3 Rencana Besar Amira

Namanya juga meeting ya pasti tidak dapat di prediksi kapan selesainya, bisa cepat bisa jadi lambat tergantung titik permasalah. Mencapai kata sepakat dengan klien itu bukan perkara yang mudah. Itulah panjelasan yang Amira berikan pada Yoza ketika terus saja di cecar pertanyaan demi pertanyaan.

Sebagai orang tua tunggal sangat wajar jika Yoza sangat khawatir karena sore hari putri kesayangan baru sampai di kantor padahal dari pukul sepuluh pagi sudah meninggalkan TANZEL GROUP.

"Ya sudah, ya sudah. Papa kan cuma tanya. Papa ini khawatir sama kamu, sayang. Kamu ini Putri kesayangan Papa. Putri satu - satunya, dan pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Tanzel."

Amira tersenyum. "Amira ini kan sudah dewasa Pa masak iya masih di khawatirin kayak anak kecil aja."

"Bagi Papa kamu ini tetap gadis kecil Papa, sayang. Rasanya Papa tidak percaya anak gadis Papa ini sudah dewasa dan sebentar lagi mau menikah. Kalau gitu kapan kamu mau memperkenalkan calon suami-mu ke Papa?"

"Pa, Amira kan baru saja lulus kuliah, dan baru ngantor di TANZEL GROUP. Belum ada satu bulan loh Pa tapi udah di desak kapan nikah, kapan nikah. Nanti kalau sudah waktunya pasti Amira nikah, Pa."

"Amira, Papa ini sudah semakin tua. Papa ga bisa selamanya mendampingi kamu mengelola perusahaan ini, sayang. Kamu perlu pendamping untuk membantu mu mengelola TANZEL GROUP."

Digenggamnya jemari Yoza berirama hembusan nafas berat yang dibuang perlahan supaya tidak disadari oleh sang ayah. "Amira belum siap menikah Pa, dan Amira sanggup kok mengelola perusahaan ini sendiri."

"Tapi kamu tahu kan Amira syarat untuk menjadi pewaris Tanzel."

"Tahu, Pa. Amira harus menikah kan. Amira ga lupa kok tapi asal Papa tahu ya Amira tidak keberatan walaupun tidak mendapat warisan Tanzel. Amira disini untuk Papa bukan untuk warisan."

"Papa tahu sayang tapi gimana dengan Opa-mu? Opa Tanzel tidak akan pernah mengubah keputusannya. Jika tidak diberikan pada cucu tunggalnya maka seluruh kekayaan keluarga Tanzel akan di hibahkan dan Papa tidak rela. Papa yang membantu Opa-mu membesarkan perusahaan ini hingga buka cabang di mana - mana."

Amira mendesah lelah. Apapun yang coba di jelaskan tidak akan pernah membuat Yoza mengerti bahwa dia belum siap menikah dalam waktu dekat. Kesal, itulah yang Amira rasakan pada kakek nya yang membuat peraturan aneh. Ini kan tahun 2021. Jaman juga sudah moder tapi Opa ... Opa masih saja berfikir dengan cara kuno. Syarat macam apa itu? Masak iya jika mau menjadi pewaris Tanzel harus menikah lebih dulu. Aneh!

Entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas sentuhan lembut pada pundaknya telah membawa kesadarannya kembali. Seketika menolehkan wajahnya hingga beradu tatap dengan sang ayah yang menatapnya dengan tatapan dalam dan lama. "Apa yang kamu pikirkan sayang?"

Amira menggeleng lesu berirama bisikan. "Bukan apa - apa Pa."

Jemari kokoh Yoza terulur merangkum pipi putrinya dengan penuh rasa sayang. "Paling tidak perkenalkan dulu calon suami-mu pada Papa. Biar Papa bisa kenal lebih jauh dia itu pantas untuk mendampingi Putri kesayangan Papa ini atau tidak."

Amira tersentak. Pasalnya dia tidak memiliki kekasih, Amira kan paling anti dengan yang namanya pacaran. Selama ini waktunya habis di pakai untuk fokus belajar di Harvard. Lalu sekaranga ini dia harus bagaimana? Siapa yang akan dia kenalkan Sebagai calon suaminya? Siapa?

Seketika ingatannya berpusat pada satu nama yaitu LOUIS LEIGH OSBERT, teman kuliahnya sewaktu menempuh pendidikan di Harvard Univercity yang kebetulan sedang liburan di Indonesia. Haruskah aku meminta bantuan Louis untuk berpura - pura sebagai calon suami-ku? Batin Amira sembari menatap wajah sang ayah yang menyirat harapan besar padanya.

Tapi apa Louis mau membantuku? Pikirnya. Tidak mau hanya sekedar menebak - nebak dia langsung berkirim pesan. Dan saat ini pun dia sudah sampai di tempat yang telah di janjikan.

"Hai, maaf membuat mu menunggu lama." Seketika Amira mendongakkan wajahnya sehingga saling beradu tatap dengan iris biru yang selalu saja menyilau hangat. Amira tersenyum tipis. "Aku juga baru saja sampai. Silahkan duduk, Louis."

"Terima kasih, Nona Tanzel." Yang langsung di hadiahi pelototan. "Sorry, maksud aku Amira." Ralat Louis berpadukan kerlingan mata.

"Terima kasih ya Louis karena kamu sudah mau datang."

"Hai, harusnya aku yang berkata begitu. Kan aku yang meminta kamu supaya menemaniku selama aku disini." Yang langsung di balas dengan seulas senyum hangat, dan inilah pemandangan untuk pertama kalinya bibir ranum mengulas sebuah senyuman seperti itu. Terlibat aneh memang tapi bagi Louis hal itu justru semakin memancar aura kecantikan Amira.

"Oh, iya. Kamu mau minum apa?" Tanya Amira.

"Apa saja Amira. Apapun pilihan kamu pasti akan aku minum." Sembari mengerling genit. Tak ayal Amira pun langsung mengumpat sumpah serapah karena dia paling anti dengan lelaki seperti itu. Meskipun sangat tampan tapi bagi Amira wajah Louis sama sekali tidak bisa memikat sisi hatinya. Sikap Louis lah yang membuat aura ketampanannya meredup.

"Oh, iya Amira kamu tentu tahu tempat wisata di Bali ini kan jadi ... aku ga perlu sewa jasa tour guide." Yang di tanggapi dengan senyum tipis. Sangat tipis sehingga Amira tidak tahu kalau Louis sedang tersenyum.

"Itu akan kita bahas nanti, Louis. Sekarang ini ada hal yang lebih penting yang ingin ku bicarakan dengan mu."

Louis langsung memutar bola matanya. "Really? Apa itu?"

Sebagai seorang wanita dari keluarga terpandang Amira telah membuang ego berselimut gengsi tinggi demi mengelabuhi sang ayah. Bukannya dia suka berbohong hanya saja tidak siap jika harus menikah dalam waktu dekat. Beruntung, Louis mau membantunya dengan berpura - pura sebagai calon suami Amira.

Senyum penuh kelegaan mengukir di bibir ranum berselimut rasa bahagia atas kebesaran hati Louis yang mau membantunya tanpa pamrih. "Terima kasih Louis."

"Sama - sama, Amira. Jangan sungkan. Saya senang melalukannya." Berpadukan kerlingan mata. Amira pun kembali mendengus kesal dengan sikap genit yang melekat kuat dalam diri Louis tapi bagaimana pun juga memang seperti itulah seorang LOUIS LEIGH OSBERT dan Amira harus membiasakan diri selama dia membutuhkan bantuannya.

Lalu sampai kapan Amira akan terus membohongi Yoza? Entahlah. Untuk itu akan dia pikirkan nanti yang jelas dia tidak mau terus menerus di desak oleh sang ayah atas tekanan dari kakek Tanzel.

Sekali lagi ucapan terima kasih terucap dari bibir ranum sebelum melenggang meninggalkan Louis, sementara lelaki itu masih saja mengunci tatapannya pada punggung ringkih hingga hilang dari pandangan. Kepergian Amira telah meninggalkan senyuman penuh makna mengukir di bibir kokoh. "Aku tidak pernah hilang semangat pada mimpi - mimpi terbesar ku dan itu akan segera terwujud bersama mu, Amira." Berpadukan langkah kaki meninggalkan cafe menuju FULLMOON DE BALI HOTEL tempatnya menginap selama tinggal di Indonesia.

Sejauh kaki melangkah selama itu pula senyuman penuh makna masih saja mengukir di bibir kokoh.

...

Next Chapter💕

avataravatar
Next chapter