2 Mengingat Mendiang Sang Mama

FULLMOON DE BALI HOTEL.

Bali, Indonesia.

12.45 WITA.

Amira sedang berada di cafe FULLMOON DE BALI HOTEL berteman secangkir coffe latte. Sejenak ditatapnya sekeliling sebelum kembali berkutat denga ponsel kesayangan. Rasa sesak kian menghimpit ketika Yoza masih menunggui kedatangannya.

"Apa meetingnya belum selesai, sayang?" Isi pesan yang tertulis di layar ponselnya. Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafasnya, bersamaan dengan itu Amira terpaksa berbohong bahwa saat ini masih terlibat meeting sehingga berkirim pesan pada Yoza supaya pulang saja.

Namun, Yoza tidak mengindahkan permintaan Amira. Dengan setia menunggui kedatangan putrinya sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, di tatapnya langit - langit ruangan Amira.

Entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas ingatannya berkutat pada kejadian beberapa tahun silam di mana sang istri tercinta terenggut dalam kecelakaan pesawat ketika dalam perjalanan ke Cambridge, Amerika Serikat untuk menjenguk sang putri tercinta yang sedang menempuh pndidikan di Harvard Univercity.

Kenangan buruk tersebut masih membekas di hatinya dan juga di hati Amira tentunya. Seandainya waktu dapat diputar kembali Amira tidak akan pernah memaksakan kehendaknya meninggalkan Indonesia demi memuaskan hasratnya mengenyam pendidikan di Universitas yang terkenal paling keren tersebut.

Ingatannya pada mendiang sang mama telah menggiring air mata pesakitan menggenang di pelupuk. "Ma, Amira kangen sama Mama." Lirihnya berpadukan air mata yang terus saja mengalir membasahi pipi mulus tanpa bisa di hentikan. Tidak ingin ada pengunjung yang memergoki, Amira langsung mengusap kasar air matanya. Namun, air mata tersebut masih saja setia mengaliri pipi mulus beriringan dengan langkah kaki yang semakin menjauh.

Sebelum pergi menyelipkan uang tiga lembar seratus ribuan yang Amira rasa lebih dari cukup untuk membayar pesanan yang sama sekali belum tersentuh.

"Mba, tunggu!" Kejar pelayan cafe bersamaan dengan itu langkah kaki Amira terhenti. "Maaf uangnya kebanyakan." Yang langsung di sambut dengan seulas senyum tipis. Sangat tipis hingga pelayan tersebut tidak tahu bahwa Amira sedang tersenyum. "Buat Mas nya saja."

"Tapi Mba, ini sisanya masih banyak loh."

"Ga apa – apa, Mas. Kalau Mas nya ga mau ya kasih saja ke teman Mas nya yang didalam sana. Permisi."

Petugas cafe masih bengong dengan uang di tangannya. "Pesanannya tidak ada seratus ribu dan uang ini … tiga ratus ribu." Lalu kembali di tatapnya punggung Amira yang kian menjauh dari pandangan. "Terima kasih, Mba." Teriaknya yang entah terdengar oleh Amira atau tidak yang penting dia sudah mengucap kata itu.

"Kok senyum - senyum sih pasti barusan dapat tips ya?"

"Iya, dunk."

"Berapa?"

"Ih, kepo amat sih ni Anak." Sembari menjitak kepala Nindya. Tak ayal Nindya dibuat kesal sehingga langsung memukul balik.

"Eh, itu kan Mba yang kasih tips tadi. Kok masih di situ ya. Apa belum di jemput?" Lirihnya sehingga tidak ada yang mendengar apa yang dia ucapkan.

Ya, itu benar. Amira belum di jemput padahal dia sudah berkirim pesan pada Mirza supaya menunggu di lobby. Entah kemana perginya si Mirza yang jelas Amira dibuat sangat kesal. Umpatan demi umpatan keluar begitu saja ketika mobil yang di tunggu belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"Kemana sih Pak Mirza ini?" Geram, dia langsung menghubungi ponselnya namun tidak mendapati jawaban. "Ish, kemana sih? Di telepon ga mau angkat." Bersamaan dengan itu tepukan lembut mendarat di pundaknya membuat Amira terperenyak.

Seketika menolehkan wajahnya sehingga beradu tatap dengan iris biru yang menatapnya dalam dan lama. Amira memutar bola matanya bertanya – tanya siapa kah gerangan? Belum juga pulih dari rasa terkejutnya lelaki itu langsung mengulurkan tangannya berirama suara bariton yang terdengar seksi. "Senang bertemu dengan mu disini. Bagaimana kabar mu?"

"Apa kita saling kenal?" Nada suaranya terdengar tak bersahabat yang langsung di suguhi dengan seulas senyum hangat. "Tentu saja kita ini saling mengenal, Nona Tanzel." Mendengar seseorang memanggilnya dengan sebutan Tanzel mengingatkannya pada teman – temannya di Harvard. "Apa kamu … ?"

"Iya, Nona Tanzel. Oh, tidak saya sangka cepat sekali kamu ini melupakan saya. Kalau gitu mari kita kenalan lagi, Louis." Sembari mengulurkan tangan yang langsung di sambut hangat berpadukan dengan senyuman. "Oh iya, apa yang kamu lakukan disini? Liburan?"

"Tentu saja liburan, Nona Tanzel. Saya kan tidak memiliki keluarga di

sini jadi ya kedatangan saya ke sini untuk liburan dan kebetulan saya menginap di hotel ini. Kamu sendiri apa yang kamu lakukan di sini? Menginap di hotel ini juga?"

Amira menggeleng.

Louis menyipitkan matanya hingga keningnya berkerut. "Lalu?"

Amira segera menjelaskan bahwa dia usai meeting dan sekarang ini sudah waktunya untuk kembali ke kantor akan tetapi supirnya belum juga datang. Louis menawarkan untuk lanjut ngobrol di dalam yang langsung di tolak oleh Amira. "Oh, baiklah kalau gitu saya temani kamu disini."

"Em, bisakah panggil Amira saja. Nama Tanzel terdengar asing kalau disini." Lirihnya diakhir kalimat.

Louis langsung mengerutkan keningnya. "What?"

Amira tersenyum. "Iya panggil Amira saja. Nama aku kan AMIRA ANINDITA TANZEL."

"Oh, okay. I know."

Tanpa sengaja iris biru menangkap seorang lelaki yang berpakaian serba hitam sedang berlari ke arahnya. "Itu sepertinya supir yang kamu tunggu." Ucapnya, bersamaan dengan itu Amira menolehkan wajahnya mengikuti arah pandang Louis.

Mirza terlihat ngos - ngosan mengatur nafasnya. "Permisi, Non Amira. Maaf menunggu lama." Amira mendengus kesal. "Dari mana saja sih Pak?"

"Maaf, Non Amira. Tadi saya masih di kamar mandi dan ponsel saya ketinggalan di mobil. Mari, Non. Silahkan." Sembari membukakan pintu mobil. Gerakan tangan Mirza yang hendak menutup mobil tertangguhkan oleh Louis, lelaki itu sengaja menyandarkan tubuhnya di sana. "Jangan lupa calling ya. Saya tunggu. Temani saya liburan selama saya di Indonesia." Yang di angguki oleh Amira.

"Jalan, Pak!" Perintahnya pada Mirza selaku supir pribadinya.

"Ke kantor, Non?"

"Antarkan saya ke masjid di dekat sini, Pak. Kalau langsung ke kantor takut waktu zuhur keburu habis."

"Baik, Non."

Setelah menyelesaikan kewajibannya, mobil kembali melaju dengan kecepatan tinggi membelah kota Bali menuju sebuah gedung tinggi bertuliskan TANZEL GROUP.

"Silahkan, Non. Anda sudah sampai." Ucap Mirza sembari membukakan pintu mobil. Amira tersenyum. "Terima kasih, Pak Mirza."

"Sama – sama, Non Amira."

Kedatangan Amira ke kantor langsung di sambut para karyawan namun tidak sekalipun bibir ranum mengulas senyum. Bibir tipis berpadukan warna peach itu masih saja membentuk garis lurus.

Kulit putih pucat berpadukan wajah datar tanpa ekspresi mencipta rasa mencekam pada setiap mata memandang. Jika tidak mengenal Amira dengan sangat baik pasti akan berfikir bahwa dia ini wanita angkuh dengan seribu arogansinya. Nyatanya, tidak seperti itu. Amira gadis yang lemah lembut, berpendidikan tinggi, sopan tutur bahasanya, dan juga memiliki attitude yang sangat bagus membuat para kumbang saling berlomba ingin memperistri seorang putri Tanzel yang merupakan pewaris tunggal dari TANZEL GROUP.

...

Next chapter💕

avataravatar
Next chapter