13 Makan Malam Bersama Keluarga Tanzel

Mendengar langkah kaki mendekat membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara itu berasal secara bersamaan. Bibir Louis mengurai senyum khas. Senyuman yang mampu membuat jatuh cinta setiap mata memandang begitu juga dengan Tanzel dan Yoza yang dibuat jatuh cinta semenjak pertemuan pertama mereka.

"Selamat malam, Tuan Tanzel." Setelah itu beralih pada Yoza. "Selamat malam, Tuan Yoza." Yang dijawab secara bersamaan oleh keduanya.

Kini, acara makan malam dilewatkan tanpa ada sepatah katapun yang terucap, dan memang seperti inilah tradisi yang melekat kuat didalam keluarga Tanzel. Barulah setelah acara makan malam selesai mereka semua berpindah ke ruang santai untuk melanjutkan perbincangan.

"Apa Amira masih tidur?"

"Masih, Tuan Tanzel."

"Oh, iya saya dengar dari Yoza kalian tadi melewatkan makan siang bersama. Apa itu benar?"

Louis mengangguk.

"Saya senang mendengarnya. Terima kasih Tuan Louis. Kamu sangat perhatian pada cucu saya hingga memperhatikan hal - hal terkecil sekalipun. Amira itu suka sekali mengabaikan kesehatannya sendiri, terlebih ketika sedang fokus bekerja."

Louis tersenyum. "Saya tahu itu, Tuan. Saya mengenal cucu Anda sudah sangat lama. Oh, iya apa boleh saya mengajukan satu permintaan?" Pertanyaan Louis menyirat makna berbeda hingga Tanzel dan Yoza saling melempar pandangan.

Menyirat raut tak nyaman menyelimuti wajah keduanya telah mengirim senyum geli mengukir dibibir kokoh. "Maaf Tuan Tanzel kalau permintaan saya ini membuat Anda tidak nyaman. Tapi, saya yakin Anda langsung mengabulkan permintaan saya ini karena ini bukanlah permintaan yang sulit."

"Katakan!" Suara bariton Tanzel terdengar tegas berpadukan bibir yang membentuk garis lurus.

"Jangan panggil saya Tuan. Cukup panggil saja, Louis. Bagaimana pun saya akan menjadi bagian dari keluarga ini." Ucapnya dengan penuh rasa percaya diri. Tak ayal Tanzel pun langsung mengulas senyum geli yang seketika berubah menjadi tawa membahana.

"Jadi, bagaimana Tuan Tanzel? Apakah Anda mengabulkan permintaan saya ini?"

"Tentu saja calon mantu." Diiringi gelak tawa. Saat ini Tanzel dan Louis larut ke dalam rasa bahagia kecuali satu orang yaitu Yoza. Wajahnya masih saja mengeras berpadukan tatapan menajam pada Louis.

Bukan karena dia mulai tidak suka pada Louis hanya saja dia sangat tidak suka jika kehormatan putrinya di lecehkan meskipun dia tahu bahwa Louis ini adalah calon suami Amira.

Bagaimana pun juga Yoza tidak pernah setuju dengan cara pandang ayahnya yang menurutnya kebarat - baratan. Kita ini tingga di Indonesia. Di dalam diri kita melekat kuat adat ketimuran jadi sudah sewajarnya jika bersikap dengan penuh unggah ungguh.

Beberapa kali ekor matanya melirik ke arah Louis yang terlibat perbincangan hangat dengan Tanzel. Tanpa sengaja ekor matanya menangkap sosok putrinya berjalan mendekat. Yoza pun langsung mengulas senyum menyambut putri kesayangan.

Dan kedatangan Amira yang secara tiba - tiba pun merusak perbincangan ke dua lelaki tampan tersebut. Tatapan matanya menajam pada Louis. "Apa yang kau lakukan disini, Louis? Ini sudah malam sebaiknya kau pulang!" Nada suaranya menajam berpadukan dengan bentakan. Tidak hanya Louis yang tersentak. Tanzel dan Yoza pun juga dibuat tersentak dengan sikap Amira.

Namun, emosi Louis sama sekali tidak terpancing. Justru dia mengulas senyum berirama suara lirih. "Beginikah cara mu memperlakukan calon suami-mu ini, Amira?" Berpadukan kerlingan genit. "Kemarilah, duduklah disini." Menepuk sisi sofa yang kosong. Amira bergeming, tatapannya masih saja menajam.

Fix, habis sudah kesabaran yang coba Amira tahan seharian ini. "Jangan melampaui batasan mu, Louis! Segera tinggalkan rumah ini dan jangan pernah sekali - kali berani menginjakkan kaki mu di rumah ini lagi."

Semua orang tersentak terutama Tanzel. Tatapannya memicing hingga keningnya berkerut. Wajahnya yang sudah mulai senja menegang. Tercetak dengan sangat jelas kemarahan disana.

Tidak mau penyamarannya terbongkar Louis pun beranjak dari duduknya, mendekati Amira, membisikkan sesuatu yang menyentak kesadaran Amira saat itu juga. "Jaga sikap mu, Amira. Jangan sampai keluarga mu tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya." Setelahnya membimbing Amira untuk duduk disebelah Tanzel.

"Apa maksud ucapan mu barusan, Amira? Nada suaranya terdengar lirih akan tetapi penuh dengan ketajaman yang menusuk langsung pada pendengaran Amira hingga dia pun memilih menundukkan wajahnya. Satu hal yang sangat dia benci jika sudah dihadapkan pada emosi Tanzel. Selain tidak bisa berkutik dia juga harus tunduk pada apapun yang Tanzel ucapkan. Bagi Amira perkataan Tanzel adalah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah.

"Angkat wajah mu, Amira!" Penuh penekanan pada setiap kata. Akhirnya dengan takut - takut mengangkat wajahnya sehingga bermanjakan wajah Tanzel yang menghujaninya dengan tatapan tak biasa. Dan hanya ditatap seperti itu mampu membuat tubuh Amira bergetar hebat.

"Keluarga Tanzel tidak pernah mendidik mu bersikap tidak sopan pada tamu terutama pada calon suami-mu sendiri. Opa tidak akan pernah memberi mu maaf jika kejadian hari ini sampai terulang kembali, Amira. Camkan kata - kata Opa ini dengan baik!"

Amira tersentak. Matanya memanas. Antara rasa marah, kecewa, dan rasa tak terima menyergapnya secara bersamaan. Demi seorang Louis yang hanya calon suami pura - pura, Opa nya tersayang telah berani membentaknya.

Ini tidak benar. Sama sekali tidak benar. Dan semua ini gara - gara kamu, Louis. Kamu harus membayar mahal untuk semua ini. Batin Amira dengan tatapan menajam pada lelaki yang menjadi akar dari permasalahan yang membelenggunya saat ini. Sementara yang ditatap berpura - pura tidak melihat. Dia masih saja terlibat perbincangan dengan Tanzel.

Darah Amira semakin bersedir hebat melihat tingkah laku Louis yang semakin menenggelamkannya ke dalam lautan emosi.

"Oh iya sayang. Kamu kan belum makan malam. Aku minta sama Inem supaya siapin makan malam buat kamu ya?"

Amira membeliak. Bola matanya melotot hingga hampir keluar dari pemiliknya. "Tidak perlu, Louis. Saya sedang tidak berselera makan. Nafsu makan saya sudah hilang." Nada suaranya terdengar lirih akan tetapi sarat akan emosi. Dan sikap Louis ini benar - benar mengikis habis kesabarannya. "Kalau saya bilang tidak berselera ya tidak berselera. Tolong hormati keputusan saya."

"Amira! Niat calon suami-mu ini kan baik, demi menjaga kesehatan kamu. Bersikaplah lebih lembut dan hormati usahanya!"

"Baik, Opa."

Didepan Tanzel, Amira tidak bisa berkutik dan hal inipun dimanfaatkan oleh Louis dengan mempermainkan emosinya. Menurutnya wajah Amira yang sedang menahan amarah terlihat sangat menggemaskan. Tak henti - hentinya bibir kokoh menyunggingkan senyum bermanjakan wajah cantik yang sedang menahan amarah.

"Maaf atas sikap cucu saya, Louis."

"Tidak perlu meminta maaf, Tuan Tanzel. Saya sedih mendengarnya." Ucapnya berpadukan senyum hangat. Setelah itu tatapan Louis beralih pada Amira. "Bagaimana pun sikap Amira pada saya, saya tidak pernah merasa keberatan. Dimata saya Amira wanita yang sempurna."

"Tu Amira, dengar apa kata calon suami-mu. Harusnya kamu bisa bersikap lembut dan sangat menghargai. Contoh sikap calon suami-mu ini!"

AWAS SAJA KAU, LOUIS. KAU HARUS MEMBAYAR MAHAL ATAS KELANCANGAN MU INI!

- Amira Anindita Tanzel -

...

Next chapteršŸ’•

avataravatar
Next chapter