8 Tebar Pesona

Amira berkacak pinggang. "Papa ... " berirama geraman. Bersamaan dengan itu langkah kaki menjauh meninggalkan ruangan putrinya.

|Kehadiran Louis!|

***

Belum juga pulih dari rasa kesal telepon ruangan sudah berdering memberitahu bahwa Yoza menunggu di mobil.

"Sampaikan pada Pak Yoza bahwa saya ada meeting lanjutan."

"Baik Ibu."

Yoza mendesah lelah sehingga keluar dari mobil menuju ruangan sang putri. Dan kedatangannya inipun sangat mengejutkan Amira. "Loh, Papa kok balik lagi."

"Meeting apalagi, sayang? Jangan bohongin Papa, ayo!"

"Mau ke mana, Pa? Amira sibuk. Banyak kerjaan. Mendingan Papa pulang deh dari pada disini gangguin Amira."

Yoza mendudukkan bokongnya disofa panjang, tatapannya mengunci pada wajah cantik yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya. "Amira, ini sudah waktunya makan siang. Kerjaan mu bisa kamu lanjutkan nanti. Yang paling penting itu kesehatan kamu, ayo!"

Namun, sekali lagi Yoza harus mendesah lelah karena putrinya ini bersifat kepala batu yang tidak mudah tunduk pada perintah. Akhirnya Yoza mengalah dengan meninggalkan ruangan namun sebelum dia pergi memberikan wejangan yang membuat Amira muak.

"Yang dibahas selalu saja pasangan, pasangan, pasangan, dan pasangan. Papa kan ga tahu kalau Amira ini trauma dengan pasangan hidup. Semua lelaki itu sama. Ga ada yang benar - benar tulus. Semua lelaki yang mendekati Amira hanya mengincar harta Tanzel. Ga ada yang beneran tulus sayang sama Amira."

Ya, itu benar Amira. Lelaki yang mendekati mu hanya mengincar warisan Tanzel begitu juga dengan Azriel Fillah Alfarez. Lelaki biasa - biasa saja yang menduduki posisi penting di perusahaan kecil - kecilan milik keluarga Hana.

Azriel tidak pernah puas hanya menduduki posisi penting. Dia mengincar yang lebih dari itu. Dan sepertinya Dewa keberuntungan telah memihak padanya sehingga curhatan Hana telah mengantarkannya pada Amira. Ya, Amira Anindita Tanzel, pewaris tunggal Tanzel Group. Si putri Tanzel yang terkenal dingin dan tidak tersentuh.

Tanpa rasa malu sedikit pun dia melenggang ke Tanzel Group menemui Amira. Si wanita super dingin yang sebentar lagi akan segera memujudkan mimpi besarnya menjadi seorang jutawan.

"Permisi, Bu Amira."

"Cepat katakan! Ada apa?"

"Ada tamu yang sudah menunggu di lobby. Beliau belum membuat janji dan ingin bertemu langsung."

"Sampaikan saya sedang sibuk."

"Tapi, Bu. Beliau memaksa ingin bertemu."

"Siapa namanya?"

"Bapak Azriel dari PT-"

"Saya tidak kenal. Sampaikan bahwa saya sibuk dan tidak bisa diganggu!" Potong Amira.

"Baik, ibu. Terima kasih."

Amira memijat keningnya sembari menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan menatap langit - langit ruangan. "Siapa juga tu si Azriel. Ga jelas."

Belum juga reda dari rasa penat yang terus menghimpitnya ke dalam rasa sesak. Ponselnya berdering menampilkan pesan dari Louis. Amira mendesah lelah. "Mau apalagi sih ni orang."

||•

Louis:

Hai, calon istri pura - pura.

Sudah makan siang belum?

Oh, iya lupa. Kamu sudah sholat zuhur belum? Kalau belum buruan sholat gih karena aku mau jemput kamu buat makan siang bareng.

Jam satu aku meluncur ke kantor kamu dan ... kamu ga boleh nolak karena ini perintah langsung dari, Tuan Tanzel.

See you future wife pretend.

||•

Dari banyaknya pesan yang masuk tidak ada satupun yang dia balas. Amira terlalu malas menanggapi keanehan Louis. "Dasar gila!" Kesal Amira sembari melempar ponselnya ke sofa.

Tidak mau meladeni kegilaan Louis dia langsung melenggang ke ruangan pribadi untuk bercengkerama dengan Sang Kekasih. Mengalun kerinduan lewat bait doa.

Sementara di lobby sedang terjadi kehebohan besar. Kedatangan Louis ke Tanzel Group membuat semua mata tertuju padanya terutama para karyawan perempuan. Ketampanannya mampu membuat setiap mata meleleh terutama iris birunya yang selalu menggeliat berpadukan kerlingan genit.

Kalau sudah seperti itu wanita mana yang bisa tahan? Tidak ada satu pun wanita yang tidak luluh dibawah pesona seorang Louis Leigh Osbert.

Eits, jangan salah. Ada satu gadis yang tidak tertarik dengan ketampanan Louis bahkan dia selalu saja kebakaran jenggot tiap kali berdekatan. Berada didekat Louis hanya mengantarkannya pada rasa muak hingga darahnya mendidih. Ya, gadis itu adalah putri Tanzel. Pewaris tunggal dari seluruh kekayaan Tanzel yang kecantikannya membuat iri setiap kaum wanita.

Apa Amira tidak tahu bahwa membenci berlebihan bisa berakhir dengan rasa suka? Tahu kok. Amira sangat paham akan hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi kalau kebencian sudah memupuk, siapa yang bisa mengikisnya jadi rasa suka. Tidak ada yang bisa kecuali kebersamaan mereka. Kebersamaan lah yang akan saling menumbuhkan rasa cinta diantara keduanya.

"Good afternoon, Sir. Have you made an appointment with, Ms. Amira?"

"Pakai bahasa Indonesia saja. Saya ngerti dikit - dikit. Sekalian saya belajar. Apa tadi yang kamu tanyakan? Membuat janji dengan Ibu Amira?"

"Betul. Untuk bertemu dengan Ibu Amira harus membuat janji terlebih dulu."

Louis langsung mencondongkan tubuhnya ke depan hingga petugas receptionist beringsut mundur. "Dengarkan saya ya, untuk bertemu dengan calon istri sendiri tidak perlu membuat janji. Ayo, antarkan saya ke ruangan Ibu Amira!"

"Baiklah, kalau begitu mari saya antar."

Saat ini keduanya telah berada didalam lift yang terus bergerak naik membawa mereka pada lantai dimana ruangan Amira berada.

Kedatangan keduanya pun langsung disambut oleh Lisa, selaku sekretaris Amira. "Mau bertemu dengan Ibu Amira?" Tanyanya pada Niluh.

"Betul, Bu."

"Sudah membuat janji?"

Niluh menggeleng.

Lisa menggeram. "Niluh, kamu belum lupa kan aturan di perusahaan ini? Apa kamu mau saya pecat, hah? Jangan mentang - mentang bule ini ganteng terus seenaknya saja kamu bawa naik. Dengar ya Niluh, aturan perusahaan tidak luluh hanya pada ketampanan. Bagaimana kamu bisa seceroboh ini, hah?"

"Hai, berani - beraninya kamu mengancam bawahan. Yang berhak memecat karyawan itu Amira, calon istri saya. Minggir!"

Lisa tersentak. "Oh My God, bisa bahasa Indonesia. Bule mana sih? Dan apa tadi dia bilang, calon suami Ibu Amira?" Lirihnya sembari mengunci tatapannya pada punggung kekar yang semakin lama semakin hilang dari pandangan, bersamaan dengan itu mengunci tatapannya pada Niluh berpadukan sorot mata menajam. "Niluh, kenapa kamu ga bilang kalau dia calon suami nya Ibu Amira. Aduh, saya tadi pake ngataian dia lagi, kalau Bu Amira marah gimana?"

"Tenang aja Bu. Palingan ya di pecat." Ucapnya tanpa rasa bersalah beriringan dengan langkah kaki yang semakin menjauh hingga tubuhnya tertelan diantara pintu lift. Sementara Lisa masih saja mendengus kesal bercampur rasa takut. Takut jika yang dikatakan oleh Niluh akan benar - benar terjadi.

"Duh, gimana ini kalau si Nona Es marah terus aku dipecat. Oh, no no no no. Itu tidak boleh terjadi. Cicilan aku banyak, mobil belum lunas, rumah belum lunas. Kalau aku dipecat gimana bayarnya? Masak iya aku harus jual ... "

"Hust, jual apa?"

Suara yang datang secara tiba - tiba membuat Lisa tersentak sehingga langsung mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa kah gerangan?

...

Next chapter💕

avataravatar
Next chapter