18 Terdesak Oleh Tanzel

"CEPAT KATAKAN AMIRA!" Bentak Tanzel berpadukan sorot mata nyalang.

|Ledakan Emosi Amira Berujung Petaka!|

🍁🍁🍁

Tidak tahu apa yang harus dilakukan akhirnya Amira mengeluarkan jurus andalan dengan menundukkan wajahnya berpadukan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya yang mulus. Kalau sudah seperti ini maka Tanzel tidak akan mampu berbuat apa - apa lagi.

Langkah kakinya mendekat, jemarinya kekar terulur membuat tubuh Amira menggigil ketakutan. "Satu hal yang sangat Opa yakini bahwa kau tidak akan pernah merasa takut pada apapun kecuali satu hal yaitu kebohongan. Jelaskan pada Opa apa yang kalian bicarakan dan siapa yang sedang berpura - pura?" Tanya Tanzel dengan suara lirih akan tetapi penuh perintah tak terbantahkan.

"Katakan Amira!" Titah Tanzel dengan jemarinya yang masih saja terparkir apik pada dagunya.

Akhirnya dengan susah payah Amira menjelaskan bahwa Louis sedang berpura - pura sakit.

Mendengar penuturan cucu kesayangan tidak serta merta membuat Tanzel percaya. Tatapan Tanzel mencari jawaban jujur disana dan yang dia temukan adalah kejujuran. Seketika rahangnya mengeras berpadukan kedua tangan mengepal erat bersamaan dengan itu tatapannya beralih pada Louis. Menghujaninya dengan tatapan menajam menuntut jawaban segera.

Dan ditatap seperti itu tentu saja membuat tubuh Louis bergetar hebat. Akan tetapi dengan secepat kilat berusaha menguasai keadaan. "Yang dikatakan oleh Amira itu salah besar, Tuan Tanzel. Saya tidak sedang berpura - pura sakit akan tetapi memang benar - benar sakit." Ucapnya dengan suara lemas. Entah kenapa tiba - tiba dia merasa nyeri dada, pusing, sesak nafas, gelisah, dan juga mual.

Seketika tatapan Tanzel tersentak ketika melihat bibir Louis membiru sehingga dia langsung meminta pada Dr. Rahman untuk memeriksa kondisinya. Disuguhi kepedulian sang kakek pada Louis telah menyulut api amarah sehingga tanpa sadar membentak. Tak ayal Tanzel pun langsung menghujaninya dengan tatapan tajam mematikan. "Jaga sikap kamu, Amira." Bentak Tanzel dengan suara meninggi.

"Opa yang harusnya sadar bahwa dia itu hanya berpura - pura sakit. Dia itu tidak benar - benar sakit, Opa!"

"Apa kamu tidak lihat bahwa bibirnya membiru, hah? Itu sudah cukup membuktikan bahwa Louis memang benar - benar sakit, Amira."

Muak, kesal, marah, itulah kata - kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Amira saat ini. Sementara sang kakek masih saja menaruh simpati pada lelaki yang sangat Amira benci, lelaki yang sudah membohongi kakeknya secara terang - terangan.

Terhimpit ke dalam lautan emosi telah menenggelamkan Amira di antara puncak emosi. Tanpa sadar telah berlaku kasar hingga membentak dihadapan sang kakek dan Dr. Rahman. Tak ayal Tanzel pun balik membentak dengan suara menggelegar berpadukan tatapan nyalang. Sementara Louis tak pernah suka jika calon istri pura - puranya diperlakukan dengan kasar.

"Maaf, Tuan Tanzel. Semua ini bukan salah Amira akan tetapi saya lah yang patut untuk dipersalahkan."

"Jangan ikut campur, Louis. Dan jangan membela Amira sekalipun Amira ini calon istri kamu. Saya tidak membenarkan sikap Amira yang tidak menghargai tamu terlebih itu kepada calon suaminya sendiri."

"Saya tidak keberatan dengan sikap calon istri saya. Sungguh, Tuan Tanzel. Saya sama sekali tidak merasa keberatan." Bersamaan dengan itu mulai beranjak dari ranjang untuk melindungi Amira akan tetapi rasa pusing menderanya hingga tubuhnya pun tumbang. Dr. Rahman menyarankan supaya Louis tetap beristirahat mengingat kondisinya yang sangat lemah.

Meskipun ingin rasanya ia membantah dan berbicara banyak hal dengan Amira dan juga Tanzel. Namun, kondisinya saat ini benar - benar tidak memungkinkan. Kondisinya sangat lemah hingga untuk bangun dari ranjang saja dia tidak mampu.

"Sebenarnya calon suami cucu saya ini sakit apa dokter?" Tanyanya pada Dr. Rahman.

Dr. Rahman tersenyum penuh arti. "Bisa kita bicara diluar?" Pintanya pada Tanzel.

Tatapan Tanzel memicing. Satu hal yang dia yakini bahwa ada hal serius yang ingin dokter Rahman sampaikan. "Baik, dokter. Mari." Membimbing Dr. Rahman keluar ruangan menuju ruangan pribadinya. "Silahkan masuk dokter." Memberi ruang pada Dr. Rahman untuk memasuki ruangannya.

"Terima kasih, Tuan Tanzel." Yang dibalas dengan seulas senyum hangat.

"Apa yang mau Dr. Rahman sampaikan sehingga kita harus berbicara disini?"

Sebelum memulai kalimatnya Dr. Rahman tampak menghembus nafas berat, dan hal itu membuat Tanzel khawatir. Satu hal yang dia yakini bahwa calon suami cucu nya ini menderita sakit yang serius.

"Katakan sesuatu dokter!" Desak Tanzel dengan tak sabaran. Sejenak tatapan Dr. Rahman menajam, dan penjelasan dari Dr. Rahman ini membuat Tanzel terperenyak. Bersamaan dengan itu tatapannya memicing hingga keningnya berkerut. "Maksud Anda ... " jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Tapi, bagaimana hal itu bisa terjadi dokter? Itu sangat tidak mungkin."

Dr. Rahman kembali tersenyum. "Tuan Louis, telah keracunan obat. Dia mengkonsumsi obat yang tidak semestinya dia minum."

"Itu sangat tidak mungkin dokter. Saya yakin bahwa obat yang dia minum adalah obat penurun demam dan pusing karena dini hari tadi tiba - tiba tubuhnya menggigil kedinginan."

Dr. Rahman tampak berfikir sejenak lalu meminta pada Tanzel untuk membawakan bungkus obat yang telah di minum oleh Louis. "Baiklah, tunggu sebentar dokter." Yang langsung di angguki oleh Dr. Rahman.

Setelah di selidiki ternyata yang dikatakan oleh Dr. Rahman sangat lah benar bahwa Louis salah mengkonsumsi obat, dan seseorang yang patut disalahkan disini adalah Inem. Ya, dia lah yang patut di persalahkan karena dia lah yang telah lalai dalam memberikan obat tersebut.

Tanzel murka hingga Inem pun dimarahi habis - habisan. Tidak hanya Tanzel, Amira pun juga ikut memarahinya. Tanpa dia sadari bahwa sikapnya ini penuh dengan rasa peduli terlebih pada keselamatan Louis. Entah kenapa Amira bersikap seperti itu yang jelas dia sendiri juga tidak tahu. Refleks saja dia bersikap seperti itu. Mungkin sikap Amira ini beralaskan pada jasa Louis yang sudah bersedia menjadi calon suami pura - puranya.

"Non Amira kok ikut - ikutan marahi, Inem." Rajuk Inem sedih.

"Kamu ini memang pantas untuk dimarahi Inem. Masih untung saya hanya memarahi kamu dan tidak langsung membawa mu ke kantor polisi!"

Inem tertunduk sedih. "Bilangnya benci sama Tuan Louis tapi masih saja dibela." Lirih Inem yang sialnya masih terdengar oleh Amira. Seketika tatapan Amira menajam berpadukan langkah kaki mendekat. Sementara tubuh Inem semakin menggigil ketakutan disuguhi perubahan ekspresi Nona nya yang lebih mirip singa betina.

"Maaf Non." Lirihnya.

"Maaf saja tidak cukup untuk menebus kelalaian mu ini, Nem. Apa kamu tahu, hah. Akibat kelalaian mu ini bisa membahayakan nyawa orang lain!" Bentaknya dengan suara meninggi hingga Inem pun beringsut.

"Dan hukuman yang paling pantas atas kelalaian mu ini adalah ... " jeda sejenak. Tatapan Amira menajam berpadukan dengan senyum penuh kelicikan.

"Please, Non. Jangan laporin Inem ke kantor polisi yo, Non." Mohon Inem dengan suara bergetar.

Amira tersenyum smirk. Oh, Inem kamu ini kenapa polos sekali sih. Siapa juga yang mau melaporkan kamu ke kantor polisi. Tapi, bagus juga sih. Aku jadi punya ide untuk mengerjai kamu dan si menyebalkan ini. Batin Amira dengan tatapan menajam pada Louis.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

avataravatar
Next chapter