17 Ledakan Emosi Amira Berujung Petaka!

Tak lama setelah kepergian Tanzel, Amira masuk. Seharusnya dalam kondisi seperti ini sikap Amira bisa sedikit menghangat akan tetapi tidak. Wanita itu tetap saja bersikap dingin dengan menyandarkan tubuhnya pada pintu sembari bersedekap dada. Tatapannya menajam berirama kata - kata tajam bagaikan mata pisau yang ditancapkan tepat pada jantung Louis.

"Menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah, Amira." Dengan suara meninggi.

"Fitnah kalau tuduhan itu tidak benar. Tapi, kalau tuduhan itu benar maka tidak bisa dikatakan fitnah, Louis."

"Bagaimana pun juga kau tidak bisa asal menuduhku, Amira!" Seenaknya saja dia ini menuduhku bahwa aku ini tidak bisa mengaji. Meskipun ya ... tuduhannya itu benar sih. Tapi, aku tetap ga bisa terima ini. Ini namanya merendahkan martabatku sebagai lelaki, sebagai calon kepala keluarga, sebagai calon imam. Kesal Louis.

"Kenapa diam? Ga bisa ngelak lagi kan? Lebih baik segera bangun dan tinggalkan rumah Opa Tanzel. Kamu bisa saja menipu Opa tapi kamu tidak bisa menipuku, Louis."

Tahu dari mana sih kalau aku ini cuma pura - pura sakit? Pikir Louis.

"Tentu saja aku tahu, Louis. Sikap mu sangat mudah ditebak. Apalagi pikiran mu ... sangat mudah terbaca."

"Iya, iya, aku minta maaf karena sudah berbohong."

Amira langsung melipat bibirnya. Dadanya naik turun menahan amarah pada sikap Louis yang menurutnya sama sekali tidak terpuji. Awalnya dia hanya menebak - nebak saja setelah mendapatkan laporan dari Inem. Tapi ini ... Oh, sungguh Louis kau ini sudah kelewat batas. Kesal Amira bersamaan dengan itu langsung menyeret tubuh Louis untuk beranjak dari ranjang. Namun, sialnya justru tubuhnya sendiri yang terlepeset sehingga tanpa sengaja menimpa tubuh Louis.

Amira tersentak dan lebih tersentak lagi ketika tangan kekar menyentuhnya, melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang ramping dengan sangat posesif di iringi senyum smirk. "Jangan menggodaku di pagi buta, Amira."

"Ih, amit - mait." Langsung beranjak dari ranjang. Mengibas - ngibas tubuhnya yang tersentuh oleh Louis seolah - olah Louis ini virus mematikan. Sementara tatapan iris biru masih saja menghujaninya dengan tatapan penuh arti berpadukan sebelah tangan menopang kepala. "Cantik." Puji Louis.

Amira menggeram. "Kau!"

"Aku memuji mu cantik kenapa kau malah marah, huh?"

"Pujian mu itu hinaan bagiku." Ucapnya berpadukan sorot mata menajam. Iris hitamnya menggeliat penuh amarah, dan hal inilah yang paling Louis suka ketika mata bulat Amira dipenuhi oleh kilatan emosi yang meledak - ledak.

"Inilah kelebihan mu, Amira. Meskipun sedang marah tapi kau ini tetap terlihat cantik dan menggemaskan."

Fix, sikap Louis ini benar - benar menyebalkan, benar - benar menguji kesabaran seorang Amira Anindita Tanzel.

Amira masih saja tenggelam ke dalam amarah memuncak hingga darahnya mendidih disuguhi dengan sikap Louis yang sangat menyebalkan. Ingin rasanya menyeret tubuh Louis lalu menendang keluar dari lantai atas. Ya, itulah keinginan terbesar Amira saat ini.

Sedangkan Louis, tanpa rasa bersalah sedikit pun dia masih saja menggoda Amira. Kini, habis sudah kesabaran yang coba Amira tahan sedari tadi.

"Kau ini hanya pura - pura sakit kan supaya tidak ketahuan sama Opa Tanzel bahwa kau tidak bisa mengaji. Jadi, lebih baik sekarang bangun dan enyahlah dari sini! Ingat, jangan sampai kau tunjukkan lagi batang hidung mu di depan keluarga ku!"

Louis terkekeh kecil. "Yakin kau tidak mau melihat ku lagi, Amira? Dan apa kau yakin meminta ku untuk pergi dari hidup mu? Ah, aku tidak yakin."

Amira menggeram. "SANGAT YAKIN, LOUIS! Mulai detik ini jangan lagi kau tunjukkan batang hidung mu di depan ku!"

Louis tersenyum. "Amira ... Amira ... apakah seperti ini caramu memperlakukan calon suami-mu ini, hum?"

Oh My God, si Louis ini benar - benar jelmaan setan kepedean. Benar - benar lelaki yang tidak tahu diri. Lelaki yang suka curi - curi kesempatan didalam kesempitan. Lelaki menyebalkan! Kesal Amira.

Seolah paham dengan yang di pikirkan oleh Amira, Louis langsung menjelaskan bahwa dia ini bukanlah tipe lelaki yang seperti itu. Namun, apapun yang dia jelaskan akan percuma. Bagi Amira dia tetap lah lelaki seperti yang Amira pikirkan.

"Berfikir seperti pemikiran mu sendiri itu salah besar, Amira. Dengar ya, kau ini harus melihat sendiri kenyataannya, memastikannya sendiri. Dan jangan menilai segala sesutau hanya berdasarkan asumsi mu saja."

Amira berdecih kesal sembari berkacak pinggang. "Cih, asumsi kau bilang. Hai, yang terlihat didepan mata sudah cukup membuktikan bahwa kau ini lelaki yang-"

"Cukup Amira!" Potong Louis. Suaranya menajam berpadukan tatapan menajam seolah meminta Amira untuk diam, akan tetapi Amira tetap saja tidak mau diam. Justru emosinya semakin meledak hingga mengeluarkan kalimat yang tidak seharusnya dia katakan.

Louis menggeram. "PLEASE, AMIRA SHUT UP!" Berpadukan ekor matanya yang melirik ke arah pintu. Gelisah, cemas, takut, itulah kata - kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Louis saat ini. Satu hal yang paling dia takutkan jika Amira sampai keceplosan dan terdengar oleh Tanzel. Jika hal itu sampai terjadi maka tamat sudah riwayatnya.

Akhirnya dengan menekan egonya yang membumbung tinggi dia memohon pada Amira untuk menyudahi perdebatan akan tetapi Amira tidak pernah mau mendengarkannya.

Please, Amira diam. Please ... Tuan Tanzel ada dibelakang mu. Mohon Louis di dalam hati.

"Dengar ya Louis sebaiknya kau ini berhenti mengaturku. Kita ini hanya pura -pura. Tanamkan dalam benak mu bahwa kau ini hanyalah ... " Amira menjeda ucapannya beriringan dengan tubuh yang dicondongkan ke depan. "Kau ini hanya calon suami pura - pura." Ucapnya berirama bisikan akan tetap tetap terdengar tajam bagaikan ribuan pisau yang ditancapkan tepat mengenai jantungnya.

Louis menggeram. "Apa kau tidak sadar dengan yang kau ucapkan, Amira. Please, shut up!"

"Untuk apa aku harus diam, hah? Kau yang diam!"

Tidak tahu lagi bagaimana cara membuat Amira diam. Akhirnya Louis pasrah. Beberapa kali mengusap wajahnya frustasi terlebih ketika bermandikan tatapan tajam mematikan dari sorot mata Tanzel.

Ingin rasanya Louis memberitahu bahwa kakek-mu sedang berdiri dibelakang mu Amira. Namun, tatapan Tanzel mengisyaratkan supaya dia diam!

Sementara Amira masih saja larut ke dalam argumen hingga tidak menyadari kehadiran Tanzel yang mendatangi kamar Louis dengan ditemani oleh Dr. Rahman. Meskipun sudah sering kali Louis memperingatkan Amira melalui sorot matanya namun, Amira seperti tidak paham. Justru emosinya semakin meledak - ledak.

"Apa maksudnya dengan pura - pura, Amira?" Tanya Tanzel dengan suara menajam. Refleks Amira langsung memutar kasar tubuhnya. Seketika tubuhnya menggigil ketakutan disuguhi wajah sang kakek yang sudah menegang berpadukan rahang mengeras.

Tatapan Tanzel semakin menajam di iringi dengan bibir kokoh yang membentuk garis lurus. "CEPAT KATAKAN!"

Amira meremang. Tidak tahu apa yang harus di katakan pada sang kakek. Dia tidak tahu apakah kakeknya ini mendengar semua perbincangannya dengan Louis atau hanya sebagian saja.

"CEPAT KATAKAN AMIRA!" Bentak Tanzel berpadukan sorot mata nyalang.

...

Next chapteršŸ’•

avataravatar
Next chapter