1 Buntung Bergulung-gulung

Bunyi berdebam disertai suara benda-benda saling bersinggungan beberapa kali memantul pada dinding-dinding kamar lantai dua. Dua dewasa pelaku kegaduhan bukan sedang baku hantam, melainkan mengemasi segala benda berharga yang masih tersisa. Mereka dikejar waktu untuk segera bergegas angkat kaki dari istana megah yang kurang dari sepuluh tahun keluarga itu huni.

Jimin Lee dan Jinten Raw, pasangan pengusaha bidang kuliner yang telah mencapai posisi roda kebangkrutan. Rumah makan seribu menu nusantara yang telah tumbuh cabang dari sabang sampai merauke harus gulung tikar karena terlilit hutang. Cabang-cabang telah terjual untuk membayar keringat karyawan mereka yang jumlahnya segudang. Rumah megah satu-satunya terancam ditarik karena terkendala angsuran bulanan.

Gadis mungil berhelai sebatas bahu yang baru saja menginjak lantai batu alam rumahnya, bergegas menapaki tangga melingkar menuju lantai atas. Langkahnya menelusuri asal suara gaduh yang terdengar. Semakin menghampiri ruangan pribadi orang tuanya, bunyi yang menyentil lubang telinga semakin nyaring.

Kepalan tangan si gadis yang hampir mendarat pada daun pintu urung karena gerakan dari dalam. Daun pintu bergeser cepat dan muncul sepasang suami istri dengan dua koper raksasa di masing-masing tangan mereka.

"Ayah dan ibu mau kemana?" tanya si gadis panik.

Sang ibu berbalut pakaian panjang lengkap disertai selendang melindungi rambutnya. Sebuah kaca mata anti sinar ultra violet bertengger pada tulang hidungnya. Sementara sang ayah berbalut serba hitam dari mulai penutup kepala hingga alas kakinya.

Jinten membelai rambut sang putri. "Sri, ayah dan ibu akan ikut program transmigrasi bedol desa dengan kampung tetangga."

Sri, lengkapnya Jasmin Sri Puspasari, melotot kaget. "Apa? Secepat ini? Tapi mengapa kalian tidak pernah berdiskusi denganku?"

Sang ayah menggangguk pelan. "Sebenarnya sudah dari enam bulan lalu kami memutuskan ikut serta setelah kami merasakan ada guncangan ekonomi pada perusahaan kita, Nak. Masalah ini pelik dan kami tidak ingin membebanimu."

Sri memijit pangkal hidungnya. "Lalu aku bagaimana?"

"Kami akan mulai berkebun dan berternak di sana, Sri. Aku tidak yakin jika kamu setuju untuk ikut ke desa. Kamu sementara tinggal di kota ini untuk menyelesaikan kuliahmu. Uang kuliah untuk satu tahun sudah kami kirim ke rekeningmu." papar Jimin meyakinkan.

"Lalu bagaimana caranya Sri bisa makan setiap harinya?"

Jinten meraih bahu putrinya kemudian mendekapnya erat. "Kami akan mengirim uang bulanan jika sudah ada hasil."

Sri melerai pelukan sang ibu yang menjerat leher. Bibirnya tak mampu menahan desakan sesak dari tenggorokan.

Jimin dan Jinten serempak menekan pegangan koper kemudian menjinjingnya dengan dua tangan. Mereka segera menuruni tangga melingkar dengan tergesa-gesa.

Jasmine Sri Puspasari mengejar mereka panik. "Tunggu, Ayah! Ibu! Lalu bagaiamana nasibku?" protesnya

Jimin dan Jinten tak berniat menahan langkah. Lantai batu alam yang dingin terasa bagai bara api yang membakar telapak kaki. Mereka berjingkat-jingkat ketakutan. Pandangan mereka hanya berpusat pada anak tangga yang ditapaki. Entah apa yang mendorong keinginan mereka untuk segera angkat kaki dari hunian mewah ini.

"Kami yakin kamu bisa bertahan!" sahut mereka kompak.

Sri tak bisa mengelak dari kejutan menyakitkan yang dihadiahkan oleh orang tuanya. Namun tungkainya tak berhenti mengayun berusaha menyamai langkah kedua orangtuanya.

"Bertahan dari apa?"

"Bertahan dari badai ujian kehidupan!" jawab Jinten cepat.

Jimin dan Jinten telah melewati anak tangga terakhir. Langkah mereka semakin bersemangat ketika sepasang daun pintu utama telah tercetak dalam retina.

"Ayo, sedikit lagi kita akan hidup tenang." celetuk Jimin yang mendapati anggukan Jinten.

Teriakan sang putri sama sekali tak menyentuh hati keduanya meskipun telah menyentuh gendang telinga. Mereka memahami tapi tak mau peduli.

Jimin mendorong kasar sepasang daun pintu ketika Sri berhasil melintasi anak tangga terakhir. Jimin dan Jinten menyambut kebebasan udara siang dengan tawa lirih.

Sri masih berupaya sekuat tenaga memburu mereka. Namun pintu raksasa kembali pada gawangnya sesaat setelah mereka lenyap bersama atmosfir siang. Kesialan kaki Sri yang terkilir menghambat jerih payahnya. Dia hanya bisa menikmati nyeri tubuhnya yang menggelangsar lantai sembari menatap hampa pintu utama.

Deru mesin mobil terdengar mendekat. Tak berapa lama suara nyaring roda empat kembali samar menjauh setelah terdengar dua kali pintu dibanting tergesa.

Sri menampar lantai frustasi. "Sial," umpatnya.

Sri menggoyangkan sepasang tungkai berbalut kulot panjang yang tergeletak tengkurap pada permukaan lantai. Perlahan, Sri mulai terbiasa dengan nyeri pada pergelangan kaki kiri. Tubuhnya beranjak lemah disertai dua siku yang mendesak lantai.

Gadis mungil itu sukses kembali berdiri dengan susah payah meskipun tubunya tak tegak sempurna. Langkahnya terseok menghampiri daun pintu.

Sebelah lengannya mendorong sebelah daun pintu dan yang lain berpegangan pada sisi satunya.

Hatinya selalu berharap layar matanya menangkap penampakan dua orang terkasih masih menanti dan mengulurkan jemari di balik pintu. Namun justru kekecewaan yang digenggam. Bukan sepasang suami istri yang berdiri di teras rumah melainkan lima pria dewasa berparas tampan dan berdasi.

Salah seorang paling berumur mengangguk melempar sapaan. "Selamat siang, Nona! Kami dari pihak Bank Negeri Nusantara. Kedatangan kami bermaksud memberitahukan bahwa tempat tinggal yang anda huni saat ini harus segera dikosongkan."

Kejutan selanjutnya bahkan terasa hingga pergelangan kaki yang cidera.

"Maaf, tapi mengapa bisa begitu?"

Seorang yang bediri paling sisi sebelah kanan segera memeriksa berkas dalam map plastik di tangannya. "Karena kemampuan membayar Pak Jimin sudah terkendala sejak beberapa bulan yang lalu. Sehingga kredit rumah ini sudah sangat tidak sehat. Berbagai upaya dan kesepakatan telah kami lalui. Namun tak membuahkan penyelesaian."

Sri menampar dahinya. Bibirnya mengeluh aduh karena kesakitan fisik dan otaknya.

Sri merapatkan telapak tangannya memohon. "Pak, bagaimana kalau saya meminta kelonggaran waktu untuk mengangsur kembali? Saya akan berusaha mencari uang untuk angsuran tiap bulan."

Pria tertua tadi menggeleng sesal. "Saya minta maaf, Nona! Kami tidak bisa memberikan waktu lagi karena status kredit Pak Jimin sudah semakin buruk. Beliau juga menyerahkan segala penyelesaian kepada pihak Bank Negeri Nusantara."

Mata Sri yang bulat pingpong semakin melebar. "Apa? Jadi ayah sudah mengetahui rumah ini akan disita?"

Si pria pemegang berkas mengangguk mantap. "Pak Jimin mengetahui dan menyetujui secara sadar."

Tubuh Sri membatu. Aliran darahnya terasa membeku. Entah sebab apa dia bisa terbuang seperti ini dan akan berakhir luntang-lantung di jalanan.

Sri menghisap udara pengap rumahnya selanjutnya mengembuskan perlahan. "Pak boleh saya meminta waktu untuk berkemas? Masih banyak barang-barang di rumah ini."

"Baik!" jawab pria tertua setelah termenung beberapa saat. "Saya beri waktu dua hari. Besok lusa siang sebelum kami datang membawa perintah penyegelan, rumah ini harus segera kosong."

Sri mendesah lega. Jemarinya segera meraih tangan Pria seusia ayahnya itu dan menjabat erat. Ucapan terima kasih berulang kali terucap dari bibir Sri

***

Sri mengempaskan punggung mungilnya pada pembaringan khusus tamu di lantai bawah. Dia enggan kembali mengunjungi kamar pribadi yang besok lusa hanya akan menjadi masa lalu. Sebelumnya Sri hanya merapikan buku-buku perkuliahan pada kardus bekas mie instan dan menata pakaian ganti pada ransel tanggung. Setelah semua tuntas, dia memilih mengistirahatkan tubuh di kamar bawah.

Sri bangkit dari pembaringan. Tubuhnya terduduk di tepi ranjang. Kedua telapak tangannya menepuk busa tebal yang menyangga tubuhnya. Pandangannya sesaat berpaling pada layar hitam televisi mungil yang menempel di dinding. Kabelnya tidak terhubung dengan listrik.

Tiba-tiba ide menyelinap dalam benaknya.

Sri mengaduk isi perut ransel wanita mungil yang tergeletak di dekatnya. Tanganya segera menyeret paksa benda hitam persegi panjang yang terjepit di dalamnya. Hanya beberaga sentuhan telunjuk, sambungan komunikasi terjalin. Tak lama kemudian terdengar gemerisik seseorang menerima panggilan setelah nada tunggu menghilang.

"Singa, kamu di mana?" semprot Sri tanpa basa-basi.

Teriakan marah di seberang membuat telinga Sri berdenging. Sri harus menyumbat lubang telinga dengan jari.

"Yang benar kalau manggil!" protes suara pemuda di seberang.

Sri menyeringai geli. "Maaf, Leopard! Aku butuh bantuanmu!"

"Apaan?" tanya suara Leopard malas.

"Aku minta tolong kumpulkan anak-anak kampus yang butuh barang elektronik bekas tapi masih berfungsi baik. Aku jual dengan harga di bawah pasaran barang bekas tapi jangan terlalu murah. Aku lagi butuh duit." papar Sri panjang lebar.

Cekikikan pemuda nomor seberang menegakkan bulu kuduk Sri. "Tumben anak sultan butuh duit dengan jualan rongsokan?"

Sri menggeram. "Barang-barangku bukan rongsokan. Semua masih bagus! Ingat itu! Dan lagi ... Siapa yang anak sultan? Sebentar lagi aku bakal jadi gelandangan."

Tawa ledekan seberang telepon mereda. Hening menjadi jeda sesaat.

"Kalau kamu tidak percaya. Sekarang aku tunggu di rumah dan bawa anak-anak kampus yang butuh barang-barang bekas bagus!"

Leopard berdehem ringan. "Maaf kalau aku keterlaluan. Aku hanya tidak tahu apa yang sedang kamu alami. Aku akan segera kesana bersama teman-teman kampus." sahutnya.

Sri mendesah panjang. "Aku tidak masalah, Leo."

Suara Leo kembali meriah. "Oke, tunggu aku dan jangan bunuh diri!" ledeknya sebelum mematikan sambungan.

Sri melotot kaget. "Apa? Dasar kurang ajar!"

***

avataravatar
Next chapter