang merupakan nenek bapak Rani mengadopsiku menjadi anaknya. Orang tuaku, keduanya sudah meninggal saat aku berumur 7 tahun akibat kecelakaan. Aku yang merupakan anak tunggal sangat bersedih, tidak memiliki kakak yang dapat mengihiburku atau seorang adik yang membuatku menjadi tegar. Ibu adalah anak tunggal dan keluarga bapak sudah meninggal semuanya. Jadi, tidak ada anggota keluarga yang bisa merawatku. Aku pun dibawa ke panti asuhan oleh Pak RT, dengan segala kebutuhan ditanggung olehnya dan tetangga-tetangga yang mau membantuku.

Lalu, saat umurku 8 tahun. Seorang wanita tua datang ke panti asuhan dan ingin mengadopsi seorang anak. Akulah yang terpilih oleh wanita tua itu, di antara banyak anak yang bernasib sepertiku atau bahkan lebih parah kondisinya.

Awalnya aku menjadi pendiam dan tidak ingin berinteraksi dengan anggota keluarga wanita tua itu, tapi berkat kebaikan dan kesabarannya dalam merawatku, akhirnya aku membuka diri kepadanya. Lalu, perlahan juga aku mendekati anggota keluarga lainnya. Untungnya anggota keluarga lain menyambutku dengan baik, sehingga kehidupanku pun dipenuhi oleh kebahagiaan.

Kemudian, saat umurku 12 tahun. Ibu angkatku meninggal, sehingga membuatku menjadi sedih kembali. Bapak yang merupakan suami ibu angkatku sudah lama meninggal, jadi tidak ada yang mengasuhku. Tapi, kali ini karena ibu angkatku memiliki anak atau dibilang kakakku, jadi aku diasuh olehnya, tepatnya kakak kedua. Ngomong-ngomong, aku punya empat kakak.

Kak Doni, itulah nama dari saudara yang merawatku. Kak Doni memiliki seorang anak yang sudah menikah, lalu anaknya ini memiliki anak. Anak inilah yang menjadi cucu Kak Doni, aku, beserta ketiga kakakku yang lain. Cucu ini umurnya tidak jauh dariku, tapi tidak menjadi penghalang dia memanggilku kakek.

Selama bertahun-tahun bersamanya, cucuku atau Rani selalu memanggilku kakek. Bahkan tidak peduli di mana saja, dia selalu memanggilku kakek tanpa mempedulikan pendapat orang lain. Aku sempat menyuruhnya agar berhenti memanggilku seperti itu, tapi berkat aturan keluarga yang harus menghormati silsilah keluarga jadinya panggilan kakek terus diucapkannya sampai sekarang.

Gara-gara itu, aku menjadi bahan ejekan. Bahkan, ada yang bilang kalau aku ini orang dari masa depan atau berpikiran kalau aku melakukan hubungan liar sejak kecil. Aku benar-benar kesal dengan hal itu, jadi aku melampiaskan kekesalanku ini kepada Rani. Berkat itu, anggota keluargaku, terutama ibu dan bapak Rani memarahiku habis-habissan.

Akhirnya aku pun pasrah akan panggilan kakek itu. Bukan karena kemarahan yang kudapat dari anggota keluarga, tapi karena Rani begitu sedih dan menjaga jarak dariku setelah tanpa sengaja kumarahi. Aku tidak ingin dijauhi oleh dia yang sangat dekat denganku, yang kuanggap sebagai adik.

Kemudian, setelah meminta maaf dan membiarkan dirinya memanggilku kakek lagi. Rani pun kembali ceria dan dekat denganku. Namun, kedekatan kami sedikit merenggang setelah aku memasuki masa SMA, tepatnya aku mencoba tidak selalu bersamanya. Hal ini sengaja aku lakukan agar Rani bisa lebih dekat dengan teman-temannya yang lain, bahkan dengan laki-laki yang disukainya di luar sana. Pasti akan menjadi risih bagi laki-laki itu kalau aku melekat terus dengan Rani.

Sekarang aku sudah mandi dan memakai seragam. Setelah mengambil tas yang berisi buku-buku beserta kebutuhan sekolahku, aku pun turun ke bawah, tepatnya menuju ruang makan. Di sana dapat dilihat sudah ada Rani, beserta anggota keluarga lain. Seorang pria tua yang rambutnya beruban, wanita tua yang sedikit keriputan, pria dewasa berkumis tebal, dan wanita dewasa berparas cantik dan terlihat masih muda. Mereka sudah duduk di kursi meja makan masing-masing.

"Selamat pagi, Paman," sapa wanita dewasa itu. Dia adalah ibu Rani.

"Pagi," balasku sambil duduk di bangkuku.

"Paman, kamu itu sudah besar. Masa harus terus-terussan dibangunin oleh anakku. Paman harusnya bisa bangun sendiri!" ujar pria dewasa berkumis dengan sedikit kesal. Dia adalah bapak Rani.

"Sudahlah, Egi. Biarkan dia merasakan kenikmatan masa muda dibangunkan oleh gadis muda yang cantik," ujar pria tua beruban. Dia adalah kakakku, Kak Doni.

"Lagipula Rani juga tidak keberatan untuk melakukan itu. Iya, kan, Rani?" ucap wanita tua itu. Dia adalah istri Kak Doni.

"Hm, aku tidak masalah kalau selalu membangunkan Kakek Fiki setiap paginya," balas Rani dengan nada ceria.

Fiki Jaya, itulah nama pemberian dari mendiang Ibu kandungku. Aku tidak tahu apa makna dari nama itu, tapi nama ini tidak akan pernah kuganti atau kulepas karena hanya inilah hal yang bisa mengingatkanku akan sosok beliau.

"Karena Fiki sudah tiba. Ayo kita mulai makannya," ujar Kak Doni.

Kami pun memulai makan pagi atau disebut sarapan. Tidak ada yang mengeluarkan satu patah pun selama kami makan, karena ini adalah aturan lain dari keluarga kami. Aturannya, dilarang bicara atau melakukan interaksi dengan keluarga atau orang lain saat makan. Aturan ini sudah ada sejak ibu angkatku masih kecil, jadi bisa dibilang ini adalah aturan turun menurun.

Alasan ibu dan bapak Rani memanggilku Paman, walau kelihatannya tidak pas karena aku lebih muda dari mereka adalah karena aturan keluarga. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kalau keluarga ini memiliki aturan untuk menghormati posisi dalam silsilah keluarga. Tidak peduli semuda apapun dia, kalau posisinya lebih tinggi maka dia harus dihormati walau yang menghormatinya tua. Bahkan, berkat aturan ini. Aku memanggil ibu dan bapak Rani hanya dengan nama, tanpa menambahkan 'Bu' atau 'Pak'.

Walau begitu, bukan berarti kami mengalami hubungan yang sangat kaku. Buktinya Egi, bapak Rani, bisa menceramahiku tanpa menggunakan bahasa baku atau merasa takut akan menyinggungku yang kedudukannya tinggi.

Beberapa menit kemudian, kami pun selesai melakukan makan pagi atau sarapan. Kemudian, kami bergerak untuk melakukan aktifitas kami masing-masing. Sinta, ibu Rani, mengambil semua peralatan makan untuk dibersihkan. Kak Yuni, istri Kak Doni, membantu Sinta untuk membersihkan peralatan makan. Kak Doni, pergi ke belakang rumah untuk memberikan makan burung-burung yang dibelinya. Sedangkan aku, Rani, dan Egi bersiap untuk pergi.

"Papih, ayo kita segera pergi!" ujar Rani yang sudah memakai sepatu.

"Iya-iya," balas Egi yang masih memakai sepatu.

"Kakek, ayo kita ke mobil!"

Dengan cepat, Rani menarikku setelah melihatku selesai memakai sepatu. Langsung saja kami masuk ke dalam mobil, tepatnya di belakang. Lalu, tidak lama kemudian, Egi masuk dan duduk di tempat pengemudi.

Mobil pun dijalankan, setelah beberapa saat dinyalakan untuk memanaskan mesin. Di perjalanan, Rani mengajakku bicara.

"Kakek, bisakah Kakek mengajariku matematika? Besok ada ulangan harian. Ada beberapa materi yang belum kupahami."

"Iya."

"Oh iya, apakah Kakek punya kesulitan dalam pelajaran Kimia? Aku bisa bantu Kakek."

"Tidak."

"Apakah Kakek hari ini akan pulang lama?"

"Tidak."

"Hmmm… Kenapa Kakek menjawabnya singkat sekali?"

"Karena ingin."

"Ayolah, Kakek!" Rani tiba-tiba mengguncang-guncang tubuhku. "Jangan cuekin aku!"

"Aku enggak nyuekin kamu. Tapi, memang begitulah jawabannya."

"Hahahaha, dasar kalian berdua," ucap Egi yang masih fokus mengendarai. "Kalian seperti sepasang kekasih saja."

"Benarkah, Papih? Benarkah kami kelihatan seperti itu?"

"Kenapa kamu malah semangat begitu?" tanyaku dalam hati melihat tingkah Rani.

"Iya. Kalian seperti kami dulu. Aku selalu bersikap dingin kepada Sinta saat awal-awal pacaran."

"Ehhh, kenapa Papih dingin kepada Mamih? Bukankah seharusnya awal-awal pacaran itu tingkah malu-malu atau sudah bisa mesra-mesra?"

"Sayangnya kami tidak seperti itu, Sayang. Aku dingin kepada Mamihmu karena malu mau seperti apa menanggapinya, jadi begitulah. Hahahahah."

"Itu berarti… Kakek bertingkah dingin kepadaku karena dia malu mau mengeluarkan kasih sayangnya seperti apa, dong. Kyaaa, aku jadi malu!"

Sayang sekali. Aku begini bukan karena itu. Tapi, aku berusaha agar kamu tidak terlalu dekat denganku. Kalau kamu terus dekat denganku, nanti kamu akan kesulitan mendapatkan teman dan seorang pacar.

"Kakek, apakah kamu mencintaiku?"

"Tidak."

"Dasar, Kakek malu-malu, deh!" ujar Rani sambil memukul dengan ekpresi senang.

Kalau saja ini di cerita atau anime yang aku tonton, dapat dipastikan tingkah Rani kepadaku adalah sebagai tanda kalau dia memang mencintaiku. Tapi, ini dunia nyata, jadi jangan jadikan film atau cerita sebagai referensi.

Lagipula, tingkahnya ini selalu dilakukannya setiap saat. Sehingga membuatku lelah mendengarnya.

Pernah waktu itu, dia sendiri yang mengatakan kalau dia mencintaiku. Tapi, saat aku sudah tegang dan panik dia dengan cepatnya mengatakan kalau itu bercanda dan mengejekku mudah tergoda. Terus, dia bilang kalau dia suka melihat wajahku yang kaget dan malu-malu.

Maka dari itu. Dapat disimpulkan, kalau dia hanya suka menjahiliku.

"Merepotkan…"

"Hm, Kakek mengatakan sesuatu?"

"Bukan apa-apa."

***

"Hei, Kakek. Apa Kakek sudah mengerjakan PR kemarin?"

"Berhentilah memanggilku begitu, Arkan."

Arkan. Dia adalah teman sekelasku yang dekat denganku. Aku tidak tahu kenapa dia bisa dekat denganku. Tapi yang jelas, dia sepertinya sangat suka sekali menggodaku karena mengetahui kalau aku berstatus kakek dalam keluarga.

"Ehhh, kenapa? Kan nanti juga aku akan menjadi cucumu."

"Kamu bisa begitu kalau memang bisa membuat Rani menyukaimu dan kalian sudah menikah!"

Mungkin, alasan dia mau menjadi teman yang akrab denganku karena mengincar Rani. Tapi, seingatku dia mulai mendekatiku sejak kelas satu SMP. Di mana dia belum tahu kalau aku ada hubungan keluarga dengan Rani. Lagipula, dia kenal Rani saat kelas dua SMP.

Jadi, kenapa dia mau dekat denganku?

"Supaya kamu terbiasa dipanggil oleh dengan Kakek, jadinya aku akan memanggilmu Kakek mulai dari sekarang."

"Itu membuatku risih, tahu!"

"Hahahaha, maaf-maaf. Jangan marah begitu, dong. Nanti gantengnya hilang."

"Biarin."

"Jadi, kamu udah selesai ngerjain PR kemarin?"

"Udah."

"Pinjam, dong."

"Kalau kamu terus-terussan menyontek, nanti enggak bisa-bisa."

"Kalau begitu, ajarin aku, dong."

"Males."

"Kalau begitu, pinjam, dong."

"Hahh… Iya-iya."

Aku pun mengeluarkan buku tulis MTK dan memberikannya kepada Arkan.

"Terima kasih, Kakek."

"Sudah kubilang jangan panggil aku begitu!"

Arkan pun langsung berbalik badan dan mulai menyalin PR-ku, dengan wajah senang karena berhasil menjahiliku.

Jam masih menunjukkan jam setengah tujuh. Masih ada tiga puluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Selain itu, biasanya ada waktu sepuluh menit sebelum guru masuk ke kelas. Jadi, aku masih ada waktu kosong sekitar empat puluh menittan.

Kurasa waktu segitu cukup untuk aku membuang air besar yang tiba-tiba muncul ini.

"Hei, mau ke mana?" tanya Arkan setelah aku berdiri dan hendak keluar kelas.

"Mau ikut?"

"Boleh."

"Ke WC."

"Ayo!" Arkan pun berdiri dan berjalan mendekatiku.

Tadinya aku ingin membalas kejahiliannya dengan melakukan ajakkan ke WC. Tapi, ternyata dia malah menerimanya dan bukannya menjadi merasa jijik atau kesal.

Apa ada bagian yang salah, ya? Sehingga candaanku ini tidak bekerja.

Kami berdua pun berjalan menuju WC yang jaraknya cukup jauh dan cukup dekat dengan kantin.

"Eh, tau enggak. Si Rani dari kelas satu B."

Mendengar ada seseorang yang menyebut Rani, aku menghentikan langkahku dan melihat ke arah segerombolan perempuan yang duduk di lantai pinggir lorong kelas. Dilihat jumlahnya ada tiga orang.

"Iya, tau. Emang kenapa?"

"Dia tuh ya, centil banget!"

"Iya, ih. Tadi aja ya, dia deketi Ringgo, tau. Terus, ngobrol-ngobrol gitulah."

"Ihh, dasar kecentilan."

"Terus-terus, dia tuh suka cari perhatian. Kemarin aja, dia so-soan bantu Pa Riyan."

"Iya. Kemarin juga dia mengeluh sakit pas jatuh, di dekat para cowo-cowo lagi."

"Dasar kucing garong."

"Woi!"

Setelah aku memanggil mereka. Sontak mereka menghentikan gosip mereka dan melihat ke arahku yang sudah berdiri di dekat mereka.

"Kalian ada masalah dengan Rani?"

"Ih, siapa sih kamu? So ikut campur aja."

"Eh, Nindi. Dia itu kakeknya Rani."

"Eh, serius?"

"I-"

Aku langsung menarik kerah seragam perempuan yang akan menjawab tadi dan mengangkatnya sehingga dekat dengan wajahku yang sudah kupasang dengan ekpresi geram.

"Walau kalian perempuan, aku enggak bakal senggan-senggan menghajar kalian kalau berani menjelek-jelekkan Rani," ancamku sambil menunjukkan kepalan tangan kananku.

"I-I-Iya.. ma-ma-maaf…" balasnya ketakutan.

Langsung saja kulempar ke depan. Kedua temannya pun membantu dia berdiri dan membawanya kabur.

"Dasar, emang enggak bisa ya kalau ditahan?" tanya Arkan sudah di dekatku. "Gimana kalau mereka ngelaporin ke guru?"

"Biarin. Aku enggak masalah."

"Ah, iya… Aku lupa kalau kamu itu sering bermasalah dengan guru."

Aku benar-benar kesal kalau mendengar ada anggota keluargaku dijelek-jelekkan seperti tadi. Tentu saja kalau itu tidak benar, kalau benar, mungkin aku bisa menahan diri untuk tidak menghajar mereka.

"Aku selalu penasaran. Kenapa sih kamu itu overprotektif kepada Rina di belakang. Tapi, so bersikap dingin kalau di depannya."

"Memangnya itu penting buatmu?"

"Enggak, sih. Cuma penasaran aja."

"Terserah aku aja."

"Iya-iya, deh. Ayo, kita kan mau ke WC."

"Enggak jadi. Sakit perutku tiba-tiba hilang setelah mendengar bualan mereka yang menyebalkan."

"Iya, deh. Ayo ke kelas, Kakek."

"Jangan panggil aku begitu!"

Kalau dia manggil aku begitu lagi, akan kuhajar wajah menyebalkannya itu.

Pasti!

avataravatar
Next chapter