webnovel

Tuan Travis Darmoko

"Amora, aku minta maaf. Benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin membantumu. Tidak lebih." Pria itu tersenyum getir. Dia berharap bahwa Amora bisa mempercayai ucapannya walau hanya sedikit saja.

Sayangnya, ucapan pria itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Amora. Trauma besar yang sudah menyiksa dirinya itu, membuat dia tidak percaya lagi pada apa pun dan pada siapa pun. Terlebih dia telah dibuang oleh ibunya yang sangat dicintainya selama ini.

Pria itu kemudian kembali mendekati Amora. Dia belum menyerah pada tujuannya untuk bisa membuat wanita cantik dengan manik mata kecoklatan ini menerima dirinya, kehadirannya, dan bantuannya.

"Amora, seperti yang kukatakan sebelumnya. Kamu terlalu berharga untuk tersakiti seperti ini. Ikutlah bersamaku. Aku benar-benar akan membantumu untuk membalaskan setiap rasa sakit yang kamu rasakan sekarang. Hukum mereka dengan sepantasnya!" tawar pria itu.

Amora menggelengkan kepalanya perlahan. Tangisannya yang tak kunjung henti membuat dia tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengucapkan kalimat penolakan lagi.

Kepercayaan yang telah memudar kepada orang lain. Bukan hanya kepada pria asing yang berdiri di depannya kali ini, bahkan mungkin jika sahabat terbaiknya pun membujuknya, Amora telah meyakinkan diri tidak akan mempercayai siapa pun.

Pria itu menghela napasnya panjang. Semburat kekhawatirannya bertambah. Sepertinya kali ini mau tidak mau dia harus mengambil sebuah langkah tegas.

Kata-kata rayuan dan bujukan tidak mempan kepada Amora, maka pria ini memutuskan untuk melakukan sesuatu yang di luar ekspektasinya. Amora terlalu sulit untuk ditaklukkan nya.

"Lepaskan aku!" Aura berteriak kencang ketika pria itu menarik tangannya dengan paksa.

Pria itu menghiraukannya. Dia tetap dengan paksa menarik Amora agar mau beranjak dari tempatnya itu. Setidaknya dia harus bisa memaksa Amora untuk masuk ke dalam mobil.

"Apa yang kamu lakukan?" Amora masih mencoba untuk melepaskan diri. Memberontak semampunya.

Pria itu melemparkan dengan paksa tubuh Amora ke dalam mobilnya. Tidak dapat tas yang di bawahnya ikut dilemparkan ke dalam mobil.

"Jalan!" perintah pria itu kepada sang supir yang telah siap sedia sejak tadi.

Tanpa menunggu waktu lama mobil itu pun melaju dengan kencang meninggalkan jembatan yang seharusnya menjadi tempat bagi Amora untuk mengakhiri hidupnya.

Amora menatap nanar ke arah pria yang kini duduk di sampingnya itu. Rasa benci dan amarah merasuki dirinya. Dia tidak bisa menerima perlakuan seperti ini dari pria yang sama sekali tidak dikenalnya ini.

"Kamu akan sangat berterima kasih kepadaku jika kamu sudah bisa menenangkan pikiranmu nanti, Amora!" ucap pria itu datar dengan tatapan yang terus lurus ke depan.

Amora menggelengkan kepalanya. "Jangan harap aku akan berterima kasih kepada orang yang tidak dikenal sepertimu. Kamu bahkan memaksaku seperti ini seperti seorang penculik! Ah, atau jangan-jangan kamu memang seorang penculik?"

Pria itu tertawa mendengar ucapan Amora yang terdengar sangat berani. "Sudahlah. Aku sudah berwelas asih kepadamu sejak tadi, tapi kamu masih keras kepala dan bersikap sangat dingin. Jadi, jangan salahkan aku kalau bertingkah seperti seorang penculik."

Amora sama sekali tidak mengerti apa isi kepala dari pria yang duduk di sampingnya ini. Jika saja bisa dia ingin segera keluar dari mobil ini dan melarikan diri. Sayangnya, Amora sadar bahwa tidak ada celah baginya untuk bisa kabur.

"Apa yang kamu inginkan dariku?"

"Tidak ada."

"Katakan sejujurnya!"

"Baiklah. Aku hanya ingin kamu terus hidup!"

Amora yang menatap ke arah jendela berdecak kesal. "Cih. Kamu kira semudah itu mengatur kehidupan seseorang?"

Pria itu sontak menoleh ke arah Amora, namun sejurus kemudian dia kembali fokua dan menatap lurus kedepan. "Aku tidak mengatur kehidupanmu. Aku hanya sedang mencoba untuk menyelamatkan hidupmu!" jawabnya datar.

Wanita dengan rambut panjang gelombang ini hanya tersenyum pahit mendengar ucapan pria itu. Dia tahu dengan jelas bahwa pria yang duduk di sebelahnya ini telah mengetahui segala hal tentang, tetapi itu tidak berarti bahwa hal itu dapat digunakan untuk mencampuri segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya.

Amora mencoba untuk mengatur napasnya. Dia juga mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Seiring dengan laju mobil yang mereka tumpangi, Amora mencoba untuk mencerna setiap ucapan yang dikatakan oleh pria itu tadi.

"Jangan sia-siakan hidupmu!"

Kata-kata itu terus terngiang di kepada Amora. Memenuhi seluruh isi otaknya kemudian masuk ke dalam hatinya sehingga membuat dia menyadari sesuatu yang salah yang hampir saja dilakukannya.

"Katakan kita akan pergi kemana?" tanya Amora spontan ketika dia sudah sedikit bisa menerima kenyataan.

"Ke rumahku." Pria itu menjawab singkat.

Amora berbalik dan melihat pria yang duduk di sampingnya. Meskipun hanya dari samping Amora dapat dengan jelas melihat bahwa pria ini memang sangat tampan. Dan, aroma tubuh pria ini memang sangat familiar sehingga membangkitkan rasa nyaman pada diri Amora.

Kali ini Amora bahkan sudah sedikit bisa membuang rasa takutnya kepada pria tampan yang ternyata menggunakan pakaian formal dan begitu rapi ini. Bahkan Amora dapat melihat dengan jelas bahwa pakaian yang dikenakannya adalah pakaian mahal dengan merk terkenal.

"Namaku adalah Travis. Travis Darmoko." sebuah nama terucap dari bibir pria tampan yang sejak tadi dipandangi oleh Amora.

Amora tersentak mendengar pria itu mengucapkan namanya dengan santai. Dia bahkan merasa bahwa pria itu bisa membaca pikirannya.

Sebuah senyuman terukir jelas di wajah pria tampan itu. "Dari cara memandang aku dapat mengetahui dengan jelas bahwa kamu penasaran mengenai namaku. Jadi, tidak salah kan kalau aku memperkenalkan diri?"

Amora segera memalingkan wajahnya. Dia merasa malu karena ketahuan sejak tadi memandangi pria itu. Memang rasa penasarannya begitu besar. Akan tetapi, rasa takutnya kepada pria ini masih tetap ada.

"Aku sangat tahu dengan jelas bahwa kamu memiliki trauma. Aku juga tahu bahwa kamu sangat takut dengan seorang pria. Apalagi pria itu adalah seorang pria asing sepertiku. Jadi, dengan aku memperkenalkan namaku, aku harap aku tidak menjadi orang asing lagi bagimu, Amora Ambaraka!"

Pria bernama Travis itu mengucapkan kata-kata yang bagian Amora terasa sangat klise. Bahkan jika dia adalah seorang wanita yang sedang dirayu, ucapan Travis terdengar seperti sebuah rayuan gombal.

Wajah Amora masih tetap kalut. Meskipun kini dia telah mengetahui siapa nama pria asing yang membawanya, dia tetap tidak bisa menyembunyikan segala masalah yang saat ini sedang dihadapinya. Bahkan rasa takut dan rasa traumanya tidak bisa lenyap begitu saja.

"Sebentar lagi kita akan sampai di rumahku. Aku harap kamu bisa bersiap untuk menjadi sosok baru di dunia ini, Amora! Kamu tidak pantas untuk bersedih seperti ini! Aku berjanji akan membantumu dan mengembalikan senyum di wajahmu!" Pria itu kembali mengucapkan kata-kata yang seolah menguatkan Amora.

Meskipun Amora tidak bisa menjawab dengan cepat, tetapi sedikit tidaknya ada secercah cahaya yang dirasakan oleh Amora dalam kelam hidupnya.

"Ya." Hanya itu kata yang terucap dari bibir Amora ketika dia sadar bahwa dia tidak memiliki pilihan lain.

*****

Next chapter